12 December 2009

PUDARNYA TRADISI "NYIRIH"



Tulisan ini juga dikontribusikan untuk web komunitas kami : www.bloggersubang.com

Pada medio 2009, penulis berkesempatan untuk berkunjung ke kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Selama berada di Belu, penulis berkesempatan berjalan-jalan ke Kobalima untuk melihat perbatasan RI-Timor Leste yang ada di sebelah selatan (motamasin). Saat mengunjungi Kobalima inilah, penulis mengobrol dengan beberapa mama (panggilan untuk ibu-ibu) yang ternyata sebagian besar adalah eks pengungsi Timtim. Kisahnya, syahdan, mereka telah terusir dari tanah kelahirannya dan terpisah dengan keluarganya karena memilih mengikuti suami mereka yang kebetulan pro-integrasi (pro-Indonesia). Setelah melewati masa-masa suram dan berdarah pada saat itu, akhirnya sekarang mereka resmi menjadi “warga baru” NTT dan menempati lahan berpasir di bibir pantai yang dijadikan tempat tinggal atas seijin pemerintah daerah setempat.  
Mama theresia, tuan rumah yang ramah dan baik itu, menyambut kami dengan obrolan ringan bersama mama-mama yang lain. Sampai suatu ketika, ada salah satu mama yang sudah sangat renta, bungkuk, namun masih kelihatan bugar datang di sela-sela obrolan kami. Yang membuat saya tertarik – meskipun tidak terlalu kaget – adalah mulutnya yang terus mengunyah sesuatu. Bibirnya nampak merah kekuning-kuningan, dan setiap menit selalu meludah ke tanah. Tangan kanannya memegang tongkat untuk berjalan, sementara tangan kirinya menggenggam kotak kecil yang terbuat dari anyaman bambu. Para mama bilang si nenek tidak bisa berbahasa indonesia. Saya coba bertanya kepada mama yang lain apa isi kotak yang dipegangnya? “itu sirih pinang” jawab mereka dengan senyum yang mengembang, dan baru saya sadari gigi mereka ternyata juga merah semua, sama seperti si nenek!
read more....



