28 March 2011

Merebut Mimpi Kedaulatan Pangan


Artikel Ini dimuat di harian umum Pasundan Ekspres, Edisi Senin, 28 Maret 2011, Hal Opini

Oleh : Yanu Endar Prasetyo
Dalam Declaration of Human Right tahun 1948 dan Word Conference on Human Right tahun 1993 telah disepakati bahwa setiap individu berhak memperoleh pangan yang cukup. Pemenuhan kebutuhan pangan menjadi hak asasi dari manusia yang tidak dapat ditawar lagi. Oleh karena itu, kekurangan pangan atau gizi buruk yang menimpa seseorang atau rumah tangga, maka itu berarti sebuah pelanggaran HAM dan harus menjadi tanggung jawab masyarakat, pemerintah dan negara yang bersangkutan untuk mengatasinya (Hafsah, 2006:74).
Persoalan pangan yang kita hadapi saat ini masih seputar terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, rendahnya kemampuan daya beli, rentannya stabilitas ketersediaan pangan secara merata dan harga yang terjangkau, ketergantungan yang tinggi terhadap beras, kurangnya diversifikasi pangan, belum efisiensiennya proses produksi pangan, rendahnya harga jual yang diterima petani, serta masih mengalami ketergantungan terhadap impor pangan. Di sisi lain, fenomena di lapangan menunjukkan bahwa masalah utama lainnya adalah bukan pada jumlah pangan yang tidak cukup, tetapi karena sebagian besar orang sudah terlalu miskin untuk membeli makanan yang mereka butuhkan dan pada waktu bersamaan mereka juga kehilangan sumber daya pangan yang sebelumnya mereka miliki (Carino, 2004:2)
Kondisi ketahanan pangan (yang tercermin lewat swasembada pangan) ternyata tidak berbanding lurus dengan berkurangnya kemiskinan si penyedia pangan, yaitu kaum tani. Ketahanan pangan bahkan cenderung mengabaikan persoalan darimana, siapa, dan bagaimana pangan itu diproduksi hingga mencapai taraf yang mencukupi? Oleh karena itu, lahir konsep tandingan yang memposisikan diri lebih “berpihak“ kepada petani yang mayoritas kini berada di bawah garis kemiskinan. Konsep ini dikenal dengan istilah kedaulatan pangan (food sovereignty).
           
Alternatif Kedaulatan Pangan

Kedaulatan pangan adalah kebebasan dan kekuasaan rakyat serta komunitasnya untuk menuntut dan mewujudkan hak untuk mendapatkan dan memproduksi pangan (sendiri) serta upaya melawan kekuasaan korporasi serta kekuatan lainnya yang merusak sistem produksi rakyat melalui perdagangan, investasi, serta alat-alat dan kebijakan lainnya (Malonzo, 2007:6). Kadaulatan Pangan ini merupakan perwujudan dari Hak Atas Pangan yang menurut definisi FAO (Food and Agriculture Organization) adalah hak untuk memiliki pangan secara teratur, permanen, dan bisa mendapatkannya secara bebas, baik secara cuma-cuma maupun membeli dengan jumlah dan mutu yang mencukupi serta cocok dengan tradisi-tradisi kebudayaan masyarakat yang mengkonsumsinya.
Sayangnya, kebijakan-kebijakan neo-liberal yang ada telah merusak kedaulatan pangan itu sendiri karena lebih mementingkan perdagangan internasional daripada hak-hak rakyat atas pangan. Banyak kebijakan yang justru meningkatkan ketergantungan rakyat pada impor pertanian dan mengintensifkan peng-korporasi-an lembaga pertanian. Hal ini menyebabkan kelestarian genetika alam, warisan lingkungan hidup, serta budaya masyarakat berada dalam ancaman kerusakan yang lebih besar.
Monopoli pasar oleh perusahaan-perusahaan raksasa dunia melalui perdagangan bebas, telah melahirkan pemikiran bahwa pertanian sub-sisten berskala kecil dianggap sebagai usaha yang tidak efisien sehingga harus disapu bersih melalui liberalisasi. Contohnya adalah lahan produktif yang sangat luas yang semula diperuntukkan untuk tanaman pangan, dikonversi menjadi lahan perkebunan swasta atau diperuntukkan untuk pembangunan lainnya. Hal ini telah menghancurkan lapangan pekerjaan jutaan orang di desa dan memperburuk kemiskinan yang mereka alami.
Dalam produksi pangan, Kedaulatan Pangan ini menekankan pada persoalan self-reliance (kepercayaan pada diri sendiri) dan self-sufficiency (kesanggupan memenuhi keperluannya sendiri). Hal ini membutuhkan iklim usaha tani yang ditopang oleh demokrasi ekonomi, dimana hak kaum tani untuk membuat keputusan dalam mencari nafkah harus ditegakkan dan dominasi elit serta korporasi harus dikurangi. Tindakan Pemerintah yang bisa diambil dalam konteks ini adalah melakukan re-distribusi, yaitu untuk menjamin mata pencaharian, pendapatan, dan penyediaan modal yang merata dalam sektor pertanian. Sehingga mencegah konsentrasi sumberdaya di tangan tuan tanah atau korporasi. Produksi pangan ini juga seharusnya mampu menggerakkan bagian terbesar dari produsen pangan, yaitu para petani kecil, baik dengan membuka akses mereka terhadap tanah yang subur, air, benih, ternak, teknologi ramah lingkungan dan lain sebagainya.
Kedaulatan Pangan juga berupaya menjamin perlindungan dan promosi atas hak dan kesejahteraan pekerja, ketentuan atas pekerjaan yang bermartabat, upah yang adil serta keselamatan kerja. Misalnya dengan berusaha menghilangkan praktek-praktek riba dalam pertanian, teknologi yang berbasis keanekaragaman hayati, menghentikan penggunaan pestisida dan mencegah penyeragaman pangan melalui tanaman hasil rekayasa genetika. Selain itu, prinsip keamanan pangan, kesehatan, dan gizi juga harus diperhatikan, khususnya kepada sektor-sektor yang rentan seperti perempuan, anak-anak, dan lanjut usia. Semua hal diatas adalah yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan bangsa ini.
Akhirnya, apakah tujuan kedaulatan pangan di atas terlalu utopis? mengingat pembangunan yang ada saat ini lebih banyak disetir dan didorong oleh kepentingan kapitalisme. Hal ini akan sangat tergantung kepada kemauan politik dan kolektif pemimpin bangsa ini. Apakah mau terus menjadi negara berkelimpahan sumber daya alam tetapi bergelimangan rakyat miskin? Atau memilih menjadi tuan di negeri sendiri? Sekaranglah saatnya (*)
 

Peneliti LIPI & Mahasiswa S2 Sosiologi Pedesaan IPB

No comments:

Post a Comment