25 August 2010

Tradisi di Tengah Arus Globalisasi





Rabu, 25 Agustus 2010

Judul        : Mengenal Tradisi Bangsa
Penulis     : Yanu Endar Prasetyo
Penerbit   : IMU (Insist Group), Yogyakarta
Tahun      : I, Juni 2010
Tebal       : 146 halaman

Pelan tapi pasti, arus globalisasi menyeret setiap orang menjadi manusia kosmopolit. Setiap perkembangan, termasuk budaya populer di satu sudut dunia, menyebar cepat ke seluruh penjuru bangsa.M emengaruhi pikiran, bahkan menjadi tren baru dalam bertingkah laku. Budaya lokal atau tradisi bangsa yang dianggap kurang modern, kurang rasional, dan kolot tentu saja menghadapi persoalan serius. Terutama kaum muda, banyak sekali orang yang tanpa dosa meninggalkan begitu saja budaya bangsa.


Buku bertajuk Mengenal Tradisi Bangsa ini berusaha mengetengahkan wacana ihwal tradisi bangsa Indonesia yang juga tak kebal dari serangan virus globalisasi. Membeberkan tradisi-tradisi warisan nenek moyang Nusantara yang sebagian sudah dilupakan, sebagian masih dilakukan dengan berbagai variasi, dan sedikit yang masih “asli”.
Dengan gaya eksplorasi, penulis mendedahkan cerita ihwal tradisi bangsa kita yang ternyata banyak yang sudah diubah, tak orisinil lagi, tidak sesuai dengan pakem yang digariskan para founding father.

Banyak pula tradisi yang tidak dipahami makna, filosofi , maksud, dan tujuannya oleh generasi masa kini yang notabene merupakan ahli warisnya.
Penulis menengarai puluhan atau mungkin ratusan tradisi telah bergeser dari relnya, bahkan ada yang jatuh ke jurang dan menghilang ditelan ombak perubahan zaman yang semakin kompleks.

Dalam tradisi Nyadran (syukuran dan kunjungan bersama-sama di makam leluhur) di Jawa, penulis mengkritik generasi kini yang jauh berjarak dengan kuburan.
Saat ini banyak sekali, mungkin termasuk kita, yang menganggap remeh berkunjung dan membersihkan makam orang tua, keluarga, dan leluhur dari rumput liar.
Banyak di antara kita yang memilih untuk “nitip” membersihkan makam orang tua pada juru kunci makam.

Alasannya mulai dari praktis, sibuk, sampai malas. Padahal hal “remeh” tersebut bisa mengingatkan kita pada kematian, untuk senantiasa berbuat baik, mengingat jasa-jasa leluhur, serta berpikir tentang identitas dan muasal.
Peradaban panjang manusia juga menunjukkan bahwa makam selalu memiliki arti penting. Piramida di Mesir yang masyhur itu adalah makam, Taj Mahal di India juga serupa.

Di Toraja, terdapat dinding gua penuh tengkorak yang eksotis. Makam Walisanga di Jawa bahkan tak pernah kekurangan peziarah. Tradisi Ngaben di Bali juga tak luput dari perubahan.
Ngaben pada mulanya adalah upacara pembakaran jenazah yang bertujuan agar perjalanan arwah bisa lancar menuju Tuhan. Namun hari ini, Ngaben malah banyak digunakan orang kaya untuk menunjukkan tingkat kekayaannya.

Ngaben kini bahkan dikomersilkan, menjadi objek pariwisata (hal 23). Selain Nyadran dan Ngaben, kita disuguhi penulis dengan 15 tradisi lain, seperti tradisi Belis dari Pulau Timor, Ronggeng, Pingitan, Cekokan, Ngabungbang, dan Gantangan.

Kesemuanya menuturkan dilema tradisi tergilas globalisasi dan cenderung ditinggalkan anak zaman. Buku ini sepertinya memang sengaja disuguhkan sebagai pengingat.

Agar kita, sebagai pewaris, mengetahui, mengenal, dan mau merawat kekayaan bangsa yang sarat petuah kebajikan dan kearifan lokal. Agar tradisi kita tidak dirawat dan diklaim oleh bangsa lain. 

Peresensi adalah Agus Hariyanto, peminat kajian sosial dan historiografi , alumnus SeHAMA KontraS 2010

No comments:

Post a Comment