30 April 2011

Akar Sejarah Krisis Lingkungan

Artikel ini dimuat di Koran Pasundan Ekspres, Edisi Sabtu, 23 April 2011, Halaman Opini

Oleh : Yanu Endar Prasetyo

Salah satu faktor penyebab mendasar dari kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini adalah bersumber dari cara pandang manusia terhadap alam. Hal ini diungkapkan dengan kritis dalam tulisan Minteer & Manning (2005) yang membedah esai Lynn White, Jr yang dipublikasikan oleh Jurnal Science pada tahun 1967 berjudul “The Historical Roots of Our Ecological Crisis”. Studi akar sejarah kerusakan ekologi yang dilakukan oleh White tersebut merupakan studi literatur pertama yang cukup komprehensif untuk membedah penyebab utama krisis ekologi yang terjadi di planet ini. Tulisan White tersebut jugalah yang meletakkan pilar-pilar kajian ilmiah tentang dinamika hubungan antara manusia dan alam (ekologi manusia) untuk beberapa dekade kemudian.

Hal pertama dan utama yang diungkapkan oleh White dalam mencari akar penyebab kerusakan lingkungan adalah dengan menggali nilai dan etika dari umat manusia itu sendiri. Ia pun menggalinya dari teologi yang berkembang pesat di Barat, yaitu dari perspektif dan etika agama Yahudi dan Kristiani (Judeo-Christianity) terhadap lingkungan. Ternyata ia sampai pada kesimpulan bahwasanya kedua kitab suci dari agama besar ini memiliki pandangan yang cenderung antroposentris (berpusat pada manusia) dan menganggap bahwa manusia dan alam adalah dua hal yang berbeda. Posisi yang berbeda ini meletakkan manusia lebih tinggi dari alam dan oleh karenanya manusia berhak menguasai alam tersebut. Argumentasi White kemudian menekankan bahwa penyebab makin masif dan dramatisnya kerusakan lingkungan adalah ketika cara pandang yang antroposentris itu kemudian didukung oleh berbagai penemuan dari ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang terbukti lebih banyak bersifat destruktif terhadap alam.
Lebih lanjut, berbagai argumen yang dikemukakan oleh White dan kritikan dari berbagai sejarawan, filsuf, hingga sosiolog terhadap pendapatnya itu, kemudian menjadi diskursus yang terus berkembang dalam kajian-kajian tentang ekologi manusia hingga saat ini. Setidaknya ada empat pilar kajian penting yang diletakkan oleh White dan masih relevan hingga saat ini, yaitu pertama, tentang (pengaruh) tindakan manusia dan  perubahan ekologi, yaitu bagaimana membangun konsepsi baru tentang berbagai konsekuensi dari perilaku manusia terhadap alam dalam sistem lingkungan yang semakin kompleks. Kedua, tentang hubngan antara alam, kerja produktif dan alienasi manusia. Dalam konteks ini banyak ahli mencatat bahwa krisis ekologi mulanya diciptakan oleh praktek-praktek pertanian dan termasuk operasi industri pertanian yang membakar banyak energi fosil, tingkat produksi yang tinggi, penggunaan pupuk dan pestisida secara intensif, yang semuanya berdampak pada kerusakan ekologis dan kesehatan binatang serta manusia.
Ketiga, hubungan antara lingkungan dan demokrasi. White termasuk yang pesimis terhadap ide demokrasi dan kebudayaan yang bersifat liberal-individualistis. Dia menganggap bahwa krisis ekologi tidak lain dan tidak bukan adalah produk dari kebudayaan demokratis itu sendiri. Keempat, tentang antroposentrisme dan filosofi kehancuran ekologis. Pada titik ini arogansi manusia atas alam ditantang untuk dihentikan. Menurut White, cara pandang yang sangat antroposentris seperti dalam tradisi Yahudi-Kristiani – dan mungkin dalam perspektif agama atau ideologi-ideologi lainnya - harus diubah dengan etika yang lebih bersahabat dengan lingkungan. Termasuk dengan mengantisipasi berbagai implementasi inovasi teknologi terbaru, seperti penggunaan bioteknologi, modifikasi genetika, nuklir dan lain sebagainya. Dengan mengkaji lebih lanjut atas empat pilar tersebut, diharapkan ilmuwan kontemporer lebih bisa mengelaborasi akar-akar krisis ekologi itu, baik secara ilmiah, filosofis, historis, maupun sosiologis terkait dinamika hubungan manusia dengan lingkungan sosio-biofisikal-nya tersebut.

