18 March 2011

Apa Kabar Petani Lele Pantura?

Artikel Ini dimuat di Harian Pasundan Ekspres edisi Jum'at, 18 Maret 2011, hal OPINI

oleh : Yanu Endar Prasetyo

Ikan lele merupakan salah satu komoditi perikanan darat yang saat ini makin digemari masyarakat. Dahulu, banyak stigma negatif tentang lele, seperti budidaya-nya yang dianggap jorok, dagingnya berbau amis dan lumpur yang menyengat, hingga anggapan daging lele tidak sehat karena banyak memakan limbah. Akan tetapi, lambat laun stigma tersebut terkikis dengan semakin meluasnya penerapan budidaya lele yang lebih terpola dan sehat, misalnya dengan penggunaan pakan buatan dan kolam-kolam dengan sirkulasi air yang relatif memadai. Menjamurnya warung makan pecel lele di pinggir-pinggir jalan makin menambah semarak konsumsi ikan lele ini. Bahkan, tidak sulit menemukan menu ikan lele yang variatif di restoran atau rumah makan kelas menengah ke atas.  

Perkembangan positif ini tentu menjadi kabar baik bagi petani-pembudidaya ikan lele, termasuk yang ada di kabupaten Subang dan sekitarnya. Secara garis besar, ada dua kelompok petani ikan lele. Kelompok pertama adalah mereka yang melakukan budidaya pembibitan atau dalam istilah petani Pantura (sekitar Pantai Utara) adalah budidaya pembenuran. Produk pembenuran ini nantinya berupa bibit ikan lele yang berumur sekitar 15-50 hari. Sedangkan kelompok kedua adalah petani pembesaran. Mereka adalah para petani yang mulai menanam lele dari usia benur tadi, hingga mencapai usia kurang lebih 90 hari. Pada usia tersebut, ikan lele sudah siap dilempar ke pasar sebagai ikan konsumsi. Rata-Rata ukuran ikan konsumsi tersebut adalah 1/7 – 1/9 (dibaca : 7 ekor/kg - 9 ekor/kg). Khusus untuk komunitas petani lele di daerah Pantura, pasar mereka selama ini yang terbesar adalah ke Jakarta, Bandung dan Parung (Bogor).

Dalam keyakinan petani, berbudidaya ikan lele tidak selamanya sama persis dengan teori-teori yang ada. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil panen, mulai dari harga pakan, kondisi air, penyakit, ketersediaan pakan campuran (ikan rucah, kepala ikan, dll), cuaca, dan peran para bakul (bandar). Permasalahan yang dihadapi petani lele pembesaran umumnya lebih kompleks daripada yang dihadapi petani pembenuran. Sebab, masa waktu budidaya yang lebih panjang, memerlukan biaya yang lebih besar dan pemeliharaan yang lebih intensif. Modal dan resiko kegagalan yang ditanggung pun menjadi lebih besar. Meskipun demikian, bukan berarti petani pembenuran tidak memiliki masalah. Masalah utama mereka adalah penyakit atau kondisi alam yang sering menyebabkan banyak benur tidak mampu bertahan dan akhirnya mati.

Struktur Niaga “Kanibal”

Karena sifat ikan lele yang cenderung kanibal (memakan sesama), maka muncul kebiasaan petani pembudidaya lele yang melakukan seleksi rutin. Petani biasa menyebut proses seleksi rutin ini dengan istilah “krakat”, yakni memisahkan ikan yang sudah besar dengan yang lebih kecil. Peng-krakat-an ini biasanya dilakukan 2 minggu sekali. Rata-rata empang (kolam) dikrakat paling sedikit 3 kali dalam satu musim tanam. Hal ini dilakukan untuk menghindari ikan besar memakan ikan yang lebih kecil. 

