26 July 2011

Menimbang Proyek Food Estate Merauke

Proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate/Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke) telah dicanangkan secara resmi oleh Bupati Merauke, Jhon Gluba Gebze pada perayaan HUT kota Merauke ke 108 tanggal 12 Februari 2010.  Selain menteri pertanian Suswono, hadir juga Djoko Kirmanto (Menteri Pekerjaan Umum), Fadel Muhammad (Menteri Kelautan dan Perikanan), Bayu Krisnamurthi (Wakil Menteri Pertanian), Deputi Menko Perekonomian, Anna Mu’awanah (Wakil Ketua Komisi IV DPR RI) dan Sutarto Alimoeso (Direktur Utama Perum Bulog)[1].

Program MIFEE ini mencakup Pertanian Padi, Tebu, Jagung, Perkebunan Kelapa Sawit, Peternakan Sapi, Perikanan dan lain-lain yang  berorientasi ekspor. Selain tanaman pangan, sekitar 100 ribu ha lahan untuk pengembangan peternakan (sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, kanguru, dan rusa), 100 ribu ha perikanan, dan 400 ribu ha perkebunan. Berdasarkan PP No. 18/2010 tentang Pengembangan Usaha Budidaya Tanaman Skala Luas, kawasan Food Estate ini akan mendapatkan fasilitas perpajakan dan kepabeanan seperti fasilitas PPh, keringanan pajak daerah, tidak dipungut PPN, dan penangguhan bea masuk. Selain itu, mendapat kemudahan dalam pelayanan dan perizinan hak atas tanah. Dengan demikian, kawasan khusus sentra pangan berskala luas ini nanti akan dikelola oleh semacam badan otorita.
Mega proyek MIFEE sendiri merupakan jawaban terhadap krisis pangan dan energi yang melanda negara-negara kapitalis, terutama Amerika Serikat (AS) pada tahun 2008. Krisis inilah yang mengakibatkan negara-negara kapitalis mulai mencari wilayah baru untuk berinvestasi dalam bidang pangan dan energi. Wilayah yang dicari tentu saja adalah : (1) wilayah yang tersedia lahan dalam jumlah besar; (2) lahan tersebut bisa diatur oleh negara yang bersangkutan untuk diberikan kepada swasta atau investor sebagai pengelola; (3) negara tersebut haruslah pemerintah yang dapat diajak bekerjasama dengan AS  dan bisa menyediakan payung hukum untuk investasi serta Angkatan Bersenjata  untuk menjaga stabilitas dan keamanan investasi; (4) wilayah yang tersedia tenaga kerja murah dalam jumlah besar dengan tingkat pendidikan, penguasaan dan penggunaan teknologi yang rendah; (5) wilayah yang merupakan segmen pasar yang potensial dan penduduknya terkonsentrasi  sebagai  konsumen utama barang-barang produksi kapitalis.
Proyek investasi dibidang pangan dan energi hampir sama dengan proyek serupa, tetapi terfokus hanya pada tanaman padi, yang sudah dijalankan oleh Bupati John Gluba Gebze sejak tahun 2000. Proyek tersebut bernama MIRE atau Merauke Integrated Rice Estated dan banyak masyarakat dilibatkan dalam pekerjaan menanam padi di sawah-sawah berukuran luas yang biasa disebut  Lahan Bupati. MIFEE juga sempat masuk dalam Program Prioritas 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu (SBY-Boediono) Jilid 2.
Mega proyek ini pun telah dilengkapi dengan berbagai payung hukum untuk melindunginya, antara lain : 1) Undang-Undang (UU) Nomor  27 tahun 2007 tentang Penanaman Modal;  (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, (3) Peraturan Pemerintah (PP) 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN), (4) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2  Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dari penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan di Luar Kegiatan Kehutanan, (5) Peraturan Pemerintah (PP) No 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, (6) Peraturan Pemerintah (PP) No 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, (7) Inpres No.5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi tahun 2008-2009 dan (8) Perda Kabupaten Merauke Nomor 23 Tahun 2010 Tentang MIFEE yang dibuat oleh Pemkab Merauke.