Ternyata si nenek dan mama-mama tadi adalah penikmat sirih pinang. Bukan hanya para perempuan, para bapak-bapak di desa ini juga tidak pernah lepas dari kegiatan menyirih (mengunyah sirih). Bahkan, hampir seluruh anggota suku atau adat di Nusa Tenggara Timur ini mengenal dengan baik sirih pinang. Sebab, sirih pinang ini selalu dibagikan ketika upacara adat atau ketika kita bertamu ke rumah saudara. Maka tak heran, menyirih ini menjadi kebiasaan yang umum di masyarakat Timor ini.
  Menyirih atau nyirih ini memang bukan monopoli masyarakat adat NTT saja, melainkan juga dapat kita jumpai di komunitas masyarakat tradisional lainnya di Nusantara, seperti di Jawa, Bali, Sunda, Dayak, dan lain Sebagainya. Entah darimana sumber ide mengunyah sirih ini diperoleh awalnya? Seperti biasa kita lihat di televisi atau di film-film, orang India pun juga hobi mengunyah sirih. Mungkin juga akar kebiasaan mengunyah sirih ini berasal dari tradisi agama hindu – jika melihat kemiripan tersebut – akan tetapi hal itu masih diperlukan pembuktiannya lebih jauh.
Khusus di NTT, sirih pinang yang biasa dikunyah setiap saat itu terdiri dari beberapa lembar daun sirih, buah pinang, dan kapur. Komposisi berapa lembar daun, pinang, dan kapur tersebut, tergantung kepada selera masing-masing. Konon, menurut pengalaman para penggemar sirih, komposisi yang kurang pas dari ketiga bahan tersebut bisa membuat si pengunyah mabuk, semacam ekstase hingga muntah-muntah atau pening tujuh keliling. Tapi bagi yang sudah terbiasa, mereka sudah paham takaran yang pas buat dirinya sendiri. Ketika dikunyah, maka otomatis sirih pinang ini seperti diperas, sehingga mengeluarkan air yang bercampur dengan liur si pengunyah. Sensasi untuk meludah lahir dari proses ini. maka jangan heran, ketika mengunyah sirih pinang ini maka kita akan selalu ingin meludah dan meludah. Hal ini tentu wajar, bahkan cawan tempat untuk meludah pun sudah disediakan tersendiri.
Kesan yang lahir dari kegiatan menyirih berjamaah ini adalah timbulnya rasa keakraban satu sama lain. Ada rasa kekeluargaan yang muncul jika sama-sama memiliki hobi mengunyah sirih pinang. Terbukti, ketika penulis mencoba sirih pinang yang disuguhkan – dengan takaran sendiri yang agak ngawur – sontak para mama dan bapa bersorak gembira dengan bahasa daerah mereka, lalu mama theresia menerjemahkan “siapa makan sirih pinang, dorang su jadi sodara kita”. Antara senang dan menahan pahit ketika mengunyah sirih, ingatan penulis melayang pada sosok  almarhumah nenek. Seorang perempuan jawa di kampung ibunda dahulu yang juga hobi “nginang”, tetapi dengan bahan baku tembakau. Namun, gigi dan ludahnya juga merah seperti mama-mama di Kobalima ini. Terakhir penulis melihat kegiatan nginang ini kurang lebih 10 tahun yang lalu.  Tidak menutup mata, pembangunan di Jawa memang satu langkah lebih maju. Berada di pulau Timor hari ini, mungkin serasa di Jawa 25 tahun yang lalu. Pertanyaannya, mengapa di Jawa sudah relatif  “hilang” generasi penyirih pinang ini? apa sebabnya? apakah sebentar lagi sirih pinang juga akan “lenyap” dari kehidupan warga Timor ini?
Jorok, mungkin itu alasan kenapa menyirih atau me-nginang menjadi tidak begitu populer bagi generasi saat ini. Apalagi bagi golongan generasi muda. Padahal, memakai kawat gigi sebenarnya juga tidak terlalu “keren” jika dibandingkan dengan memiliki gigi merah kekuningan akibat mengunyah sirih. Namun, generasi sekarang sepertinya memiliki pandangan seni yang lain soal ini. Jika kita melihat tradisi lain yang mengalami transformasi seni yang tetap eksis, tato, mungkin kita bisa menduga bahwa kebiasaan menyirih sama tuanya dengan tradisi membuat tato. Seni Tato seluruh tubuh – seperti yang dilakukan orang Mentawai – masih diadopsi oleh generasi sekarang dalam berbagai bentuknya. Mungkin, bentuk yang paling dekat dengan aktivitas menyirih adalah mengunyah permen atau permen karet. Tidak jorok, tidak membuat kita meludah setiap saat, dan yang pasti, tampak lebih gaya. Padahal, kata orang permen bukannya melindungi, tapi malah cenderung merusak gigi kita (?)
Gencarnya iklan pasta gigi yang dipromosikan oleh perusahaan dan pegiat-pegiat kesehatan, menjadi penegas lain bahwa cara menjaga dan merawat gigi yang baik adalah dengan menggosok gigi, bukan menyirih. Bagi masyarakat Timor yang kesulitan untuk mendapatkan air, baik untuk konsumsi, cuci, apalagi mandi, tentu saja melahirkan “standar” kebersihan dan cara merawat gigi yang berbeda dengan masyarakat di luar Timor, yang relatif lebih mudah mendapatkan air bersih. Ini mungkin salah satu alasan mengapa kegiatan menyirih ini masih langgeng di tengah masyarakat. Konon kebiasaan menyirih ini mampu membuat gigi lebih awet dan kuat. Diperkuat pula oleh adanya kebiasaan dalam setiap upacara adat dimana sirih pinang tidak pernah absen. Berbeda dengan kondisi masyarkat di Jawa misalnya, yang tidak memilki doktrin adat khusus untuk mengunyah sirih setiap saat. Namun itu sekedar hipotesa penulis yang serampangan. Lagi-lagi masih perlu dibuktikan secara lebih ilmiah.
Anyway, yang perlu dicetak tebal dengan tinta merah dari cerita ini adalah bahwa ada satu adat kebiasaan dari masyarakat kita yang hampir punah, yaitu kebiasaan mengunyah sirih pinang. Apapun penyebab punahnya kebiasaan itu, mungkin menarik bagi kita untuk menelusurinya. Sama menariknya dengan mencari tahu, darimana asal kebiasaan tersebut? Nampaknya penulis masih terus dilanda penasaran dan belum bisa menganggap tulisan ini “selesai” sebelum mendapatkan jawaban dari dua hal tersebut.
Mungkin anda bisa membantu saya untuk menjawabnya?

No comments:

Post a Comment