26 July 2011

Biopolitik Pangan Transgenik

Teknologi rekayasa genetika merupakan transplantasi atau pencangkokan satu gen ke gen lainnya dimana dapat bersifat antar gen dan dapat pula lintas gen. Rekayasa genetika juga diartikan sebagai perpindahan gen. Misalnya gen pankreas babi ditransplantasikan ke bakteri Escheria coli sehingga dapat menghasilkan insulin dalam jumlah yang besar. Sebaliknya gen bakteri yang menghasilkan toksin pembunuh hama ditransplantasikan ke tanaman jagung maka akan diperoleh jagung transgenik yang tahan hama tanaman. Gen dari sel ambing susu domba ditransplantasikan ke sel telurnya sendiri yang kemudian ditumbuhkembangkan di dalam kandungan induknya sehingga lahirlah domba Dolly yang merupakan hewan kloning (cangkokan ) pertama di dunia. Demikian pula gen tomat ditransplantasikan ke ikan transgenik sehingga ikan menjadi tahan lama dan tidak cepat busuk dalam penyimpanan[1].

Rekayasa Genetika (RG), merupakan salah satu teknologi baru dalam bidang biologi. Salah satu produk RG yang dikenal saat ini adalah tanaman transgenik. Tanaman ini dihasilkan dengan cara mengintroduksi gen tertentu ke dalam tubuh tanaman sehingga diperoleh sifat yang diinginkan. Jenis-jenis tanaman transgenik yang telah dikenal diantaranya tanaman tahan hama, toleran herbisida, tahan antibiotik, tanaman dengan kualitas nutrisi lebih baik, serta tanaman dengan produktivitas lebih tinggi. Istilah pangan transgenik merujuk pada pangan yang bahan dasarnya mengandung organisme yang telah mengalami rekayasa genetika. Dalam bidang bioteknologi, rekayasa genetika dikenal juga sebagai bioteknologi modern.
Selama dasawarsa terakhir, tanaman bioteknologi telah melonjak volumenya dari tanaman di rumah kaca, ladang percobaan, percontohan, menjadi komoditas perkebunan dengan skala luar biasa luasnya. Lahan pertanian yang digunakan untuk produksi pangan transgenik meluas meliputi 130 juta acre yang tersebar di 13 negara di antaranya Argentina, Canada, RRC, Afrika Selatan, Australia, Jerman dan Spanyol hanya dalam kurun waktu lima tahun. Lahan pertanian GMO Amerika Serikat sendiri meningkat 25 kali, dari 3,6 juta acre pada 1996 mencapai 88,2 juta acre pada 2001. Kecenderungannya setiap tahun akan terus meningkat dengan kecepatan tinggi. Sehingga akan semakin sulit dan mahal untuk mendapatkan bahan mentah produk pangan non-GMO bagi perkembangan industri pengolahan pangan di mana saja. Lebih dari 50 jenis tanaman pangan GMO telah lolos dari uji dan review pemerintah federal AS dan sekitar 100 jenis komoditas GMO baru sedang mengalami uji lapang. Negara yang secara rutin mengimpor pangan dari negara-negara produsen pangan GMO baik dalam bentuk bahan mentah maupun bahan olahan (prepackaged foods), dipastikan telah banyak mengkonsumsi pangan GMO atau transgenik setiap hari. Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor pangan tersebut. Dalam memperoleh kemajuan besar di bidang pertanian melalui bioteknologi, manusia harus bersyukur kepada gen yang dapat dipinjam dari suatu bakteri yang biasanya terdapat di lahan-lahan pertanian yang dikenal sebagai Bacillus thuringiensis yang sering disingkat sebagai Bt saja.
Saat ini ada empat Tanaman Transgenik utama yaitu:1). Kedelai transgenik yang menguasai 36 persen dari 72 juta hektar (ha) area global tanaman kedelai, 2). Kapas transgenik yang mencakup 36 persen dari 34 juta hektar, 3). Kanola transgenik, 11 persen dari 25 juta hektar, dan 4). Jagung transgenik, 7 persen dari 140 juta hektar. Berdasarkan luas area penanaman dan sifat baru yang disisipkan, kedelai transgenik tahan herbisida menduduki ranking pertama (25,8 juta hektar) diikuti jagung Bt (tahan ulat pengerek), kanola tahan herbisida, jagung tahan herbisida, kapas tahan herbisida, kapas Bt dan tahan herbisida, kapas Bt, serta jagung Bt dan tahan herbisida.