Kementerian BUMN pun dengan sangat cepat menangkap peluang pengembangan food estate di Merauke. Begitu juga dengan PT Sang Hyang Sri (SHS) yang langsung menandatangani nota kesepahaman dengan Pemda Merauke untuk mengembangkan perbenihan. Selama ini, kebutuhan benih padi (Ciherang dan IR 64) di Papua sekitar 500 ton per tahun. Sekitar 70% di antaranya dipasok ke Merauke. Selain padi, SHS juga memasok benih jagung, kedelai, kangkung, cabai, dan tomat. Benih ini ditangkarkan di lahan SHS di Sidrap, Sulawesi Selatan. Dengan kesepakatan ini, maka penangkaran benih bisa dilakukan di Merauke.
Pemda Merauke juga menandatangani nota kesepahaman dengan PTPN IX, PTPN X, RNI, dan P3GI untuk membangun pabrik gula di Merauke. Begitu juga dengan PT Padi Energi Nusantara (PEN) untuk mengembangkan Badan Usaha Milik Petani (BUMP). Selain itu, Pemda Merauke menyerahkan lahan 20 ha kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk pelabuhan perikanan dan pengembangan minapolitan. Tahun lalu dana yang dikucurkan Rp 14 miliar dan tahun ini Rp9,8 miliar[2].
Luas lahan yang akan digarap seluas 2,5 juta hektar  yang terdiri dari lahan basah 0,6 juta hektar  dan lahan kering 1,9 juta hektar. Dari total tersebut,  lahan yang telah dimanfaatkan untuk proyek MIFEE  adalah seluas 12.158 hektar (lahan kering) + 23.744 hektar (lahan basah) = 35.902 hektar. Lahan tersebut terletak di hampir semua Distrik di Kab. Merauke dan satu Distrik masing-masing di Kab.  Mappi dan Boven Digoel. Megaproyek MIFEE ini merupakan jawaban pemerintah Indonesia terhadap krisis pangan dan energi yang melanda negara-negara barat, terutama Amerika pada tahun 2008 yang kemudian dibantu oleh Pemerintah Indonesia dengan menerbitkan Inpres No.5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi tahun 2008-2009. Inpres tersebut dijawab oleh Pemprov Papua melalui RAPERDA RTRW Provinsi Papua Tahun 2010-2030 yang  mengalokasikan APL untuk Kabupaten Merauke seluas  552.316 Ha, terdiri dari kawasan pertanian 361.952 Ha dan kawasan perkebunan seluas 190.952 Ha.
Pemberian lahan oleh Pemprov didasarkan pada hasil identifikasi dan inventarisasi Tim Bapeda Provinsi Papua, dimana diketahui bahwa  Merauke merupakan wilayah yang sangat rawan, yang akan tenggelam apabila suhu bumi naik hanya 1 derajat celcius. Namun, Pemerintah Pusat melalui Departemen Pertanian tetap bersikeras untuk memanfaatkan lahan seluas 2,5 juta Ha, sementara Pemkab Merauke sendiri menyetujui penggunaan lahan seluas 1,5 juta Ha. Pemerintah Pusat akhirnya keluar sebagai pemenang dalam pertentangan soal luas lahan ini.
Sementara itu, disisi lain Telah terjadi “perampasan” tanah dengan memanfaatkan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, sehingga ganti rugi lahan yang dirampas menjadi sangat murah, Rp. 8,-/M2 –. Menurut penelusuran beberapa aktivis LSM – yang kini telah banting stir mendukung proyek MIFEE – uang yang diterima masyarakat jumlahnya miliaran rupiah, tetapi setelah dibagi dengan semua masyarakat yang mempunyai hak ulayat, mereka hanya mendapatkan sekitar  Rp. 200.000 hingga Rp. 500.000 per orang.
Dengan demikian, dapat kita bayangkan betapa petani kita, tidak hanya yang ada di Jawa, yang masih serba payah, serba miskin, serba subsisten, mayoritas tidak bertanah, tidak terorganisir, lemah dan digencet oleh berbagai permasalahan struktural besar, serta terus menghadapi serbuan produk pangan dan pertanian dari luar[3], ternyata juga harus merelakan dirinya untuk kehilangan identitas, akar kultural, dan tanah airnya akibat dari kebijakan penguasa yang cenderung lebih berpihak pada kepentingan korporasi besar.
