19 January 2011

Gaya Hidup “Green”


Artikel ini dimuat di Koran Jakarta, Selasa, 18 Januari 2011
Oleh : Yanu Endar Prasetyo



Mengapa istilah “eco” atau “green” kini menjadi tren di seluruh dunia ? Saat ini banyak sekali kita jumpai kegiatan, usaha, gagasan atau produk yang diberi penanda “eco” atau “green”, misalnya “ecodevelopment”, “green industry”, “green party”, “green banking”, “greenomics”, “ecoport”, “ecopolitics”, “green product” dan lain sebagainya.

Mengapa dalam dua dekade terakhir ini istilah “eco” atau “green” digunakan secara meluas? Atau dengan kata lain, mengapa ekologi kini menjadi tren dan gaya hidup? Seperti kita tahu dan rasakan, krisis lingkungan dalam dua dekade terakhir ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat industri maju saja, melainkan hampir dialami oleh seluruh masyarakat dunia.

Wajah dunia kini dihiasi dengan meningkatnya instabilitas, baik secara ekologis, sosial, ekonomi, politik dan budaya. Pertama-tama kita harus memahami bagaimana pergeseran cara pandang manusia terhadap lingkungannya (eco-philosophy).

Pemahaman manusia kini sebagian telah bergeser dari cara pandang antroposentris—yaitu menganggap manusia “berbeda” dari makhluk hidup dan tak hidup lainnya, sehingga berhak untuk mendominasi lingkungan—menjadi cara pandang yang ekosentris, yaitu menempatkan manusia sebagai bagian dari jejaring kompleks kehidupan di alam dan harus bertanggung jawab untuk bersamasama menjaga keberlanjutan alam bersama spesies lainnya (Ife, 2002:34).

Pergeseran cara pandang inilah yang kemudian melahirkan istilah deep ecology way of life, yaitu sebuah kehidupan yang mengintegrasikan antara sosial, ekonomi, kepribadian dan nilai spiritual ke dalam sebuah perspektif ekosentris. Sehingga muncul berbagai macam gerakan, perilaku atau gaya hidup baru, seperti vegetarian dan gerakan perlindungan hak asasi hewan.

Meskipun perlu dicatat bahwa gaya hidup ramah lingkungan semacam ini ternyata juga disikapi dengan komentar dan komitmen yang berbeda individu satu dengan yang lainnya, masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Dalam konteks ini, konsep “eco” dan “green” pada akhirnya menjadi salah satu alternatif yang tumbuh dan berkembang semakin luas seiring meluasnya krisis yang dialami oleh umat manusia itu sendiri.

Jika kita dalami, maka inti dari konsep hidup dengan kesadaran “eco” dan “green” ini sejatinya mengandung perspektif atau cara pandang yang mengubah secara total dan radikal cara pandang lama terhadap lingkungan (new paradigm). Konsep baru ini menekankan pada empat prinsip utama, yaitu : (1) holisme (holism), keberlanjutan (sustainability), keberagaman (diversity), dan keseimbangan (equilibrium).

Empat prinsip itulah yang sementara ini menjadi jalan keluar alternatif yang paling banyak dibicarakan di mejameja pertemuan internasional, di universitas, di internet, di televisi hingga di komunitas-komunitas serta pergaulan keseharian masyarakat. Isu-isu kerusakan lingkungan dan krisis global terus menjadi perbincangan.

Tidak heran jika kemudian cara pandang ulang atas kehidupan ini kemudian menjadi tren yang terus berkembang. Semakin krisis itu berubah menjadi ganas, dahsyat dan terasa di berbagai tempat, maka semakin keras pula gaung untuk menyadarkan pentingnya gaya hidup “eco” atau “green” untuk mencegah bencana dan kerusakan yang lebih besar lagi.

Selain itu, lahirnya organisasi-organisasi berwajah “green” yang memiliki jejaring global ini, juga secara langsung memaksa para kapitalis (sebagai sasaran utama eksploitator lingkungan) untuk mengubah wajah organisasi produksinya agar menjadi lebih “ramah lingkungan”. Aktivitas organisasi ini pun dimudahkan dengan berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi yang mampu menyebarkan opini pro lingkungan ini hingga ke seluruh dunia.

Bahkan organisasi seperti Greenpeace pun mampu menggalang donasi dari individu- individu di seluruh dunia untuk mendanai gerakan penyelamatan lingkungan mereka. Tidak heran jika kemudian produk-produk kaum kapitalis pun kemudian berbondong-bondong dilabeli “eco-product” atau “green-product”. Demikian pula dengan pemerintah di berbagai negara maju maupun berkembang juga mendapat tekanan yang kuat untuk mengeluarkan berbagai kebijakan yang lebih berpihak dan melindungi lingkungan hidup.

Meskipun, sebagian pihak juga masih meragukan komitmen para kapitalis maupun rezim penguasa negara itu terhadap upaya penyelamatan lingkungan. Mereka diduga melakukan itu hanya sebagai upaya untuk melakukan konformitas dan menahan kemarahan serta tekanan publik yang bisa mengancam keberlanjutan produksinya. Hal ini diperkuat dengan fenomena politisasi isu lingkungan menjadi soal jual beli karbon, insentif negara maju pada negara berkembang, dan lain sebagainya yang menyiratkan tendensi lain di luar filosofi “green” dan “eco” yang lebih substantif.

Jadi, tren gaya hidup “green” ini meluas setidaknya karena krisis (lingkungan, sosial, ekonomi, politik) yang mengglobal, organisasi pro lingkungan yang mengglobal, ditambah dukungan dari berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi yang juga mengglobal menembus sekat-sekat ruang, waktu, ras dan golongan. Sekarang tinggal kembali kepada diri kita masing-masing, apakah akan ikut menjadi “hijau” atau tetap tidak peduli sama sekali?

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, peneliti LIPI

No comments:

Post a Comment