10 December 2009

Man Jadda Wajada !


Alam Pikir Manusia Tentang Ikhtiar dan Takdir

Oleh : Yanu Endar Prasetyo


Membicarakan persoalan misterius seperti jodoh, takdir, hari akhir, atau hal-hal ghaib lainnya tentu bukan hal yang mudah. Perlu wawasan yang luas dan mendalam sebelum kita ambil bagian untuk bicara tentang persoalan itu. Rujukan-rujukan yang kuat dan mantap juga perlu disiapkan, mulai dari kitab suci, tradisi leluhur, hingga kalau perlu mendatangkan orang “pintar” sebagai perantara dan penerima pesan dari dunia lain. Tak heran, jika kemudian banyak orang “pintar” yang hadir dalam beragam bentuknya dihadapan kita. sambil menonton TV kita bisa mengetik “REG spasi Jodoh spasi nama, dan kirimkan ke 99**” maka kita akan tahu apakah kita berjodoh dengan pasangan kita atau tidak?



Atau dalam bentuk penerawangan yang lain, kita sudah bisa mendengar akhir-akhir ini bahwa angka yang paling banyak diperbincangkan di tahun 2009 ini adalah angka “2012”. Konon menurut cerita dalam film yang menghebohkan tersebut, kita akan menyaksikan sebuah pengulangan kisah Nabi Nuh yang selamat dari “kiamat” karena telah menyiapkan perahu/bahtera yang besar. Kiamat yang disebut-sebut terjadi tahun 2012 itu kurang lebih akan menyisakan segelintir manusia yang selamat karena dia mampu menciptakan sebuah perahu super hebat yang dibangun diatas kecanggihan teknologi. dan akhirnya semua orang ramai menduga-duga akhir dari berbagai masalah misterius tersebut. Apakah itu benar? Ah, saya juga tidak tahu.

Sepanjang yang pernah saya baca dan dengar dari orang-orang yang menekuni persoalan takdir ini, maka saya dapat kategorikan berbagai pemikiran-pemikiran tentang kehendak manusia dan takdir itu ke dalam beberapa kelompok sebagai berikut :

Pertama, kelompok yang menyatakan bahwa takdir sudah ditentukan, mau berusaha sekuat apapun, takdir tetaplah takdir, manusia tidak akan sedikitpun mampu merubahnya. Kita hanya wayang yang digerakkan oleh sang dalang.

Kedua, kelompok yang menyatakan bahwa takdir itu sepenuhnya ada di tangan manusia, kita memiliki kehendak bebas untuk melakukan apapun hingga pada akhirnya nanti semua yang kita peroleh adalah 100% hasil dari upaya yang kita lakukan.

Ketiga, kelompok penengah dua ekstrim diatas yang menyatakan bahwa ada hal-hal yang memang 100% kehendak dalang dan ada pula yang 100% tergantung pada kehendak manusia. Ada ketetapan yang tidak dapat diganggu gugat, tapi ada pula ketetapan yang masih dapat ditinjau ulang oleh perbuatan manusia.

Keempat, kelompok yang menyatakan lahir di dunia sebagai manusia adalah sebuah penderitaan (tengoklah, semua bayi yang baru lahir pasti menangis, tidak ada yang tertawa) maka seharusnya manusia melepaskan diri dari semua hal yang berbau duniawi dan keluar dari lingkaran daur ulang kehidupan (reinkarnasi) melalui laku spiritual tertentu.

Kelima, kelompok yang berpikir bahwa “kematian adalah akhir itu sendiri, tidak ada apapun setelelah kematian, jadi, marilah kita berpesta sepuasnya dan nikmati saja saat ini, mumpung masih hidup”

Dan mungkin masih banyak pemikiran-pemikiran lain yang unik dalam memandang takdir. Namun, lagi-lagi saya juga tidak tahu mana yang benar, sebab kebenaran itu memang masih sama-sama kita cari. Sama-sama diantara kita belum pernah merasakan dikubur dalam tanah, dikremasi, dibakar, di-mumi-kan, atau ditaruh jasad kita di lobang-lobang goa. Meskipun, ada saja manusia yang mengaku pernah bangkit dari kubur atau mengaku bisa melihat alam kematian bahkan konon meramalkan umur seseorang melalui pancaran auranya. Tapi sudahlah, kita jadikan saja itu referensi.

Saya lebih senang untuk membahas upaya manusia (ikhtiar) dan out put-nya (takdir) nanti dalam sebuah kerangka berpikir yang positif. Artinya, kita menduga yang akan terjadi adalah kemungkinan terbaik, bukan yang terburuk. Seandainya kita penganut kelompok yang pertama, maka kita tinggal berkata bahwa “baguslah kalau kita ini hanya ibarat wayang, berarti kemungkinan kita tidak bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan”. Atau kalau kita penganut kelompok kedua kita tinggal bilang, “berarti aku harus menanam sebanyak mungkin, supaya nanti aku juga akan menuai limpahan hasilnya”, dan seterusnya.