1.      Biopolitik Benih/pangan Transgenik
Di level global dan internasional, polemik tentang tanaman dan pangan transgenik telah berkembang menjadi isu besar yang mempengaruhi politik, ekonomi, sosial, bahkan meningkatkan ketegangan antar negara. Mei 2003, Amerika Serikat beserta negara-negara lain melaporkan Uni Eropa ke WTO karena memberlakukan kebijakan "moratorium" terhadap tanaman maupun pangan transgenik, serta meminta WTO untuk menyatakan bahwa kebijakan tersebut ilegal. Akibatnya, petani AS kehilangan pendapatan dari ekspor jagung dan kedelai ke Uni Eropa (EU) masing-masing 300 juta dollar AS dan 1 miliar dollar AS per tahun, belum terhitung produk olahan turunan kedelai dan jagung (Santosa, Kompas 13/8/03).
Namun kondisi semacam itu tidak pernah membuat korporasi internasional yang menjual benih transgenik kehilangan akan. Mereka pun menggunakan segala cara untuk memuluskan langkah bisnisnya. Lobi penguasa benih transgenik ini memang terbukti kuat. Monsanto dan sejumlah perusahaan transnasional (TNC) seperti Syentega, Astra Seneca, dan Novartis, menaikkan sumbangan politisnya ke Partai Republik AS yang tengah berkuasa, dari 37 juta dolar AS (1992) menjadi 53 juta dolar AS (2002). Kini, 72% dari penerimaan dana partai itu berasal dari perusahaan agrobisnis (The New York Time, 9/9/2003). Sebagai balas budi, Presiden AS George W. Bush tahun 2002 lalu menandatangani kebijakan pertanian baru yang merestui kenaikan subsidi pertanian (Farm Bill) sebesar 180 miliar dolar AS untuk periode 10 tahun ke depan. Monsanto c.s. juga duduk di organisasi pengambil keputusan penting.
Tidak heran apabila Monsanto demikian leluasa melakukan praktik ilegal dengan memanfaatkan kekuatan lobinya itu. Praktik ilegal untuk memuluskan kapas transgenik Bollgard di Indonesia dilakukan, antara lain dengan menebar dusta. Ketika pertama kali datang ke Sulawesi Selatan (1997), Monsanto menjanjikan panenan kapas transgenik Bollgard akan meningkat hingga 3,5 ton per hektare, dengan biaya produksi rendah, tahan hama, dan ramah lingkungan. Agar janji itu lebih meyakinkan, Monsanto menggandeng ilmuwan petualang. Iklan kapas transgenik diusung dan disosialisasikan ke mana-mana. Para pakar petualang bilang, Tanaman transgenik Bollgard mampu meningkatkan pendapatan petani kapas lima kali lipat dan produksinya meningkat lebih dari 400%.
Seperti disihir, hampir semua bupati di Sulawesi Selatan ingin menanam kapas. Dari tujuh kabupaten tahun 2001 menjadi sembilan kabupaten di tahun 2002. Siapa bupati yang tidak ingin melihat rakyatnya sejahtera. Hitungannya, janji produksi Bollgard 3,8 ton per ha dan harga Rp 2.500 per kilogram. Jadi didapatkan Rp 9,5 juta per ha. Katakanlah Bupati Bantaeng menanam 2.000 ha Bollgard, maka uang yang didapatkan sebesar Rp 19 miliar. Berapa PAD Bantaeng? Iklan Bollgard yang tidak didasari oleh akal sehat lewat ilmuwan kampus yang tidak bernurani, membuat banyak petani kapas terjerumus dalam mimpi. Inilah proses biopolitik yang seringkali mengiringi kontroversi benih atau pangan transgenik di dunia dan termasuk di Indonesia.
Biopolitik itu sendiri merupakan istilah baru yang didefinisikan sebagai politisasi isu-isu bioteknologi modern di dalam kerangka arus besar politik (political stream) yang mempengaruhi kebijakan publik pada tingkat local, nasional bahkan internasional. Elemen-elemen dari political stream meliputi: 1) persepsi nasional yang terdiri dari opini Masyarakat, iklim opini, dan media massa; 2) kekuatan politik yang terorganisasi yaitu partai-partai politik, kelompok penekan dan kelompok pelobi; 3) pembangunan konsensus yang terdiri dari band-wagons dan tawar-menawar, 4) pemerintah yang meliputi perubahan kekuasaan, pemilihan umum, dan perubahan personalia di pemerintahan (Kompas[2], 23/08/2002).
Dari berbagai kajian biopolitik terbukti ilmuwan menempati urutan tertinggi sebagai pihak yang paling dipercaya oleh masyarakat dan memiliki pengaruh besar dalam penentuan kebijakan publik, sedangkan perusahaan menempati urutan terendah. TNC memahami itu. Dengan menggunakan kekuatannya memengaruhi dan membentuk opini yang berkembang, terutama di kalangan ilmuwan dan penentu kebijakan, di masyarakat, lembaga-lembaga internasional serta negara-negara yang menjadi sasaran komersialisasi produk mereka. Akhirnya, arah dan paradigma ilmu ditentukan oleh gerak TNC. Fenomena the corporate take over of science ini merupakan dosa terbesar para ilmuwan petualang pada rakyat.

