Teknologi
rekayasa genetika merupakan transplantasi atau pencangkokan satu gen ke gen lainnya dimana dapat bersifat antar gen dan dapat pula lintas gen.
Rekayasa genetika juga diartikan sebagai perpindahan gen. Misalnya gen pankreas babi ditransplantasikan ke bakteri Escheria
coli sehingga dapat menghasilkan insulin dalam jumlah yang besar. Sebaliknya gen bakteri yang menghasilkan toksin pembunuh
hama ditransplantasikan ke tanaman jagung maka akan diperoleh jagung transgenik yang
tahan hama tanaman. Gen dari sel ambing susu domba ditransplantasikan ke sel
telurnya sendiri yang kemudian ditumbuhkembangkan di dalam kandungan induknya
sehingga lahirlah domba Dolly yang merupakan hewan kloning (cangkokan ) pertama
di dunia. Demikian pula gen tomat ditransplantasikan ke ikan transgenik sehingga
ikan menjadi tahan lama dan tidak cepat busuk dalam penyimpanan[1].
Rekayasa
Genetika (RG), merupakan salah satu teknologi baru dalam bidang biologi. Salah satu produk RG yang dikenal saat ini adalah tanaman transgenik.
Tanaman ini dihasilkan dengan cara mengintroduksi gen tertentu ke dalam tubuh
tanaman sehingga diperoleh sifat yang diinginkan. Jenis-jenis tanaman transgenik
yang telah dikenal diantaranya tanaman tahan hama, toleran herbisida, tahan
antibiotik, tanaman dengan kualitas nutrisi lebih baik, serta tanaman dengan
produktivitas lebih tinggi. Istilah pangan transgenik merujuk pada pangan yang
bahan dasarnya mengandung organisme yang telah mengalami rekayasa genetika.
Dalam bidang bioteknologi, rekayasa genetika dikenal juga sebagai bioteknologi
modern.
Selama
dasawarsa terakhir, tanaman bioteknologi telah melonjak volumenya dari tanaman di rumah kaca, ladang percobaan, percontohan, menjadi komoditas
perkebunan dengan skala luar biasa luasnya. Lahan pertanian yang digunakan
untuk produksi pangan transgenik meluas meliputi 130 juta acre yang tersebar di
13 negara di antaranya Argentina, Canada, RRC, Afrika Selatan, Australia,
Jerman dan Spanyol hanya dalam kurun waktu lima tahun. Lahan pertanian GMO
Amerika Serikat sendiri meningkat 25 kali, dari 3,6 juta acre pada 1996
mencapai 88,2 juta acre pada 2001. Kecenderungannya setiap tahun akan terus meningkat
dengan kecepatan tinggi. Sehingga akan semakin sulit dan mahal untuk
mendapatkan bahan mentah produk pangan non-GMO bagi perkembangan industri pengolahan
pangan di mana saja. Lebih dari 50 jenis tanaman pangan GMO telah lolos dari
uji dan review pemerintah federal AS dan sekitar 100 jenis komoditas GMO baru
sedang mengalami uji lapang. Negara yang secara rutin mengimpor pangan dari
negara-negara produsen pangan GMO baik dalam bentuk bahan mentah maupun bahan
olahan (prepackaged foods), dipastikan
telah banyak mengkonsumsi pangan GMO atau transgenik setiap hari. Indonesia
merupakan salah satu negara pengimpor pangan tersebut. Dalam memperoleh
kemajuan besar di bidang pertanian melalui bioteknologi, manusia harus
bersyukur kepada gen yang dapat dipinjam dari suatu bakteri yang biasanya
terdapat di lahan-lahan pertanian yang dikenal sebagai Bacillus thuringiensis yang
sering disingkat sebagai Bt saja.
Saat ini ada
empat Tanaman Transgenik utama yaitu:1). Kedelai transgenik yang menguasai 36
persen dari 72 juta hektar (ha) area global tanaman kedelai, 2). Kapas transgenik yang mencakup 36 persen dari 34 juta hektar, 3). Kanola transgenik,
11 persen dari 25 juta hektar, dan 4). Jagung transgenik, 7 persen dari 140
juta hektar. Berdasarkan luas area penanaman dan sifat baru yang disisipkan, kedelai
transgenik tahan herbisida menduduki ranking pertama (25,8 juta hektar) diikuti
jagung Bt (tahan ulat pengerek), kanola tahan herbisida, jagung tahan herbisida,
kapas tahan herbisida, kapas Bt dan tahan herbisida, kapas Bt, serta jagung Bt
dan tahan herbisida.
1.