Dengan kehadiran Mega proyek MIFEE ini, maka masyarakat akan berpotensi kehilangan tanah, kehilangan  aspek-aspek sosial dan  kerusakan lingkungan. Menurut perhitungan LSM setempat, sedikitnya 4 juta orang akan didatangkan dari luar Papua untuk bekerja sebagai buruh-tani murah dalam proyek MIFEE. Ini artinya akan ada pertambahan penduduk sekitar 4 juta buruh-tani. Jika masing-masing membawa 1 istri/suami, maka akan menjadi 8 juta. Jika setiap keluarga membawa 2 anak (jika mereka sesuai standar KB) dan 2 orang kerabat (sebagaimana kebiasaan urbanisasi di Jakarta, misalnya) maka dalam waktu singkat penduduk akan bertambah menjadi 24 juta jiwa. Dengan jumlah populasi penduduk pribumi Merauke yang hanya sekitar 52.413 orang atau sekitar 30% dari 174.710 total penduduk Kabupaten Merauke (Papua dan Non Papua). Maka, bukankah ini merupakan bentuk potensi ketidakadilan ekologis dan sosial sekaligus?

1.      Potensi Kerusakan Lingkungan Akibat Food Estate

Sebanyak 90,2 persen dari 1,28 juta hektare areal proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) ternyata berlokasi di dalam kawasan hutan yang telah diplot menjadi 10 klaster dan tersebar di 16 distrik. Delapan di antaranya berada di Kabupaten Merauke, sedangkan sisanya lagi sebagian masuk ke dalam distrik di Kabupaten Mappi serta Kabupaten Boven Digoel, Papua. Berdasarkan riset Greenomics Indonesia, dari 1,28 juta ha proyek MIFEE itu, sebanyak 125.485,5 ha di antaranya adalah bukan berada di kawasan hutan. Artinya, 1.157.347,5 ha adalah notabene kawasan hutan bakal dikonversi untuk proyek MIFEE.
Pemerintah kembali mengingkari janjinya untuk tidak mengkonversi hutan alam dalam pengembangan program MIFEE. Jika melihat draft rencana induk MIFEE, terlihat jelas bahwa hutan alam Merauke akan dikonversi secara masif. Dalam Peraturan Pemerintah 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN) yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 10 Maret 2008 silam, areal MIFEE telah dikapling sebagai kawasan andalan, terutama sektor pertanian. Sementara itu, Kementerian Kehutanan juga telah menandatangani kesepakatan rekomendasi pemanfaatan hutan yang berada di dalam 10 klaster MIFEE  untuk kemudian dilepaskan menjadi areal sentra pangan dan energi. Menhut hanya bertugas melepaskan kawasan hutan yang sudah dikapling tersebut menjadi areal MIFEE. Menurutnya jadwal, tahun 2010 ini Menhut harus mereformulasi prosedur perizinan pelepasan kawasan hutan untuk MIFEE.
Mulai tahun depan pelepasan kawasan hutan sudah harus jalan. Menhut tak bisa berdalih merasa tak dilibatkan. Karena stafnya sendiri telah meneken kesepakatan pemanfaatan blok-blok hutan Merauke dan sekitarnya seluas 1,16 juta hektar untuk areal MIFEE. Kawasan hutan tersebut merupakan kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK), yang secara tata ruang memang dicadangkan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan, seperti pertanian. Namun, dari total luas 1,45 juta hektar kawasan HPK di Kabupaten Merauke, hanya 366.612,4 hektar yang dalam kondisi tak berhutan. Sisanya seluas 1,06 juta hektar masih berupa tegakan hutan alam dengan kondisi baik.
Di Kampung Boepe, Distrik Kaptel kabupaten Merauke, masyarakat pribumi sudah mulai kesulitan mendapatkan kayu bakar, binatang buruan, air bersih dan makanan pokok mereka yaitu Sagu. Hal ini karena PT. Medco Papua Industri Lestari, salah satu Anak Perusahaan Medco Group milik Arifin Panigoro Warku Gebze  sudah membabat habis hutan dan sumber-sumber makanan bagi  masyarakat setempat. Selain itu limbah hasil Pengolahan Kayu Serpih dibuang di sungai sehingga mencemari sumber air satu-satunya di Kampung Boepe. Selain penghancuran sumber-sumber makanan, tempat-tempat keramat yang menjadi pusat kosmologi masyarakat adat suku Malind-Anim pun ikut terbongkar karena batas-batas wilayah adat terbongkar akibat pembukaan lahan.