2.      Pro-Kontra Benih/Pangan Transgenik di Indonesia
Berikut ini beberapa contoh pro-kontra dari adopsi beberapa benih transgenik di Indonesia :
Pro-Transgenik
Anti-Transgenik
Dalam laporan FAO (17/5/2004) disebutkan, adopsi kapas Bt (produksi Monsanto) di Amerika Serikat telah memberikan keuntungan ekonomi per tahun rata-rata sebesar 200 juta dollar AS hingga 250 juta dollar AS yang terdistribusikan bagi industri sebesar 35 persen, petani 46 persen, dan konsumen 19 persen[3].

Keuntungan ekonomi penerapan kapas Bt juga didapatkan di Argentina, China, Meksiko, dan Afrika Selatan, yaitu masing-masing sebesar 23, 470, 295, dan 65 dollar AS per hektar per musim tanam.

Kedelai RR (tahan herbisida Roundup Ready, Monsanto) mendulang keuntungan ekonomi pada tahun 2001 lebih dari 1,2 miliar dollar AS. Konsumen diuntungkan sebesar 652 juta dollar AS akibat harga yang rendah, dan Monsanto menerima 421 juta dollar AS sebagai technology revenue.

Petani yang terlebih dahulu menanam kedelai transgenik RR di AS dan Argentina mendapat keuntungan lebih dari 300 juta dollar AS dan 145 juta dollar AS, sedangkan petani di negara yang tidak menanam kedelai RR dirugikan sebesar 291 juta dollar AS pada tahun 2001 akibat menurunnya harga kedelai di pasaran dunia sebesar dua persen.

Dalam laporan juga diulas mengenai potensi keuntungan ekonomi yang akan diperoleh oleh Filipina bila menanam Golden Rice (padi transgenik yang disisipi gen beta-karotin, prekursor vitamin A), yaitu sebesar 137 juta dollar AS. Sebaliknya negara-negara di Afrika Barat akan mengalami kerugian karena tidak mengadopsi kapas Bt sebesar 21 juta dollar AS hingga 205 juta dollar AS setiap tahunnya.

Beberapa penelitian yang melibatkan berbagai pakar biologi molekuler di Amerika dan Ingris, mengisyaratkan bahwa tanaman pangan hasil transgenic, menurut Direktur Eksekutif Konphalindo, Tejo Wahyu Jatmiko, membahayakan bagi kesehatan manusia. Meski selama ini baru diujicobakan di laboratorium menggunakan mencit, cukup beralasan untuk menolak tanaman hasil produk transgenic dipasarkan di Indonesia karena berbahaya. Menurut Tejo, hasil-hasil penelitian di Amerika dan Ingris, cukup membuktikan kekawatiran produk itu diperjual-belikan di pasaran bebas. Penelitian pada mencit yang diberi makan produk transgenic dalam jangka waktu, katanya menambahkan, terjadi pemendekan usus pada binatang percobaan[4].