Biopolitik Benih/pangan Transgenik
Di
level global dan internasional, polemik tentang tanaman dan pangan transgenik
telah berkembang menjadi isu besar yang mempengaruhi politik, ekonomi, sosial,
bahkan meningkatkan ketegangan antar negara. Mei 2003, Amerika Serikat beserta
negara-negara lain melaporkan Uni Eropa ke WTO karena memberlakukan kebijakan
"moratorium" terhadap tanaman maupun pangan transgenik, serta meminta
WTO untuk menyatakan bahwa kebijakan tersebut ilegal. Akibatnya, petani AS
kehilangan pendapatan dari ekspor jagung dan kedelai ke Uni Eropa (EU)
masing-masing 300 juta dollar AS dan 1 miliar dollar AS per tahun, belum
terhitung produk olahan turunan kedelai dan jagung (Santosa, Kompas 13/8/03).
Namun
kondisi semacam itu tidak pernah membuat korporasi internasional yang menjual
benih transgenik kehilangan akan. Mereka pun menggunakan segala cara untuk
memuluskan langkah bisnisnya. Lobi penguasa benih transgenik ini memang terbukti
kuat. Monsanto dan sejumlah perusahaan transnasional (TNC) seperti Syentega,
Astra Seneca, dan Novartis, menaikkan sumbangan politisnya ke Partai Republik
AS yang tengah berkuasa, dari 37 juta dolar AS (1992) menjadi 53 juta dolar AS
(2002). Kini, 72% dari penerimaan dana partai itu berasal dari perusahaan
agrobisnis (The New York Time, 9/9/2003). Sebagai balas budi, Presiden AS
George W. Bush tahun 2002 lalu menandatangani kebijakan pertanian baru yang
merestui kenaikan subsidi pertanian (Farm Bill) sebesar 180 miliar dolar AS
untuk periode 10 tahun ke depan. Monsanto c.s. juga duduk di organisasi
pengambil keputusan penting.
Tidak heran
apabila Monsanto demikian leluasa melakukan praktik ilegal dengan memanfaatkan
kekuatan lobinya itu. Praktik ilegal untuk memuluskan kapas transgenik Bollgard
di Indonesia dilakukan, antara lain dengan menebar dusta. Ketika pertama kali
datang ke Sulawesi Selatan (1997), Monsanto menjanjikan panenan kapas
transgenik Bollgard akan meningkat hingga 3,5 ton per hektare, dengan biaya
produksi rendah, tahan hama, dan ramah lingkungan. Agar janji itu lebih
meyakinkan, Monsanto menggandeng ilmuwan petualang. Iklan kapas transgenik
diusung dan disosialisasikan ke mana-mana. Para pakar petualang bilang, Tanaman
transgenik Bollgard mampu meningkatkan pendapatan petani kapas lima kali lipat
dan produksinya meningkat lebih dari 400%.
Seperti
disihir, hampir semua bupati di Sulawesi Selatan ingin menanam kapas. Dari
tujuh kabupaten tahun 2001 menjadi sembilan kabupaten di tahun 2002. Siapa
bupati yang tidak ingin melihat rakyatnya sejahtera. Hitungannya, janji
produksi Bollgard 3,8 ton per ha dan harga Rp 2.500 per kilogram. Jadi
didapatkan Rp 9,5 juta per ha. Katakanlah Bupati Bantaeng menanam 2.000 ha
Bollgard, maka uang yang didapatkan sebesar Rp 19 miliar. Berapa PAD Bantaeng?
Iklan Bollgard yang tidak didasari oleh akal sehat lewat ilmuwan kampus yang
tidak bernurani, membuat banyak petani kapas terjerumus dalam mimpi. Inilah
proses biopolitik yang seringkali mengiringi kontroversi benih atau pangan
transgenik di dunia dan termasuk di Indonesia.
Biopolitik
itu sendiri merupakan istilah baru yang didefinisikan sebagai politisasi
isu-isu bioteknologi modern di dalam kerangka arus besar politik (political stream) yang mempengaruhi
kebijakan publik pada tingkat local, nasional bahkan internasional.
Elemen-elemen dari political stream meliputi: 1) persepsi nasional yang terdiri
dari opini Masyarakat, iklim opini, dan media massa; 2) kekuatan politik yang
terorganisasi yaitu partai-partai politik, kelompok penekan dan kelompok pelobi;
3) pembangunan konsensus yang terdiri dari band-wagons
dan tawar-menawar, 4) pemerintah yang meliputi perubahan kekuasaan, pemilihan
umum, dan perubahan personalia di pemerintahan (Kompas[2],
23/08/2002).
