12 September 2010

MERAWAT DESA TERPENCIL

Ada ribuan desa di Indonesia yang masih termasuk dalam kategori terpencil. Baik dilihat dari aspek geografis, sosial maupun ekonomi. Secara geografis, bentangan alam seperti gunung, sungai, dan laut menjadikan penghalang alami yang memang tidak mudah disiasati. Dampak lanjutannya adalah biaya yang super besar untuk membangun infrastruktur seperti transportasi (darat, laut, udara) maupun komunikasi. Wajar jika secara sederhana indikator keterpencilan geografis dapat ditandai dengan tidak adanya jalan penghubung yang memadai dan tentu saja sulitnya mendapat sinyal komunikasi serta aliran listrik yang mampu menembus desa-desa tersebut. Di luar prasarana pendidikan dan kesehatan yang pastinya juga sangat minim.

Secara sosial ekonomi, desa-desa terpencil di negeri kita ditandai dengan pertumbuhan masyarakat yang relatif stagnan dan tertinggal. Terisolir secara geografis, tidak saja membatasi mobilitas warganya, melainkan juga menjadikan masyarakat buta informasi dan menjadi cenderung tertutup. Untunglah merah putih dan lagu Indonesia Raya masih bisa berkibar dan bergema di sudut-sudut desa itu. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena jasa-jasa para pahlawan tanpa tanda jasa yang nasibnya masih saja belum jelas hingga saat ini. Mereka rela mengajar di tengah hutan, di pucuk gunung, dan di pulau-pulau terpencil dengan segala keterbatasan yang ada, sembari mempertaruhkan apapun yang mereka punya. Berkat mereka, (Negara) Indonesia masih hadir di pelosok-pelosok nusantara. Meskipun, di berbagai desa terpencil di daerah perbatasan, mereka lebih banyak menggantungkan nasib dan mengais rejeki di negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.

Jembatan Tanpa Sungai

Melempar wacana pemerataan pembangunan dan kesejahteraan hingga ke desa-desa terpencil di era otonomi daerah ternyata justru tidak mudah. Pemerintah daerah yang seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan daerah, seringkali mengeluh kurangnya anggaran untuk membangun daerahnya. Alih-alih untuk membangun, meningkatkan pendapatan asli daerah saja setengah mati sulitnya. Tak heran jika anggaran pembangunan daerah banyak yang habis hanya untuk gaji pegawai dan biaya birokrasi. Sedangkan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat, masih menjadi prioritas nomor sekian.
Sementara itu, bantuan pemerintah pusat, dari segala lini dan program Kementrian RI, seringkali menjadi kegiatan parsial yang kurang terintegrasi dan minim pendampingan. Sehingga, usia kemanfaatan dari program-program yang digulirkan menjadi sangat pendek dan kurang mengenai sasaran. Jangan kaget jika kemudian program-program pemerintah yang mulia seperti PNPM mandiri yang bertujuan mendorong terciptanya lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, sampai di desa-desa terpencil hanya menjadi bangunan fisik seperti saluran air atau jembatan. Meski tak dapat dipungkiri, bahwa memang itulah yang memang masyarakat butuhkan saat ini.

Faktor lain yang menyebabkan tersendatnya pembangunan di desa-desa terpencil adalah kebiasaan para pejabat daerahnya, mulai dari kepala desa hingga kepala daerah, yang gemar melakukan studi banding. Perjalanan ke daerah lain yang dinilai sukses, tak jarang ikut memangkas anggaran pembangunan. Niatnya memang baik, namun hasilnya seringkali kurang dirasakan oleh masyarakat secara langsung. Yang terjadi justru penyedotan uang-uang dari daerah ke pusat-pusat “studi banding”, seperti di Jakarta dan Pulau Jawa. Tanpa mereka sadari, yang diuntungkan dari kebiasaan itu adalah daerah-daerah lain yang mereka kunjungi, dimana penginapan, transportasi, hingga konon prostitusi pun menjadi lebih makmur dengan kedatangan mereka. Dalam sebuah perjalanan studi banding ratusan kepala desa dari suatu daerah ke Jakarta, salah seorang dari mereka berkomentar, “pantas saja di daerah kita sulit sekali membangun jembatan, karena jembatannya ada di jakarta semua (jalan layang), padahal sungainya ada di desa kita”. 