Penelitian sejenis dilakukan di empat negara maju lain pada mencit. Empat dari 20 mencit, yang diberi makan produk kentang hasil rekayasa genetic, mengalami luka lambung. Bahkan, di Inggris, sejumlah ayam mati setelah mengkonsumsi jagung transgenic,” kata Tejo Wahyu Jatmiko seraya menambahkan, “Itu suatu bukti bahwa ada potensi dampaknya. Dampak pada manusia memang belum ada karena belum diteliti. Tetapi mencit bisa menjadikan indikasi. Dimanapun pemelitian untuk manusia dipakai mencit karena dianggap sama dengan manusia.”

penelitian dampak tanaman trangenik tidak semudah yang dibayangkan. Dari 100% uang untuk penelitian rekayasa genetika ini, 99% nya digunakan untuk penelitian manfaat. Hanya 1% untuk penelitian dampak dan resiko. Biasanya dengan kekuatan modal perusahaan produsen multinasional yang sangat kuat, mereka akan membuat penelitian tandingan untuk menutupi penelitian yang negatif tantang produk ini.
Dari penelitiannya di Lampung dan Jatim, April 2007—Juni 2008, Edwin  Sanso Saragih (mantan Technology Development Lead Monsanto Indonesia), 43, menyimpulkan, keuntungan petani pengguna benih jagung transgenik lebih tinggi ketimbang benih jagung hibrida. Hal ini terlihat dari rasio pendapatan terhadap biaya (R/C). Semakin tinggi rasio R/C, berarti semakin tinggi keuntungan petani[5].

Mengadopsi benih jagung transgenik banyak manfaatnya. Selain menaikkan produktivitas, juga dapat mengurangi biaya produksi, meningkatkan kesejahteraan petani, dan memperbaiki lingkungan. Misalnya, mengadopsi jagung RR (Roundup Ready), yang tahan herbisida. Dengan menanam jagung transgenik ini, petani lebih mudah menyiangi gulma (tumbuhan pengganggu) dengan menggunakan herbisida sehingga mengurangi biaya tenaga kerja.

Begitu juga dengan menanam jagung Bt (Bacillus thuringiensis), yang tahan hama penggerek batang dan tongkol. Petani bisa menghemat penggunaan pestisida untuk menangkal hama tersebut. Di lain pihak dapat memperbaiki kondisi lingkungan. Apalagi kalau menanam jagung Bt+RR. Dari pengalaman di Filipina, penggunaan jagung transgenik dapat meningkatkan produktivitas 10%--21%, sedangkan penghematan biaya produksi mencapai 14%--23%.

Salah satu perusahaan multinasional raksasa produsen jagung sudah membuat jagung yang anti Round-up (obat pembasmi gulma) atau jagung Round-up Ready (Jagung RR), jika lahan tanaman jagung kita semprot dengan menggunakan Round-up, jagung tersebut tidak akan mati tapi hanya tanaman sekitar saja yang mati. Jagung ini pernah di ujicobakan di Kencong kab. Kediri. Bahkan saat ini sudah ada jagung jika dimakan oleh serangga, maka serangga itu mati karena dalam jagung itu mengandung racun, maka tidak menutup kemungkinan akan ada jagung-jagung yang akan menghisap darah di masa depan, seperti di film monster. Ada lagi, sekarang sudah ada jagung yang hanya bisa ditanam sekali saja, setelah itu tidak dapat ditanam lagi hasil panennya, artinya jika kita membeli jagung di toko maka jagung ini hanya dapat ditanam saat itu saja. Bahayanya, jika jagung ini ditanam disawah dan menyerbuki jagung lain maka dapat dipastikan jika jagung lain itu tidak dapat ditanam juga, sehingga ini bisa membuat benih jagung lokal menjadi hilang karena terkontaminasi. Maka sudah jelas bahwa kita akan semakin bergantung pada benih-benih perusahaan saja tanpa kita bisa membuat benih sendiri. Jagung jenis ini "lahir" karena kemajuan teknologi di bidang pertanian. Keunggulan jagung ini adalah kapasitas produksinya besar (sama dengan jagung hibrida) sekitar 8-10 ton per hektar, tahan penyakit, tahan hama dan tahan obat kimia. Kekurangannya adalah bibit jagung harus beli di toko karena tidak bisa diproduksi petani, kemungkinan akan menimbulkan hama penyakit baru yang lebih kebal obat-obat kimia, kemungkinan akan menimbulkan penyakit-penyakit baru bagi ternak dan manusia, menimbulkan kerusakan pada tanah, gen jagung ini sudah dipatenkan jadi jika mengkontaminasi jagung milik kita tidak menutup kemungkinan akan berujung ke penjara. Contoh jagung Transgenik adalah jagung Bt, jagung “Terminator”, jagung RR-GA21, jagung RR-NK603, dll.[6]
(Mantan) Menteri Pertanian, Dr Ir Anton Apriantono, menegaskan tidak ada bukti bahwa kedelai hasil rekayasa transgenik membahayakan kesehatan. "Hingga saat ini, saya belum menemukan bukti bahwa kedelai produk transgenik membahayakan kesehatan. Menurut dosen IPB ini, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menyatakan bahwa kedelai hasil produk transgenik membahayakan kesehatan, belum bisa membuktikan secara ilmiah, sehingga baru asal disampaikan[7].