Dari
berbagai kajian biopolitik terbukti ilmuwan menempati urutan tertinggi sebagai
pihak yang paling dipercaya oleh masyarakat dan memiliki pengaruh besar dalam
penentuan kebijakan publik, sedangkan perusahaan menempati urutan terendah. TNC
memahami itu. Dengan menggunakan kekuatannya memengaruhi dan membentuk opini
yang berkembang, terutama di kalangan ilmuwan dan penentu kebijakan, di
masyarakat, lembaga-lembaga internasional serta negara-negara yang menjadi
sasaran komersialisasi produk mereka. Akhirnya, arah dan paradigma ilmu
ditentukan oleh gerak TNC. Fenomena the
corporate take over of science ini merupakan dosa terbesar para ilmuwan
petualang pada rakyat.
2.
Pro-Kontra Benih/Pangan Transgenik
di Indonesia
Berikut ini
beberapa contoh pro-kontra dari adopsi beberapa benih transgenik di Indonesia :
Pro-Transgenik
|
Anti-Transgenik
|
Dalam
laporan FAO (17/5/2004) disebutkan, adopsi kapas Bt (produksi Monsanto) di
Amerika Serikat telah memberikan keuntungan ekonomi per tahun rata-rata
sebesar 200 juta dollar AS hingga 250 juta dollar AS yang terdistribusikan
bagi industri sebesar 35 persen, petani 46 persen, dan konsumen 19 persen[3].
Keuntungan
ekonomi penerapan kapas Bt juga didapatkan di Argentina, China, Meksiko, dan
Afrika Selatan, yaitu masing-masing sebesar 23, 470, 295, dan 65 dollar AS
per hektar per musim tanam.
Kedelai
RR (tahan herbisida Roundup Ready, Monsanto) mendulang keuntungan ekonomi
pada tahun 2001 lebih dari 1,2 miliar dollar AS. Konsumen diuntungkan sebesar
652 juta dollar AS akibat harga yang rendah, dan Monsanto menerima 421 juta
dollar AS sebagai technology revenue.
Petani
yang terlebih dahulu menanam kedelai transgenik RR di AS dan Argentina
mendapat keuntungan lebih dari 300 juta dollar AS dan 145 juta dollar AS,
sedangkan petani di negara yang tidak menanam kedelai RR dirugikan sebesar
291 juta dollar AS pada tahun 2001 akibat menurunnya harga kedelai di pasaran
dunia sebesar dua persen.
Dalam
laporan juga diulas mengenai potensi keuntungan ekonomi yang akan diperoleh
oleh Filipina bila menanam Golden Rice (padi transgenik yang disisipi gen
beta-karotin, prekursor vitamin A), yaitu sebesar 137 juta dollar AS.
Sebaliknya negara-negara di Afrika Barat akan mengalami kerugian karena tidak
mengadopsi kapas Bt sebesar 21 juta dollar AS hingga 205 juta dollar AS
setiap tahunnya.
|
Beberapa
penelitian yang melibatkan berbagai pakar biologi molekuler di Amerika dan
Ingris, mengisyaratkan bahwa tanaman pangan hasil transgenic, menurut
Direktur Eksekutif Konphalindo, Tejo Wahyu Jatmiko, membahayakan bagi
kesehatan manusia. Meski selama ini baru diujicobakan di laboratorium
menggunakan mencit, cukup beralasan untuk menolak tanaman hasil produk
transgenic dipasarkan di Indonesia karena berbahaya. Menurut Tejo,
hasil-hasil penelitian di Amerika dan Ingris, cukup membuktikan kekawatiran
produk itu diperjual-belikan di pasaran bebas. Penelitian pada mencit yang
diberi makan produk transgenic dalam jangka waktu, katanya menambahkan,
terjadi pemendekan usus pada binatang percobaan[4].
“Penelitian sejenis dilakukan di empat
negara maju lain pada mencit. Empat dari 20 mencit, yang diberi makan produk
kentang hasil rekayasa genetic, mengalami luka lambung. Bahkan, di Inggris,
sejumlah ayam mati setelah mengkonsumsi jagung transgenic,” kata Tejo
Wahyu Jatmiko seraya menambahkan, “Itu
suatu bukti bahwa ada potensi dampaknya. Dampak pada manusia memang belum ada
karena belum diteliti. Tetapi mencit bisa menjadikan indikasi. Dimanapun
pemelitian untuk manusia dipakai mencit karena dianggap sama dengan manusia.”
penelitian
dampak tanaman trangenik tidak semudah yang dibayangkan. Dari 100% uang untuk
penelitian rekayasa genetika ini, 99% nya digunakan untuk penelitian manfaat.