Pemerintah kembali mengingkari janjinya untuk tidak mengkonversi hutan alam dalam pengembangan program MIFEE. Jika melihat draft rencana induk MIFEE, terlihat jelas bahwa hutan alam Merauke akan dikonversi secara masif. Dalam Peraturan Pemerintah 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN) yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 10 Maret 2008 silam, areal MIFEE telah direncanakan sebagai kawasan andalan, terutama sektor pertanian.  Kementerian Kehutanan juga telah menandatangani kesepakatan rekomendasi pemanfaatan hutan yang berada di dalam 10 klaster MIFEE  untuk kemudian dilepaskan menjadi areal sentra pangan dan energi. Menhut hanya bertugas melepaskan kawasan hutan yang sudah dikapling tersebut menjadi areal MIFEE.
Kawasan hutan tersebut merupakan kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK), yang secara tata ruang memang dicadangkan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan, seperti pertanian. Namun, dari total luas 1,45 juta hektar kawasan HPK di Kabupaten Merauke, hanya 366.612,4 hektar yang dalam kondisi tak berhutan. Sisanya seluas 1,06 juta hektar masih berupa tegakan hutan alam dengan kondisi baik.
Program MIFEE ini juga adalah salah satu contoh untuk mengubah pola produksi pangan di Indonesia. Usaha tani pangan sesungguhnya sudah bagian dari ekonomi kerakyatan dan distribusi lahan. MIFEE ini sama saja dengan membangun kebergantungan pangan pada konglomerat. Bentuk ini bagian pola penjajahan baru. Usia kemerdekaan kita yang 65 belum mewujudkan kesejahteraan rakyat. Bahkan mungkin akan makin terpuruk dengan hadirnya MIFEE. Bagaimana tidak, investor akan menguasai lahan jutaan ha. Sebaliknya, rakyat mendapatkan lahan 1-2 hektare.
Artikel di harian Kompas tanggal 6 Agustus 2010 dengan judul “MIFEE, Berkah atau Kutuk[4]”, sayangnya, kurang mendapat respons para politisi, wakil rakyat di DPR, para pakar, LSM, Walhi, dan organisasi lainnya. Karenanya, berkah atau kutuk dari MIFEE perlu kita takar dari beberapa aspek. Dengan pendekatan aspek teknis, ekonomi, sosial politik dapat kita takar apa yang akan terwujud dari program ini. Program ambisius atau realistis, ada berkah atau kutuk, bermanfaat atau kerugian.
Pembangunan lahan pangan dengan investasi yang besar secara teknis sudah pasti tidak menjadi masalah. Yang timbul akibat dari pembangunan itu kerusakan lingkungan. Kalau kebun sawit di Sumatra dan Kalimantan menjadi sasaran tembak LSM, Walhi, dan negaranegara lain, apakah pembukaan ini tidak akan menghadapi hal yang sama? Apakah tidak disadari bahwa tanaman tahunan perkebunan jauh lebih aman dibanding tanaman semusim dalam hal penyerapan karbon dioksida (CO2). Sederhananya, tanaman tahunan kelapa sawit, karet, dan lain-lain membutuhkan CO2 sepanjang tahun. Sebaliknya, tanaman semusim kebutuhannya sangat terbatas. Padi membutuhkan CO2 hanya dalam waktu 90 hari untuk satu musim atau kalau dua kali tanam hanya 180 hari (Ta’dung, 2010[5])
Bandingkan dengan sawit yang 365 hari butuh CO2, namun dituduh sebagai salah satu perusak lingkungan. Pada sisi lain, konservasi lahan tanaman tahunan lebih aman dibanding tanaman semusim. Dalam pembukaan lahan besarbesaran dalam satu kawasan, dapat dibayangkan hebatnya kerusakan lingkungan. Penebangan hutan dan pembongkaran sumber pangan rakyat seperti sagu tidak kalah penting untuk perhatian. Kebun-kebun sawit yang sudah ada akan dievaluasi, tetapi pembukaan lahan besar-besaran akan dijalani.
