21 February 2011

Jatuh Bangun Usaha Mikro Subang



Artikel ini dimuat di Harian Umum Pasundan Ekspres edisi Senin, 21 Februari 2011

Oleh : Yanu Endar Prasetyo
Usaha mikro baru belakangan ini diapresiasi positif oleh berbagai pihak. Tepatnya ketika krisis ekonomi global, regional, maupun nasional terjadi. Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, ternyata sektor usaha mikro dan informal ini terbukti mampu bertahan dari terpaan badai krisis ekonomi. Prestasi tersebut memang bukan isapan jempol. Sebab, usaha mikro memang terbuka untuk ditekuni oleh siapapun dengan modal yang tidak terlalu besar. Ia tidak menuntut keterampilan yang terlampau tinggi. Peralatan produksi yang dibutuhkan juga cenderung sudah tersedia di dapur keluarga. Barang atau produk yang dihasilkan harganya juga relatif terjangkau sehingga mudah diserap pasar.

Akan tetapi, kelenturan usaha mikro tersebut, seringkali tidak disertai oleh kebijakan yang berpihak. Menjamurnya usaha mikro di tengah masyarakat kita, ternyata tidak serta merta diikuti keberlanjutan usaha yang nyata. Jika ditengok lebih dalam, sifat usaha mikro saat ini adalah “buka lapak, gulung tikar”. Misalnya, jika di tahun 2010 tumbuh 100 usaha mikro, kemudian di tahun 2011 naik menjadi 200 usaha mikro, maka itu tidak berarti terjadi peningkatan 2 kali lipat. Bisa jadi 100 usaha mikro di tahun 2010 itu tinggal setengahnya yang masih hidup, dan di tahun 2011 telah tumbuh 150 usaha mikro baru yang tidak berkaitan sama sekali dengan usaha mikro sebelumnya. Fenomena ini nampaknya menjadi potret umum usaha mikro kita saat ini.

Ilustrasi nyata adalah ketika ada 30-an orang di desa Sumur Gintung, Kecamatan Pagaden Barat, Kabupaten Subang dilatih teknologi proses pengolahan ikan mas dan singkong menjadi beraneka produk olahan pangan seperti kerupuk ikan, dendeng ikan mas, dan keripik maka rasio peserta yang melanjutkan pelatihan itu menjadi usaha mikro tidak lebih dari lima orang saja. Penelitian penulis di daerah tertinggal, seperti di Kabupaten Belu, NTT bahkan menunjukkan rasio yang lebih kecil lagi, yakni dari 25 orang yang dilatih, hanya satu orang yang kemungkinan tumbuh menjadi usaha mikro produktif. Bahkan seringkali di tahun berikutnya sudah tidak ada sama sekali. 

Banyak faktor yang menyebabkan usaha mikro tidak mampu eksis dalam jangka waktu yang lama. Pertama, tumpang tindih keuangan usaha dengan keluarga. Karena sifat usaha mikro masih cenderung “individual”, maka seringkali satu usaha dikelola oleh satu keluarga. Biasanya suami istri atau salah satu yang mengelola. Dampaknya manajemen usaha menjadi kurang profesional. Modal yang seharusnya diputar untuk usaha, lebih sering habis di tengah jalan untuk menutup kebutuhan keluarga. Biaya anak sekolah, biaya berobat, menutup hutang, atau hajatan, biasanya menjadi alasan mereka “terpaksa” menghabiskan modal usaha. Akibatnya, usaha menjadi sekarat dan akhirnya mati. 

Kedua, usaha mikro potensial “kredit macet”. Bukan hanya perusahaan atau bank-bank besar saja yang mengalami kredit macet, usaha mikro juga rentan terhadap masalah ini. kebiasaan yang terjadi di sebuah usaha mikro yang sudah eksis adalah datangnya pesanan yang cukup besar dari instansi atau orang per orang. Akan tetapi, banyak pemesan yang tak bertanggungjawab. Pembayaran terlambat hingga berbulan-bulan yang menyebabkan produksi menjadi ikut tersendat. Kasus ini biasanya bersifat musiman, seperti ketika ada momen lebaran, pesta dan hajatan, pameran UMKM, atau acara-acara di instansi. Pada masa seperti ini, pemilik usaha pun memberanikan diri berhutang untuk menambah modal. Ketika pembayaran pesanan macet, ibarat “sudah jatuh tertimpa tangga”, untung tak didapat, tidur pun tak nyenyak karena dikejar hutang. Akhirnya kata yang terucap adalah “kapok”. 

Ketiga, sulitnya mengakses pasar, informasi dan teknologi tepat guna. Meskipun usaha mikro itu sudah berjalan dengan baik, pemilik usaha akan berusaha untuk meningkatkan skala produksinya. Akan tetapi, pada tahap ini pemilik usaha akan menemui kesulitan memperluas pasar dan mendapatkan dukungan teknologi yang tepat dengan skala yang diinginkan. Pembinaan dan pendampingan yang dilakukan dinas atau lembaga terkait, tidak selalu konsisten dan memberi tambahan teknologi yang tepat guna. Akibatnya usaha menjadi stagnan dan lama-kalamaan akan tergilas oleh usaha atau produk lain yang datang belakangan dengan teknologi yang lebih maju.
Keempat, kurangnya wadah untuk menjadi sentra usaha mikro. Banyak teori yang mengatakan bahwa usaha dengan sistem berkelompok itu lebih baik, kuat, dan menguntungkan. Akan tetapi, fakta di lapangan justru menunjukkan kebanyakan usaha mikro merupakan milik perorangan. Kalaupun dikerjakan oleh lebih dari dua atau tiga orang, maka orang kedua dan ketiga itu biasanya berstatus karyawan, keluarga atau pembantu. Hal ini meruupakan tantangan tersendiri bagi para pendamping UMKM maupun dinas terkait yang selalu menggunakan kerangka konsep berkelompok atau sentra usaha dalam program-programnya. Perlu pemikiran ulang dan terobosan strategi dan model kelompok yang benar-benar nyata mensejahterakan. 

Dengan demikian, jika diringkas, persoalan usaha mikro ada pada empat hal, manajemen, permodalan, akses pasar dan informasi teknologi tepat guna serta ketiadaan sentra usaha. Usaha mikro ternyata tidak hanya butuh pujian atas daya tahannya terhadap krisis ekonomi. Sebagai usaha rakyat, usaha mikro membutuhkan dukungan semua pihak, baik pembuat regulasi, lembaga litbang, LSM, dan lembaga keuangan, agar tetap survive and sustain (bertahan dan berlanjut). Namanya juga usaha mikro, jadi butuh “mikroskop” keberpihakan untuk mampu melihat dan merasakan persoalan mereka.

2 comments:

  1. Kelima, penelitinya harus menjadi branchmarking dalam usaha mikro...Sebab, mereka butuh bukti bahwa apa yg disarankan penelitinya, the dream become true, business the real playing...

    Peneliti bidang usaha mikro, belum tentu jago usaha mikro dan khas bangsa Indonesia adalah keteladanan...Ibarat orang bercerita makan hamburger itu enak di tengah orang2 yang kelaparan. Semua perlu percontohan..

    ReplyDelete
  2. Baiknya ada upaya PENGAWASAAN jadi bisa dimonitor pemakaian modal untuk apa saja. Akan tetapi pada kenyataannya segi pengawasan ini sering DIABAIKAN. Pemberi modal lebih mementingkan laporan pertanggungjawaban akhirnya yang lebih mudah dimanipulasi.

    ReplyDelete