Pemenuhan Energi

Salah satu prioritas terpenting dalam membangun desa-desa terpencil adalah dengan menjamin pemenuhan kebutuhan dasar, seperti energi. Dari ketersediaan energi inilah, kemudian roda pertumbuhan digenjot. Mula-mula pemenuhan energi diarahkan untuk menghasilkan listrik, baik untuk penerangan rumah tinggal maupun usaha ekonomi produktif. Energi listrik dapat dihasilkan dari sumber daya yang mereka miliki, jika mereka memiliki aliran sungai yang melimpah, maka dapat dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH). Kegiatan ini sudah cukup masif dilakukan melalui pencanangan Desa Mandiri Energi (DME). Hanya saja, dari sisi pengelolaan PLTMH oleh masyarakat, masih diperlukan pendampingan dan penguatan kelembagaan yang tidak sebentar. Begitu pula dengan potensi tenaga matahari (PLTS), Angin, hingga Biogas dari limbah kotoran ternak.

Ketika energi, seperti listrik, terpenuhi maka gelombang informasi juga akan mengalir secara deras ke desa-desa terpencil itu. Masyarakat bisa mengakses informasi melalui televisi. Diharapkan, muncul kesadaran dan motivasi untuk mengejar ketertinggalan dari masyarakat di tempat lain. Dengan kehadiran televisi setidaknya membantu para guru setempat untuk meyakinkan masyarakatnya bahwa pendidikan itu penting. Sebab, apapun dimulai dari perubahan mindset, salah satunya adalah melalui informasi yang disampaikan lewat media televisi. Meskipun, dampak buruk televisi ini juga mulai dirasakan di desa-desa terpencil yang mulai teraliri listrik. Masyarakat ternyata cenderung menyerap gaya hidup konsumtif ala masyarakat kota saja. Di pihak lain, dengan maraknya berita ledakan tabung gas di televisi, masyarakat tidak berani lagi menggunakan gas untuk memasak dan memilih kembali pada kayu bakar. Padahal, dalam jangka panjang penggunaan kayu bakar ini dapat mengganggu ekosistem hutan di sekitar mereka.

Ketahanan Pangan

Prioritas utama lainnya selain pemenuhan energi adalah memperkuat ketahanan pangan di desa-desa ini, baik desa yang berbasis pertanian, perkebunan, maupun perikanan darat dan laut. Sebab, ketahanan pangan lokal, adalah kunci keberhasilan secara nasional. Layaknya desa terpencil, biasanya mereka masih secara kuat mempertahankan pola hidup subsisten. Yakni, setiap hasil pertanian mereka seperti padi atau jagung, mereka simpan di rumah atau di lumbung untuk keperluan keluarga mereka selama satu tahun. Pola ini terbukti cukup ampuh, sebab mereka tidak perlu panik ketika harga beras di pasaran naik. Mereka tidak mengenal istilah raskin atau kelangkaan beras. Namun, bagi yang hidup di desa terpencil non pertanian padi, mereka masih menggantungkan pemenuhan pangannya dari pejualan hasil kebun maupun tangkapan perahunya. Disinilah peran tengkulak, perantara, atau bandar yang menguasai harga dan jalur pemasaran kemudian menjerat mereka dalam tradisi kemiskinan.
Nampaknya pekerjaan rumah bangsa ini untuk mengangkat harkat dan martabat desa-desa terpencil masih panjang dan berliku. Dibutuhkan komitmen nyata yang bukan sekedar slogan kampanye belaka. Tidak perlu membayangkan jauh-jauh, cukup dengan berfikir dan bertindak agar supaya kebutuhan dasar seperti pangan dan energi ini dapat dijamin ketersediaan dan keamanannya, maka satu langkah memajukan desa-desa terpencil ini sudah dimulai. Ibarat tanaman yang hidup berdampingan di pot besar bernama NKRI, maka sudah seharusnya semua komponen kita rawat bersama-sama. Sehingga benih-benih disintegrasi dan terorisme yang disebabkan kelaparan dan kemiskinan, dapat kita cegah sedini mungkin. Mumpung belum terlambat.

No comments:

Post a Comment