06 April 2011

Mengurangi Konsumsi Beras

Artikel ini dimuat di Koran Jakarta, Rabu, 6 April 2011, halaman Gagasan

Oleh : Yanu Endar Prasetyo
Sampai saat ini, beras masih menjadi bahan utama pangan bagi kita. Bukan hanya sebagai komoditas yang memiliki fungsi ekonomi, tetapi juga merupakan komoditas yang memiliki fungsi sosial dan politik, baik nasional maupun global. Tercatat, konsumsi beras orang Indonesia paling tinggi di dunia, mencapai 139 kg per kapita per tahun (meskipun data ini masih dikaji ulang dan akan direvisi oleh BPS). Jepang hanya mengonsumsi 60 kg per kapita per tahun, Thailand 80 kg per kapita per tahun, dan Malaysia 90 kg per kapita per tahun.

Padahal, pada 1954, pangsa pasar beras Indonesia baru mencapai 53,5 persen dari menu makanan penduduk. Sisanya adalah ubi kayu (22,6 persen), jagung (18,9 persen), dan kentang (4,99 persen). Namun, pada 1987 (setelah swasembada beras pada tahun 1984), pola makan penduduk Indonesia telah berubah menjadi beras oriented, dan menaikkan pangsa pasarnya menjadi 81,1 persen, sementara ubi kayu turun menjadi 10,02 persen, serta jagung tinggal 7,82 persen.

Pola konsumsi pangan yang monolitik semacam ini sebenarnya berisiko menurunkan kualitas kesehatan. Manusia Indonesia menjadi rentan terkena penyakit degeneratif pada penduduk usia muda. Selain itu, pola pangan pokok tunggal ini, pada titik tertentu, memicu “kebergantungan” kita pada satu komoditas saja.

Akibatnya, tuntutan akan ketersediaan beras itu menjadi sangat tinggi. Jika tiba-tiba beras langka di pasaran, akan timbul gejolak sosial, ekonomi, dan politik yang mengkhawatirkan. Sejarah telah membuktikan bahwa banyak rezim pemerintahan jatuh akibat tidak mampu mengelola ketahanan pangan negerinya, terutama makanan pokok rakyatnya.

Kebergantungan kita pada konsumsi beras ini sebenarnya sudah pada kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Kemungkinan mencari alternatif bahan pangan sebenarnya masih sangat terbuka, mengingat kondisi alam kita yang relatif mudah ditanami aneka ragam tanaman.

Tetapi hampir sebagian besar rumah tangga, bahkan di daerah yang dulunya tidak mengenal padi atau beras, sekarang mengonsumsi beras dan meninggalkan pangan tradisionalnya seperti sagu.

Begitu pula dengan rumah makan, warung, restoran, dan penyedia makanan lainnya yang bertumpu pada beras sebagai komponen utamanya. Mengapa menjadi demikian rumit m e n g - ubah pola pikir masyarakat kita agar mau beralih dari beras? Secara psikologis, tumbuh “keyakinan” pada sebagian masyarakat kita bahwa belum lengkap jika makan tanpa nasi.

Atau dalam istilah lain belum disebut makan jika belum makan nasi. Akibatnya, makanan lain dianggap sebagai sekunder dan pengantar saja dari makanan utama, yaitu nasi.

Akar tumbuhnya hal ini tentu saja, secara ekonomi, beras pernah menjadi bahan pangan yang populer dan sangat terjangkau harganya ketika kita mencapai swasembada beras di zaman Orde Baru. Rahasia di balik tercapainya swasembada itu tidak lain adalah akibat masifnya penerapan intensifikasi pertanian dengan “senjata” teknologi hasil revolusi hijau (green revolution) yang awalnya mengagumkan tetapi akhirnya malah menghancurkan sendi-sendi ekologis dalam jangka panjang. Seperti yang kita rasakan saat ini.

Dampak popularitas beras itu pun terus mengakar kuat pada generasi-generasi selanjutnya yang sejak dini telah dididik untuk mengonsumsi beras. Generasi saat ini bahkan kesulitan menemukan bahan olahan pangan lain yang sebenarnya setara dengan beras, seperti ubi, singkong, talas, gembili, dan jagung.

Program-program diversifikasi pangan yang didorong oleh pemerintah, termasuk program one day no rice, pun seperti tidak memberi dampak yang signifikan bagi penurunan konsumsi beras ini. Banyak orang yang sebenarnya memiiliki kreativitas dalam mengolah bahan pangan nonberas menjadi makanan yang unik, enak, dan bercita rasa tinggi.

Akan tetapi, tanpa dukungan serius untuk menjadikan beragam makanan kreatif ini menjadi populer, hasilnya tetap akan nihil. Malahan sebaliknya, negeri kita makin hari justru makin dibanjiri oleh beras impor dari negara tetangga.

Faktor lain penyebab makin sulitnya mengurangi konsumsi beras adalah hilangnya pekarangan sebagai salah satu entitas yang dulu tidak terpisahkan dari lingkungan rumah kita. Fungsi pekarangan pada masa lalu adalah menunjang ketahanan pan pan g a n rumah t a n g g a s e c a r a langsung (Ma r yo to, 2009:177).

Di pekarangan itulah aneka jenis tanaman pangan, obat-obatan, maupun buah-buahan ditanam dan dikonsumsi oleh rumah tangga. Hilangnya pekarangan ini berarti pula masyarakat hanya bisa memilih apa yang ada dan tersedia di pasar.

Kalaupun masih ada rumah yang memiliki pekarangan, cenderung hanya berfungsi sebagai pelengkap keindahan atau ditanam tanaman komersial. Fungsi untuk melengkapi variasi pangan keluarga hampir-hampir ditinggalkan dan tidak lagi populer. Kondisi ini seharusnya menjadi kegelisahan kita bersama.

Lebih-lebih, secara global, ancaman krisis pangan belumlah berakhir, bahkan ke depan, krisis pangan ini berpotensi semakin kompleks. Selama satu abad saja penduduk dunia telah bertambah dari dua miliar di akhir abad ke-19 menjadi enam miliar lebih di akhir abad ke-20 kemarin. Jika tidak diantisipasi dan dikendalikan, ledakan penduduk yang lebih besar bisa saja terjadi dan berdampak pada eksploitasi sumber daya alam yang lebih luas.

Eksploitasi yang meningkat menyebabkan degradasi lingkungan dan perubahan iklim yang makin tidak menentu, termasuk pemanasan global yang kian meningkat. Iklim yang tidak menentu menyebabkan musim tidak menentu, petani gagal panen, lahan padi kebanjiran, dan akibatnya bukan tidak mungkin beras menjadi langka dan mahal.

Kondisi akan lebih parah jika negara- negara eksportir beras yang lain mengalami hal yang sama dan mulai menghentikan ekspornya. Bukankah kita tidak perlu menunggu hingga beras benar-benar langka untuk mencari alternatif bahan pangan pokok lainnya? Sekaranglah saatnya sedikit demi sedikit kita mulai mengurangi konsumsi beras dan beralih pada komoditas pangan lainnya. Tentu saja pada makanan lain yang sesuai dengan selera Anda masing-masing. n

Penulis adalah peneliti LIPI dan mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB.

No comments:

Post a Comment