Gerakan Lingkungan Utara - Selatan
Lahirnya kasadaran baru terhadap isu-isu kerusakan lingkungan di atas, ditanggapi oleh munculnya berbagai gerakan lingkungan (environmental movements) baik di negara maju (utara) maupun di negara berkembang (selatan). Meskipun gerakan lingkungan tersebut sama-sama bereaksi terhadap berbagai krisis lingkungan, akan tetapi karakteristik pejuangan dan aksi dari gerakan di negara maju dan berkembang itu memiliki perbedaan yang mendasar. Dwivedi (2001:13-14) menggambarkan bahwa gerakan lingkungan di negara maju, seperti di Eropa, ini disebut sebagai gerakan sosial baru (new social movement/NSM). Ke-baru-an dari gerakan ini untuk membedakan dengan gerakan “lama” yang selama ini memiliki basis kelas-politik kaum buruh (gerakan buruh). Gerakan sosial baru di utara ini didasari oleh keprihatinan atas kondisi lingkungan dan terancamnya kualitas hidup akibat dari polusi, limbah industri, kerusakan lingkungan kota, dan lain sebagainya. Analisis yang dilakukan oleh gerakan sosial baru ini (seperti UNEP, greenpeace, Sierra Club, IUCN, WWF dan Friends of the Earth) biasanya melingkupi masalah seputar mobilisasi, organisasi dan strategi pengambilan keputusan terhadap isu-isu kebijakan lingkungan.
Berbeda dengan di negara Utara, di negara Selatan, gerakan lingkungan ini lebih dimaknai sebagai “konflik lingkungan”. Ekspresi ekonomi politik di negara selatan ini berakar pada konflik antara industri vs petani (peasants). Isu-isu besar yang dilawan oleh gerakan di selatan ini biasanya seputar komersialisasi hutan, penambangan, pertanian dengan energi yang intensif, mekanisasi perikanan, dan perebutan sumber daya alam lainnya. Untuk memahami karakteristik gerakan lingkungan di selatan ini maka perlu dipahami siapa saja aktor yang terlibat, praktek-praktek lapangannya dan isu-isu yang berkembang. Dwivendi memetakan karakteristik kontekstual gerakan lingkungan di negara-negara selatan ini melalui dua tahap, yaitu pertama, memetakan berbagai kasus-kasus populer yang terjadi dan membedah berbagai isu, aktor, tindakan dan ideologi dibelakangnya. Kedua, memetakan beragam dimensi dari berbagai gerakan lingkungan tersebut, seperti topik gerakan, hal yang dipertaruhkan, aktor dan praktek-prektek perlawanan yang dilakukan.
Dwivedi menggarisbawahi bahwa prospek gerakan lingkungan di selatan ini pada akhirnya sangat tergantung pada dinamika hubungan antara global-lokal (global-local nexus) dan hubungan antara pengetahuan-kekuasaan (knowledge-power nexus). Kedua nexus tersebutlah yang akan mempengaruhi praktek-praktek dan pemikiran dalam politik lingkungan di negara-negara Selatan pada dekade yang akan datang. Nampaknya, kajian ekologi manusia kedepan akan menjadi semakin dinamis dan penting dalam upaya membongkar relasi politis antara “nature vs culture” tersebut sekaligus memberikan penjernihan akal sehat umat manusia dalam melihat kerusakan-kerusakan dari peradaban ciptaannya sendiri.

No comments:

Post a Comment