02 March 2011

Adu Cerdik dengan Minimarket


Artikel Ini dimuat di Harian Tribun Jabar, Edisi Rabu, 2 Maret 2011

Oleh : Yanu Endar Prasetyo

Akhir-akhir ini, tidak sulit rasanya menemukan supermarket atau minimarket untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga. Sebab, minimarket sebagai sebuah bentuk swalayan modern ini telah tumbuh bak cendawan di musim hujan. Hampir di setiap sudut strategis di kota atau daerah dimana kita tinggal dapat kita temui minimarket dengan berbagai nama. Sebagian besar minimarket yang ada memang merupakan franchise atau waralaba yang telah ternama dan dikelola dengan manajemen profesional serta modern. Tidak heran jika kemudian minimarket menjadi pilihan tempat berbelanja yang digemari oleh masyarakat.

Di sisi lain, kehadiran minimarket ini juga menuai kontroversi. Selain dianggap menghancurkan pasar tradisional dan usaha kelontong rakyat, pembangunan minimarket juga dituding tanpa perencanaan dan penataan yang baik. Fenomena yang terjadi di berbagai kota maupun kabupaten menunjukkan pertumbuhan minimarket ini luar biasa cepat dan masif, namun tidak diimbangi dengan penataan lokasi yang terencana. Nampak jarak antara satu minimarket dengan yang lainnya terlalu dekat dan bahkan ada yang berhadap-hadapan. Bukan hanya bersaing dengan pedagang toko kelontong atau antar waralaba, tetapi sesama merk waralaba pun juga bersaing ketat menguras kantong pembeli. 

Trend pertumbuhan minimarket ini juga didorong oleh gaya hidup masyarakat yang makin hari makin konsumtif. Budaya konsumsi ini tentu saja membutuhkan sebuah ruang atau pasar yang nyaman, menyenangkan, rekreatif, dan sekaligus menaikkan gengsi. Kehadiran minimarket yang mampu melayani 24 jam dengan full AC, lampu sangat terang, dan harga barang yang bersaing ini telah membuat banyak pembeli jatuh hati. Bahkan, untuk beberapa produk seperti air mineral, makanan ringan, dan barang harian seperti sabun mandi atau cuci berbagai merek, harganya seringkali lebih murah dibandingkan dengan yang dijual di toko kelontong biasa atau di kaki lima. Wajar jika kemudian banyak pembeli beralih dari pasar tradisional yang umumnya becek dan kumuh pindah berlanggan ke minimarket.

Tim Harford (2009:59-63), penulis buku The Undercover Economist : Exposing Why the Rich Are Rich, The Poor Are Poor, and Why You can Never Buy a Decent Used-Car mengungkapkan berbagai strategi yang dilakukan oleh pengelola supermarket dan minimarket ini dalam menarik dan sekaligus “mengelabui” pelanggannya. Selain dengan tampilan visual yang lebih bersih, nyaman, dan menyenangkan – hal ini berarti juga mereka telah menggunakan energi listrik yang besar – pengelola minimarket biasanya juga menggunakan strategi price-targeting, sale pricing dan self-targeting tertentu sebagai strategi gado-gado untuk menguras kantong Anda, para pelanggan setia minimarket.

Harford mengungkapkan ada dua tipe pembeli yang datang berbelanja ke minimarket. Tipe pertama adalah pelanggan setia atau dengan kata lain pelanggan yang tidak peduli dan malas mengingat harga-harga produk yang dibelinya. Tipe kedua adalah para pemburu harga murah, yaitu para pembeli yang selalu mencari dan mengutamakan harga murah serta sangat detail melihat harga produk yang dibelinya. Sebagian besar pengelola minimarket enggan untuk menjaring hanya salah satu kelompok pembeli ini. Umumnya mereka berusaha agar semua pelanggan yang masuk ke dalam minimarket bisa berbelanja dengan royal. Oleh karena itu, mereka biasanya melakukan pengacakan atau mengubah-ubah pola penawaran khusus dan harga produk-produk mereka.

Pola penjualan obral yang acak, pada sisi lain juga merupakan pola untuk kenaikan harga. Sering kita temui, di setiap minimarket, meskipun dengan merk waralaba yang sama, dengan lokasi yang berbeda, maka harga-harga produk tertentu yang sama pun juga berbeda. Selain itu, dalam rentang waktu tertentu harga-harga produk di satu minimarket tersebut juga naik turun tanpa bisa diprediksi oleh pelanggan. Termasuk barang apa saja yang didiskon atau diobral. Hal ini yang disebut oleh Harford sebagai strategi gado-gado untuk melakukan penggelembungan harga secara halus dan tidak disadari, khususnya oleh tipe pelanggan setia. 

Pengelola minimarket sangat menyadari bahwa pelanggan biasanya tidak mau repot untuk berbelanja dengan berpindah-pindah toko. Oleh karena itu, mereka berupaya menyediakan sebanyak mungkin pelayanan yang instant dan praktis, termasuk menjual pulsa, membuat kartu diskon untuk pelanggan, menyediakan air panas untuk membuat kopi atau mie instan, dan servis tambahan lainnya di dalam satu toko. Minimarket juga dengan cerdik selalu menyediakan produk-produk yang sangat mirip atau tidak begitu mirip, dengan harga yang murah sampai mahal, sehingga memiliki rentang acak yang menonjol untuk menentukan harga. 

Unsur inilah yang dimanfaatkan dan dimanipulasi oleh minimarket agar hanya pelanggan yang jeli melihat, mengingat dan membandingkan harga saja yang mampu mengambil keputusan yang tepat. Oleh karena itu, senjata paling baik untuk adu cerdik dengan minimarket ini bukan dengan jalan mencari minimarket atau supermarket mana yang menjual serba murah – karena itu hampir tidak ada – melainkan dengan kejelian dalam mengingat dan mengamati detail harga. Namun, jika Anda tidak mau repot dengan cara begitu, maka Anda memang orang yang tidak perlu berhemat.

Penulis Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB

No comments:

Post a Comment