Dalam kasus kapas transgenik, pakar kampus telah membuat laporan tujuh dampak pengembangan kapas Bollgard. Pertama, produktivitas dan pendapatan petani meningkat. Kedua, terwujudnya sistem pengendalian hama target lebih efektif. Ketiga, volume dan frekuensi aplikasi insektisida menurun tajam. Keempat, risiko lingkungan hidup, keanekaragaman hayati, dan kesehatan menurun. Kelima, produksi kapas dan pendapatan petani meningkat, biaya produksi menurun. Keenam, kualitas daya kecambah benih baik, petani tidak melakukan penyulaman berulang kali. Dan ketujuh, tersedia sarana produksi dan jaminan pemasaran hasil sesuai harga kesepakatan (Surapati, 2003). Tapi semua ini tak terbukti (baca: dusta)[8].

Kontroversi akan pemasaran benih-benih transgenik ini nampaknya masih akan terus terjadi. Terkuaknya suap Monsanto dalam kasus Kapas Transgenik (Kapas Bollgard) di Sulawesi, misalnya, mestinya jadi pelajaran penting dan mahal bagi para policy maker di Indonesia. Pertama, teknologi transgenik masih sangat baru, belum cukup bukti-bukti dampak positif maupun negatifnya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Perlu waktu lama untuk mengkajinya. Kedua, produk rekayasa genetika tak bisa diperlakukan seperti pemuliaan konvensional. Kalau hasil persilangan konvensional berasal dari tanaman atau hewan yang sekerabat, maka pada proses produk transgenik telah melampaui batasan biologi untuk mengintroduksikan sifat yang diinginkan. Wujud akhirnya kita belum tahu. Ketiga, perkembangan teknologi tak bisa ditolak. Cuma, prinsip kehati-hatian, keterbukaan informasi, pelibatan masyarakat dalam penyusunan dan implementasi kebijakan, harus mendapat prioritas (Suhartiningsih, 2005[9]).
Dengan penduduk sebesar 230 juta, Indonesia adalah pasar yang menggiurkan bagi produk-produk transgenik dari Monsanto maupun perusahaan multinasional lainnya. Persoalannya sekarang keputusan ada di tangan pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Akankah pemerintah membiarkan kedaulatan petani Indonesia tergadaikan oleh iming-iming produktivitas yang lebih besar dari benih transgenik – yang dampaknya juga masih menjadi tanda tanya besar – atau berpihak pada petani dengan membatasi dengan sangat ketat atau bahkan melarang penjualan benih transgenik di indonesia. Sekalipun dengan konsekuensi politik yang juga harus diambil oleh pemerintah, terutama dalam menghadapi tekanan dari Amerika Serikat yang akan mati-matian melindungi raksasa-raksasa bisnisnya sendiri dengan tanpa mempedulikan nasib petani di negara-negara lainnya.


[2] http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1030088676,8883, diakses pada tanggal 18 Juni 2011, pukul 06.30 WIB
[4] http://www.tabloidkampus.com/detail.php?id=201&edisi=6, diakses pada tanggal 18 Juni 2011, pukul 06.15 WIB

[5] Syatrya Utama, http://www.agrina-online.com/show_article.php?rid=10&aid=1633 diakses pada tanggal 18 Juni 2011, pukul 07.15 WIB
[6] http://www.shs-seed.com/index.php?option=com_content&task=view&id=84 diakses pada tanggal 18 Juni 2011, pukul 06.15 WIB
[7] Sumber : http://www.mail-archive.com/madiun-club@yahoogroups.com/msg06316.html diakses pada tanggal 18 Juni 2011, pukul 07.15 WIB
[8] Sumber : Suhartiningsih, Pikiran Rakyat, 22 Januari 2005 (http://m.antikorupsi.org/?q=node/3549), diakses pada tanggal 18 Juni 2011, pukul 06.15 WIB
[9] idem

No comments:

Post a Comment