29 January 2011

Gerakan Moral vs Jebakan Kekuasaan

Artikel ini dimuat di Harian Pasundan Ekspres, 29 Januari 2011, Halaman Opini  

 oleh : Yanu Endar Prasetyo

Belakangan kita terus mendengar seruan dari berbagai gerakan masyarakat, seperti gerakan melawan kebohongan yang dimulai dari tokoh agama, gerakan anti korupsi, gerakan anti mafia hukum dan pajak, serta berbagai seruan dari elemen mahasiswa dan masyarakat lainnya. Berbagai seruan itu dapat dikategorikan sebagai gerakan moral karena bertujuan untuk mengingatkan para penguasa yang dianggap telah lupa dengan kewajibannya. Lalu, apa relevansi gerakan moral ini bagi perubahan sosial di negeri kita? Ataukah itu hanya sekedar kamuflase untuk ikut menikmati kue kekuasaan?


Intelektual dan Gerakan Moral

Salah satu karakter utama intelektual adalah komitmennya terhadap proyek membangun kembali (reconstruction) atau pemikiran kembali (rethinking) segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat dan peradaban. Terutama apabila dehumanisasi semakin kentara dalam masyarakat. Karena itu, intelektual selalu akrab dengan perubahan dan sekaligus terlahir sebagai motor penggerak perubahan itu sendiri. Pun apabila masa transisi atau “masa yang baru” tiba, intelektual juga diharapkan tetap konsisten pada nilai kejujuran dan kebenaran. Tak heran kita akan selalu melihat banyak perubahan sosial di berbagai negara ternyata dimotori oleh lapisan menengah ke atas dan para intelektual yang sadar akan bobroknya kondisi di negerinya.

Bung Hatta menyebut intelektual adalah mereka yang memiliki karakter dan teguh pendirian, lepas dari kepentingan diri, golongan, atau partai, lepas dari kedudukan, pangkat atau harta. Mereka juga harus tegas atas kebenaran, sebab ilmu yang menjadi ciri khasnya senantiasa mencari kebenaran. Intelektual dituntut selalu bersifat terbuka terhadap kebenaran yang lebih benar, bahkan jika kebenaran itu datang dari pihak lain maka ia juga harus jujur mengakui dan menerimanya.

Namun demikian, keberpihakan intelektual terhadap kebenaran seringkali mendapat tantangan, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, masyarakat intelektual terbatas, dan dalam arti tertentu, diatur oleh hukum profesionalnya sendiri. Konstruksi pemahaman yang terbentuk terhadap kegiatan intelektual selama ini adalah kerja yang berkaitan dengan menulis (jurnal, surat kabar, majalah, internet) memberi kuliah, dan menerbitkan buku, serta tak lupa berburu gelar dan ijazah. Kegiatan ini kemudian menjadi semacam ideologi yang dirutinkan.

Regulasi internal dan kontrol yang sedemikian ketat, serta di dalamnya mengandung ketentuan apa yang patut dan yang tidak patut? menyebabkan perubahan yang terjadi dalam dunia akademis cenderung lebih konservatif. Pierre Bouerdieu, dalam Homo Academicus ,menyatakan bahwa untuk sukses di dunia akademis, orang lebih harus “pandai-pandai” menyesuaikan diri, daripada “pandai” karena menjadi penemu cara-cara baru. Singkatnya, waktu yang seharusnya digunakan untuk mengejar ilmu pengetahuan, justru banyak disita untuk mengejar karir akademis belaka. Ini adalah penyakit intelektual paling kronis yang mungkin melanda sebagian besar “intelektual”. Buktinya, perubahan yang seharusnya bisa berlangsung cepat dengan sokongan total mereka, ternyata tidak sebaik dan secepat yang diharapkan. Alih-alih terjadi perubahan, yang ada suara intelektual seringkali bagai angin lalu belaka. Ibarat anjing menggonggong, kafilah yang dikritik pun tetap melenggang.

Secara eksternal, dinamika perubahan sosial masyarakat senantiasa diiringi oleh silih bergantinya kekuasaan dalam lingkup kenegaraan. Akibatnya, relasi intelektual dengan kekuasaan seringkali membawa problem yang dilematis. Berbagai momen pergantian kekuasan telah memaksa intelektual untuk menganut dan memasukkan – dalam istilah Julien Benda – gairah-gairah politik ke dalam aktivitas intelektual mereka. Pembungkaman tradisi kritik intelektual berlangsung terus-menerus sejalan dengan ritme pergantian kekuasaan. Kondisi ini melahirkan dikotomi antara intelektual murni, yaitu yang terus menerus melakukan hal yang sama, dan intelektual plus-organik yang berhubungan langsung dengan penguasa-penguasa, dan kelas tertentu, yang memanfaatkan mereka untuk memperbesar kontrol dan kekuasaan (Edward W. Said, 1993).

Tak heran, panggilan intelektual sebagai garda otonomi moral akhir-akhir ini terus menemukan relevansinya, terutama di Indonesia. Otonomi moral yang dimaksudkan adalah sikap dan perilaku yang dipimpin oleh hati nurani. Bukan kepentingan penguasa, kelompok atau organisasi, apalagi kepentingan etnis tertentu. Karena otonomi moral inilah, intelektual senantiasa ditarik atau menarik diri dalam dunia birokrasi ataupun pengelolaan pembangunan negara selama ini. Misalnya dengan menjadi menteri, penasehat pemerintah, ataupun staf ahli pemerintahan. Pertanyaannya adalah, ketika modal, kekuasaan, dan negara menjadi bagian dari kompetisi intelektual, mungkinkah para intelektual, tokoh agama, dan para aktivis tersebut mampu mempertahankan otonomi moral dan komitmennya terhadap kebenaran yang mereka yakini? Atau akankah intelektualitas hanya sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan sejati mereka, yaitu kekuasaan itu sendiri? Sejarah lah yang akan menjawabnya.

Intelektual dan Dilema Pendidikan Tinggi

Saat ini, bangsa kita berada dalam jeratan neo-liberalisme yang berhasil menghancurkan semua bentuk struktur kolektif dengan logika pasarnya. Kita pun terus menerus menyaksikan proses dehumanisasi dan pemiskinan merajalela di tengah masyarakat. Di sisi lain, otonomi moral intelektual sebagai hati nurani bangsa, terus bergulat mempertahankan kebenaran ilmu pengetahuan melawan kekuasaan dan modal. Fokus tentang kebenaran di sini bukan soal pertanyaan apa itu kebenaran, tetapi bagaimana kebenaran menjadi sebuah politik (politics of truth). 

Kita mahfum, intelektual adalah ruang produksi pengetahuan yang sarat kepentingan, bias-bias sosial, politik, dan budaya. Intelektual bukanlah seorang malaikat yang selalu berpijak pada "kebenaran", karena "kebenaran" sendiri adalah konstruksi politik. Ilmu pengetahuan adalah hasil kesepakatan. Dengan cara pandang ini, intelektual sebenarnya tidak pernah berkhianat. Sebab dia senantiasa berada dalam wilayah wacana kekuasaan yang tidak mengenal konsep pengkhianatan.

Fenomena terlibatnya kaum intelektual di pusaran kekuasaan juga tidak perlu digusarkan. Sebab, masyarakat telah sedemikian kompleks, konsekuensi dari hal itu adalah lahan garap intelektual yang juga semakin luas. Kompleksitas masyarakat melahirkan pandangan yang mendukung beragam gerakan sosial (sipil, politik, lingkungan, ekonomi, budaya, jender).

penulis : peneliti LIPI, Pegiat Komunitas Blogger Subang

No comments:

Post a Comment