Hanya 1% untuk penelitian dampak dan resiko. Biasanya dengan kekuatan modal
perusahaan produsen multinasional yang sangat kuat, mereka akan membuat
penelitian tandingan untuk menutupi penelitian yang negatif tantang produk
ini.
|
Dari
penelitiannya di Lampung dan Jatim, April 2007—Juni 2008, Edwin Sanso Saragih (mantan Technology
Development Lead Monsanto Indonesia), 43, menyimpulkan, keuntungan petani
pengguna benih jagung transgenik lebih tinggi ketimbang benih jagung hibrida.
Hal ini terlihat dari rasio pendapatan terhadap biaya (R/C). Semakin tinggi
rasio R/C, berarti semakin tinggi keuntungan petani[5].
Mengadopsi
benih jagung transgenik banyak manfaatnya. Selain menaikkan produktivitas,
juga dapat mengurangi biaya produksi, meningkatkan kesejahteraan petani, dan
memperbaiki lingkungan. Misalnya, mengadopsi jagung RR (Roundup Ready), yang
tahan herbisida. Dengan menanam jagung transgenik ini, petani lebih mudah
menyiangi gulma (tumbuhan pengganggu) dengan menggunakan herbisida sehingga
mengurangi biaya tenaga kerja.
Begitu
juga dengan menanam jagung Bt (Bacillus thuringiensis), yang tahan hama
penggerek batang dan tongkol. Petani bisa menghemat penggunaan pestisida
untuk menangkal hama tersebut. Di lain pihak dapat memperbaiki kondisi
lingkungan. Apalagi kalau menanam jagung Bt+RR. Dari pengalaman di Filipina,
penggunaan jagung transgenik dapat meningkatkan produktivitas 10%--21%,
sedangkan penghematan biaya produksi mencapai 14%--23%.
|
Salah
satu perusahaan multinasional raksasa produsen jagung sudah membuat jagung
yang anti Round-up (obat pembasmi gulma) atau jagung Round-up Ready (Jagung
RR), jika lahan tanaman jagung kita semprot dengan menggunakan Round-up,
jagung tersebut tidak akan mati tapi hanya tanaman sekitar saja yang mati.
Jagung ini pernah di ujicobakan di Kencong kab. Kediri. Bahkan saat ini sudah
ada jagung jika dimakan oleh serangga, maka serangga itu mati karena dalam
jagung itu mengandung racun, maka tidak menutup kemungkinan akan ada
jagung-jagung yang akan menghisap darah di masa depan, seperti di film
monster. Ada lagi, sekarang sudah ada jagung yang hanya bisa ditanam sekali
saja, setelah itu tidak dapat ditanam lagi hasil panennya, artinya jika kita
membeli jagung di toko maka jagung ini hanya dapat ditanam saat itu saja.
Bahayanya, jika jagung ini ditanam disawah dan menyerbuki jagung lain maka
dapat dipastikan jika jagung lain itu tidak dapat ditanam juga, sehingga ini bisa
membuat benih jagung lokal menjadi hilang karena terkontaminasi. Maka sudah jelas bahwa kita akan semakin
bergantung pada benih-benih perusahaan saja tanpa kita bisa membuat benih
sendiri. Jagung jenis ini "lahir" karena kemajuan teknologi di
bidang pertanian. Keunggulan jagung ini adalah kapasitas produksinya besar
(sama dengan jagung hibrida) sekitar 8-10 ton per hektar, tahan penyakit,
tahan hama dan tahan obat kimia. Kekurangannya adalah bibit jagung harus beli
di toko karena tidak bisa diproduksi petani, kemungkinan akan menimbulkan hama penyakit baru yang lebih kebal
obat-obat kimia, kemungkinan akan menimbulkan penyakit-penyakit baru bagi
ternak dan manusia, menimbulkan kerusakan pada tanah, gen jagung ini sudah
dipatenkan jadi jika mengkontaminasi jagung milik kita tidak menutup
kemungkinan akan berujung ke penjara. Contoh jagung Transgenik adalah
jagung Bt, jagung “Terminator”, jagung RR-GA21, jagung RR-NK603, dll.[6]
|
(Mantan)
Menteri Pertanian, Dr Ir Anton Apriantono, menegaskan tidak ada bukti bahwa
kedelai hasil rekayasa transgenik membahayakan kesehatan. "Hingga saat
ini, saya belum menemukan bukti bahwa kedelai produk transgenik membahayakan
kesehatan. Menurut dosen IPB ini, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang menyatakan bahwa kedelai hasil produk transgenik membahayakan kesehatan,
belum bisa membuktikan secara ilmiah, sehingga baru asal disampaikan[7].
|
Dalam
kasus kapas transgenik, pakar kampus telah membuat laporan tujuh dampak
pengembangan kapas Bollgard. Pertama, produktivitas dan pendapatan petani
meningkat. Kedua, terwujudnya sistem pengendalian hama target lebih efektif.