Berpikir positif tentang apapun, itu nampaknya spirit yang akan menyelamatkan kita dari segala kebingungan, keruwetan, simpang siur, dan perdebatan tentang masa depan yang akan terjadi dalam hidup kita. Ada sebuah buku berjudul “The Secret” karangan dari Rhonda Byrne (2007) yang mengungkapkan rahasia dari kekuatan pikiran, bahwa apa yang kita pikirkan adalah apa yang akan terjadi! Semakin kita mengisi pikiran kita dengan berbagai ketakutan, kegagalan, dan keterpurukan, maka ketakutan, kegagalan, dan keterpurukan itu akan menghantui hidup kita. Sebaliknya, jika kita terus menggunakan pikiran untuk mendaki kesuksesan dan harapan-harapan positif kepada semesta, maka dunia juga akan mendekatkan kegembiraan dan kesuksesan itu pada hidup kita (hukum tarik menarik)

Spirit berpikir positif ini juga nampak dalam karya novel penuh inspirasi seperti tetralogi Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov karya Andrea Hirata. Dengan sangat kuat, novel maupun film yang diangkat dari kisah anak-anak Belitong itu, menyatakan bahwa tugas utama kita sebagai manusia adalah “bermimpi setinggi-tingginya”. Bermimpi yang baik, bermimpi yang positif. Hingga pada akhirnya, mimpi itulah yang kemudian akan mendorong kita pada upaya yang bersungguh-sungguh untuk mencapainya. Menembus segala rintangan yang ada dan dengan pasti merengkuh mimpi-mimpi tadi sebagai kenyataan hidup kelak (takdir).

Secara lebih tegas, dalam novel yang diangkat dari kisah nyata para santri Gontor berjudul “Negeri 5 Menara” karangan A.Fuadi (2009), juga menggunakan mantra “Man Jadda Wajada” sebagai spirit utama kisah kehidupan yang diceritakan. Tetesan air pun akan mampu memecahkan batu, jikalau dilakukan secara konsisten/terus menerus. Apalagi manusia yang punya akal dan pikiran, jika mau bersungguh-sungguh melakukan sesuatu, pasti nantinya juga akan berhasil.

Namun, bukan manusia modern jikalau tidak skeptis, ragu-ragu, dan bertanya-tanya terhadap segala sesuatu. Ciri manusia modern adalah selalu mencari dan mencari kebenaran dibalik sesuatu sampai puas. Itu pula yang kemudian mengantarkan Karen Amstrong, seorang ahli sejarah Yahudi, Kristen, dan Islam, untuk menjadi seorang agnostik. Masa remajanya yang dihabiskan bertahun-tahun di biara katolik tidak kemudian mengantarkan takdirnya menjadi seorang biarawati atau orang suci (santa). Yang terjadi justru penyakit epilepsi dan keterpurukan kehidupan sosialnya, membuatnya bangkit dan menemukan takdirnya menjadi sejarawan agama yang disegani di dunia, meskipun dia tak lagi menganut salah satu dari agama-agama itu.

Hampir mirip dengan Karen adalah kisah Elizabeth Gilbert, seorang wanita amerika yang kehidupannya hancur akibat perceraian, dan akhirnya memutuskan untuk melakukan perjalanan untuk menemukan “keseimbangan” hidupnya kembali. Tentu anda pernah mendengar beberapa bulan yang lalu, pulau Bali dihebohkan dengan kehadiran aktris papan atas dunia, Julia Robert, yang sedang melakukan syuting sebuah film? Ya, film yang sedang digarap itu adalah kisah perjalanan Elizabeth Gilbert yang dibukukan dengan judul “Eat, Pray, Love”. Elizabeth telah melakukan perjalanan mencari keseimbangan spiritual ke tiga Negara, Italy, India, dan Indonesia. Cerita ini adalah contoh bahwa, kehidupan seseorang itu ibarat perjalanan yang penuh dengan kejutan-kejutan. Takdir itu tidak pernah berdiri sendiri, tapi juga tidak lantas datang tanpa undangan.

Sampai disini, kurang lengkap rasanya jika kita belum belajar dan menyelami pemikiran para “pembenci” duniawi. Ajahn Brahm, dialah seorang terpelajar, lulusan fisika dari Cambridge University yang kemudian memutuskan menjadi bikkhu/biksu/biarawan Buddha dengan bertapa di belantara hutan Thailand. Setelah 35 tahun menjalani hidup selibat dan menjadi petapa, akhirnya dia keluar ke dunia nyata dan melakukan pelayanan-pelayanan spiritual guna membantu umat manusia yang mengalami berbagai masalah. Dalam bukunya berjudul “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya”, dia menceritakan bahwasanya manusia dengan segala yang dimiliki di dunia ini, ibarat cacing dan kotoran tempatnya berkubang. Artinya, sebagian besar manusia sesungguhnya enggan terbebas dari masalah. Agama telah menunjukkan sebuah jalan agar manusia melepaskan segala beban-beban duniawinya, akan tetapi manusia tetap bandel. Mereka mengeluh banyak masalah di dunia, banyak beban, banyak cobaan, stress dan lain sebagainya. Akan tetapi, ketika mereka dituntun untuk meninggalkan segala masalah, beban, cobaan, dan stress itu, manusia juga tak mau bergegas. Ibarat cacing yang terus berkubang dengan kotoran, meskipun dia sadar bahwa kotoran itu sungguh bau dan tidak menyenangkan.

Hmm, wallahu’alam.
Subang, 10 Desember 2009

No comments:

Post a Comment