Dalam kasus ini, pemerintah daerah dan pusat sebenarnya dapat mengambil pelajaran berharga dari kasus pelegalan bisnis kayu gaharu di Mippi beberapa waktu yang lalu dan terbukti merusak sendi-sendi kehidupan masayarakat setempat. Sudah banyak perlawanan orang Awyu dan Wiyagar terhadap aktivitas bisnis Gaharu. Gaharu yang mestinya mendatangkan keuntungan namun ternyata membawa bencana kehancuran tatanan hidup bermasyarakat. Untuk keluar dari bencana maka masyarakat melakukan aksi perlawanan dalam pelbagai bentuk baik pernyataan sikap, seminar budaya, dan aksi demo damai. Aksi tersebut dilakukan sebagai usaha mempertahankan martabat pribadi dan nilai-nilai budaya yang digerogoti oleh gaya hidup baru yang telah menghantar sebagian besar masyarakat pada sikap konsumerisme, materialisme, serta pelegalan praktek: prostitusi, judi, miras, ecstasy bahkan menelanjangi sendi-sendi kehidupan masyarakat asali yang cinta damai, persaudaraan, persahabatan antar marga dan antar kampung setempat.
Bersamaan dengan praktek negatif tersebut telah menimbulkan keresahan warga setempat baik anak-anak, ibu-ibu, dimana sendi-sendi kehidupan keluarga semakin tercabik-cabik oleh karena terjadi kekerasan dalam rumah tangga sebagai konsekuensi logis dari praktek penyimpangan. Yang lebih parah lagi penyakit asing yang sebelumnya tidak dikenal oleh masyarakat, kini penyakit HIV/AIDS semakin mengancam kelangsungan hidup masyarakat setempat. Penyebaran penyakit yang mematikan tersebut konon hingga ke kampung-kampung bahkan ke dusun-dusun, hutan dan dusun sagu. Siapakah yang dapat mengontrol penyakit sosial yang mematikan tersebut? Siapakah yang dapat menghentikan arus negatif yang menimpah masyarakat? Pelbagai eleman masyarakat baik LMA, Dewan Gereja dan Kaum Perempuan bahkan Pemerintahan Distrik sudah bersuara, berteriak bahkan berdemo. Namun nampaknya tangisan masyarakat belum berakhir oleh karena di mata mereka nampak adanya pembiaran dari oknum-oknum aparat TNI/Polri yang mestinya menegakkan hukum dan HAM (SKP-KAM, 2004:3).
Dengan demikian, makin banyak bukti bahwa dominasi peran korporasi multinasional (dalam hal ini para investor yang terlibat dalam mega proyek MIFEE ini) dalam ekonomi dunia, cenderung tidak pararel dengan membaiknya kondisi lingkungan. Pembangunan berkelanjutan yang menjadi cita-cita setiap negara di dunia, justru seringkali digagalkan oleh kebijakan mereka sendiri yang berimplikasi pada kerusakan lingkungan (Samekto, 2005:96). Tidak terkecuali, hal ini juga dapat terjadi di Merauke jika tidak ada pihak-pihak yang mau peduli dengan keselamatan lingkungan tersebut.

2.      Potensi Marginalisasi Penduduk Lokal

Selain berdampak pada lingkungan, tentu saja program MIFEE ini juga akan berpotensi merubah struktur sosial dan budaya masyarakat asli setempat. Masyarakat lokal Papua tentu akan dihadapkan pada perubahan gaya hidup, dari “pola meramu” menjadi “pola industri” yang berbasis tanaman pangan, perkebunan, peternakan yang sebenarnya asing bagi mereka. Dengan pengembangan MIFEE tersebut, masyarakat lokal mampu bertahan dan menyesuaikan atau justru termarginalkan? Bagaimana pula dengan potensi konflik antara Penduduk lokal dan pendatang, status hak milik tanah, lahan adat, hingga kemungkinan lahirnya feodalisme baru akibat sebagai industri pertanian yang menempatkan penduduk setempat sebagai buruh tani bagi pengusaha besar? Semua hal tersebut patut menjadi pertimbangan dan perlu mendapatkan perhatian bersama agar tidak terjadi degradasi lingkungan ekologis dan sosial secara besar-besaran (Syaukat, 2010)
Masyarakat asli Papua bisa digolongkan dalam 3 kelompok[6]. Pertama adalah kaum peladang, pencari ikan, perambah hutan yang belum terbiasa berhadapan dengan usaha besar dan berteknologi tinggi. Kaum inilah yang jumlahnya amat besar (85 %). Kedua, kaum petani kecil, masyarakat pinggiran yang tidak punya penghasilan tetap, kaum buruh dan nelayan (10 %). Ketiga, kaum terpelajar dan pegawai (5%). Mereka inilah yang sudah lebih siap untuk menerima perkembangan dunia modern ini.