Ketiga, volume dan frekuensi aplikasi insektisida menurun tajam. Keempat,
risiko lingkungan hidup, keanekaragaman hayati, dan kesehatan menurun.
Kelima, produksi kapas dan pendapatan petani meningkat, biaya produksi
menurun. Keenam, kualitas daya kecambah benih baik, petani tidak melakukan
penyulaman berulang kali. Dan ketujuh, tersedia sarana produksi dan jaminan
pemasaran hasil sesuai harga kesepakatan (Surapati, 2003). Tapi semua ini tak
terbukti (baca: dusta)[8].
|
Kontroversi
akan pemasaran benih-benih transgenik ini nampaknya masih akan terus terjadi. Terkuaknya
suap Monsanto dalam kasus Kapas Transgenik (Kapas Bollgard) di Sulawesi,
misalnya, mestinya jadi pelajaran penting dan mahal bagi para policy maker di Indonesia. Pertama,
teknologi transgenik masih sangat baru, belum cukup bukti-bukti dampak positif
maupun negatifnya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Perlu waktu lama
untuk mengkajinya. Kedua, produk rekayasa genetika tak bisa diperlakukan
seperti pemuliaan konvensional. Kalau hasil persilangan konvensional berasal
dari tanaman atau hewan yang sekerabat, maka pada proses produk transgenik
telah melampaui batasan biologi untuk mengintroduksikan sifat yang diinginkan.
Wujud akhirnya kita belum tahu. Ketiga, perkembangan teknologi tak bisa
ditolak. Cuma, prinsip kehati-hatian, keterbukaan informasi, pelibatan
masyarakat dalam penyusunan dan implementasi kebijakan, harus mendapat
prioritas (Suhartiningsih, 2005[9]).
Dengan
penduduk sebesar 230 juta, Indonesia adalah pasar yang menggiurkan bagi produk-produk
transgenik dari Monsanto maupun perusahaan multinasional lainnya. Persoalannya
sekarang keputusan ada di tangan pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Akankah
pemerintah membiarkan kedaulatan petani Indonesia tergadaikan oleh iming-iming
produktivitas yang lebih besar dari benih transgenik – yang dampaknya juga
masih menjadi tanda tanya besar – atau berpihak pada petani dengan membatasi
dengan sangat ketat atau bahkan melarang penjualan benih transgenik di
indonesia. Sekalipun dengan konsekuensi politik yang juga harus diambil oleh
pemerintah, terutama dalam menghadapi tekanan dari Amerika Serikat yang akan
mati-matian melindungi raksasa-raksasa bisnisnya sendiri dengan tanpa
mempedulikan nasib petani di negara-negara lainnya.
[1] http://kall-el-rein.blogspot.com/2009/01/kata-pengantar-puji-syukur-penulis.html,
diakses pada tanggal 18 Juni 2011, pukul 06.15 WIB
[2] http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1030088676,8883,
diakses pada tanggal 18 Juni 2011, pukul 06.30 WIB
[3] http://bioteknologiindonesia.blogspot.com/2009/02/bioteknologi-pertanian-harapan-bagi-si.html,
diakses pada tanggal 18 Juni 2011, pukul 06.45 WIB
[4] http://www.tabloidkampus.com/detail.php?id=201&edisi=6,
diakses pada tanggal 18 Juni 2011, pukul 06.15 WIB
[5]
Syatrya Utama, http://www.agrina-online.com/show_article.php?rid=10&aid=1633
diakses pada tanggal 18 Juni 2011, pukul 07.15 WIB
[6] http://www.shs-seed.com/index.php?option=com_content&task=view&id=84
diakses pada tanggal 18 Juni 2011, pukul 06.15 WIB
[7] Sumber : http://www.mail-archive.com/madiun-club@yahoogroups.com/msg06316.html
diakses pada tanggal 18 Juni 2011, pukul 07.15 WIB
[8]
Sumber : Suhartiningsih, Pikiran Rakyat, 22 Januari 2005 (http://m.antikorupsi.org/?q=node/3549),
diakses pada tanggal 18 Juni 2011, pukul 06.15 WIB
[9]
idem
No comments:
Post a Comment