Untuk pola pemberian pakan, secara teori, mereka cukup memberikan pakan pelet komersial yang ada di pasaran. Akan tetapi, menurut pengalaman petani, biaya untuk pakan tersebut teramat mahal dan kurang efisien. Untuk mendapatkan 7 ton ikan dari 70.000 benur yang ditanam, petani menghabiskan pakan kurang lebih hingga 3 ton. Dengan harga pakan saat ini sekitar Rp. 7.000/kg, maka dalam satu musim mereka harus menyediakan biaya pakan mencapai 21 juta rupiah. Belum termasuk biaya pemeliharaan, tenaga kerja, pupuk dan lain-lain. Sebuah angka yang cukup besar untuk seorang petani kecil. Untuk mendapatkan pakan itu, sebagian besar petani terpaksa berhutang pada bandar pakan. Biasanya, bandar akan mengambil untung Rp. 200/kg dari hasil panen ikan lele petaninya tersebut. Artinya, jika mereka menggunakan pakan komersial ini terus menerus hingga panen, keuntungan yang diperoleh pun akan semakin sedikit bahkan bisa rugi.

Untuk menyiasati hal tersebut, mereka biasa menggunakan “pakan lain” yang lebih murah sebagai “selingan” dari pakan komersial. Pakan lain tersebut yang paling populer adalah kepala ikan (ikan rucah) sisa dari industri pembuatan ikan asin manis yang ada di kampung nelayan di daerah pantura. Pakan dari limbah kepala ikan ini sangat disukai oleh ikan lele. Ketika tersedia limbah kepala ikan, maka pada pagi hari petani memberikan pakan komersial, dan pada sore hari akan memberikan pakan limbah tersebut.

Akan tetapi, untuk memperoleh pakan campuran tersebut ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Para petani yang memiliki modal besar dan koneksi dengan pengusaha ikan asin biasanya memiliki akses lebih mudah terhadap “pekan selingan” tersebut. Pola yang ada adalah, seseorang yang ingin mendapatkan “jatah” kepala ikan harus “menanam modal” dahulu kepada pengusaha/bandar minimal sebesar 10 juta rupiah. Semakin besar modal yang ditanam, maka semakin murah harga yang diperoleh. Itu pun, para penanam modal harus tetap standby dan mengontrol jatahnya. Jika tidak, ada kemungkinan jatahnya akan diserobot oleh petani lain yang menanam modal lebih besar. Sampai disini, kanibalisme ternyata tidak hanya terjadi pada si ikan lele, antar petani pun juga terjadi “saling memakan”.

Selain itu, keberadaan limbah kepala ikan ini hanya ada selama 10 bulan dalam setahun, kerena pada musim gelombang tinggi banyak nelayan tidak melaut. Pada masa seperti itu ikan limbah ini selalu menjadi rebutan. Tidak hanya itu, diantara pengusaha “kepala ikan” dengan petani, ternyata masih ada tangan lain semacam makelar atau tenaga pengantar yang semakin menambah biaya untuk mendapatkan kepala ikan tersebut. Perbandingannya, jika harga limbah kepala ikan dari pengusaha misalnya Rp. 9.000/bak, maka kalau petani menggunakan jasa penjual atau makelar untuk mengantar ke tempat, maka ongkosnya bisa naik menjadi Rp. 15.000.

Ternyata tidak mudah bagi petani untuk menjawab tantangan permintaan ikan lele yang terus meningkat. Musim yang tidak menentu dan pasokan air yang terbatas, hanyalah sebagian kecil dari persoalan yang dihadapi oleh petani. Ketergantungan pakan dan ketidakadilan dalam tata niaga juga menjadi persoaan tersendiri yang perlu mendapat perhatian. Meskipun demikian, kita perlu belajar dari para petani ini yang tidak menyerah begitu saja. Ada baiknya para pemangku kebijakan di sektor perikanan daerah ini lebih sering turun ke bawah melihat lebih dalam lagi berbagai persoalan yang mereka hadapi, sehingga mampu mencari akar masalah yang dihadapi para petani bermodal kecil ini. Atau sekedar menanyakan bagaimana kabar mereka juga tidak masalah.


No comments:

Post a Comment