Para Investor dan program MIFEE ketika di lapangan justru akan berhadapan dengan masyarakat golongan pertama. Maka dapat dipahami bahwa di lapangan akan terjadi dua kubu yang saling berbeda pemahamannya, ketrampilannya, kebutuhannya, cara berpikirnya dan gaya hidupnya. Bisa dikatakan, pihak investor adalah pihak yang telah mengenal modernisasi dan bekerja dalam dan dengan sistem modern, dan pihak masyarakat lokal adalah kaum yang baru akan mengenal modernisasi. Dengan demikian, harus ada orang-orang yang memikirkan perlunya jembatan penghubung antara keduanya, dan usaha terus-menerus untuk menghubungkan dan membaharui hubungan itu, secara jelas, teratur, terencana dan manusiawi. Ini perlu ditekankan, karena tujuan utama pembangunan adalah mensejahterakan manusia. Perlu dicatat, bahwa masyarakat Merauke bukan tidak mau maju dan berkembang, terbukti mereka sudah berulang kali menuntut dibangun lebih banyak lagi Sekolah Dasar (SD) tetapi permintaan ini tidak pernah direalisasikan. Pemerintah Daerah justru lebih memprioritaskan membeli pesawat dan mendatangkan investor masuk ke Merauke[7] (Hardianto,2010)
Selain itu, terkait dengan kehadiran megaproyek MIFEE ini, tentu saja juga akan menjadi faktor penarik migrasi internal (transmigrasi) yang akan masuk dari daerah lain. Dengan datangnya ribuan bahkan jutaan migran dari daerah lain, tentu saja menyebabkan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat sehingga mempengaruhi daya dukung lingkungan terhadap manusia yang tinggal di atasnya. Dalam hal ini, maka konsep kepadatan agraris (agrarian density), kepadatan penduduk, dan daya dukung lingkungan menjadi perlu diperhatikan sejak dini. Sebab, ketiganya bukan hanya dipengaruhi oleh faktor iklim dan sumber daya saja, melainkan lebih kepada bagaimana cara mengorganisir penduduk untuk menggunakan sumber daya itu (Rusli, 1995:122). Dapat kita bayangkan bagaimana jadinya desa-desa merauke yang semula memiliki tipe ekonomi berburu dan peramu dengan kepadatan penduduk 1-8 orang/mil persegi tiba-tiba menjadi desa dengan tipe ekonomi pertanian dan industri yang secara teoritis memiliki kepadatan penduduk 256-381 orang/mil persegi?
Selain itu, berbagai kajian tentang transmigrasi di masa lalu menunjukkan bahwa dampak demografi dari transmigrasi jauh lebih terasa dan berpengaruh di wilayah tujuan transmigrasi daripada di wilayah asal (Rusli, 1995:139). Marginalisasi penduduk lokal, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, politik dan lain sebagainya adalah sebuah ancaman nyata bagi masyarakat Merauke. Saat ini pun, etnis lokal sudah menjadi minoritas, apalagi ditambah dengan potensi kedatangan lebih banyak lagi tenaga kerja dari luar daerah yang akan menggerakkan mega proyek MIFEE ini. Ditinjau dari sisi persaingan tenaga kerja[8] pun, tentu saja masyarakat suku asli setempat tertinggal jauh dalam kemampuannya mengoperasikan teknologi maupun mengelola sebuah sistem pertanian modern.

3.    Perlawanan Masyarakat Lokal
Rakyat Papua tidak tinggal diam. Untuk melawan mega proyek MIFEE ini dibentuk Solidaritas Rakyat Papua Tolak MIFEE (SORPATOM) pada tanggal 16 Oktober 2010. Pembentukan wadah ini  diorganisir oleh Tim Kerja Persiapan Pembentukan SORPATOM Wilayah Merauke dan berhasil memilih Billy Metemko sebagai Ketua SORPATOM Wilayah Merauke. Sekitar 150 orang hadir dalam kegiatan tersebut dan menyatakan kebulatan tekad mereka untuk melawan MIFEE sampai mega proyek tersebut dibatalkan karena tidak berpihak kepada kaum pribumi setempat. Menurut Ketua Dewan Adat Papua, pemerintah Pusat dan Pihak Luar telah melakukan kesalahan dengan menganggap bahwa Tanah di Merauke ini tidak bertuan atau tidak ada pemiliknya. Padahal, masyarakat Dewan Adat Papua selama ini mempunyai tiga tata ruang hidup secara tradisonal, yakni Tata Ruang Hidup Kampung Tradisional, Tata Ruang Hidup Sub-Sub Suku dan Tata Ruang Hidup Suku-Suku. Artinya, rencana tata ruang yang dibuat oleh pemerintah selama ini sebenarnya telah bertentangan dengan adat. Pemerintah dan Kaum Kapitalis telah masuk ke wilayah itu dengan menggunakan uang, militer dan melanggar tata ruang adat, sehingga berpotensi menghancurkan sumber-sumber hidup orang Papua.
Menurut Dewan Adat Papua, parameter yang harus digunakan untuk mempertanyakan MIFEE adalah, pertama adalah apakah Orang Papua masih mayoritas diatas tanah ini? kedua, kampung-kampung tradsional harus masih ada dan  apakah tanah-tanah adat sudah dikontrak? ketiga,  apakah mekanisme Demokrasi Kampung berjalan atau tidak? MIFEE adalah salah satu bukti yang sangat kuat bahwa eksistensi suku-suku asli bangsa Papua dengan tanah, sumber daya alam sebagai kesatuan sosial budaya sedang dihancurkan untuk kepentingan pihak luar atau pihak lain dan akan berdampak pada marginalisasi dan pemusnahan orang asli Papua karena ruang hidup mereka semakin dipersempit.
Demikian juga dengan pendapat tokoh agama. Salah seorang tokoh agama Katolik mengatakan bahwa belum semua orang memahami apa itu MIFEE, berapa lama program itu akan dilaksanakan dan langkah-langkah apa yang harus diambil oleh masing-masing pihak? MIFEE adalah suatu proyek besar yang tentunya akan melibatkan banyak tenaga ahli,orang-orang terampil, perlu riset, dan membutuhkan fasilitas pendukung yang canggih dan mutakhir. Tokoh agama mengingatkan bahwa para Investor dan program MIFEE ketika di lapangan justru akan berhadapan dengan masyarakat papua yang tidak terampil dan masih hidup dalam pola berburu-meramu. Maka dapat dipahami bahwa di lapangan akan terjadi 2 kubu yang saling berbeda pemahamannya, ketrampilannya, kebutuhannya, cara berpikirnya dan gaya hidupnya. Bisa dikatakan, pihak investor adalah pihak yang telah mengenal modernisasi dan bekerja dalam dan dengan sistem modern, dan pihak masyarakat lokal adalah kaum yang baru akan mengenal modernisasi. Kalau demikian, harus ada orang-orang yang memikirkan perlunya jembatan penghubung antara keduanya, dan usaha terus-menerus untuk menghubungkan dan membaharui hubungan itu, secara jelas, teratur, terencana dan manusiawi. Ini perlu ditekankan, karena tujuan utama pembangunan adalah mensejahterakan manusia.


[1] http://www.agrina-online.com/show_article.php?rid=10&aid=2318 diakses pada tanggal 28 Desember 2010 pkl 11.25
[2] http://www.businessreview.co.id/kebijakan-pemda-208.html diakses pada tanggal 28 desember 2010 pkl 11.34 WIB
[3] Bonnie setiawan, 2003:77
[4] http://cetak.kompas.com/read/2010/08/06/0356553/mifee.berkah.atau.kutuk  diakses pada tanggal 8 Januari 2011 pukul 6.39 WIB
[5] http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=64482 diakses pada tanggal 28 Desember 2010 pkl 12.21 WIB
[6] http://kamerauke.blogspot.com/2010/12/merauke-sasaran-sentra-pangan-dan.html diakses pada tanggal 28 desember 2010 pkl 11.28 WIB
[7] http://cetak.kompas.com/read/2010/08/06/0356553/mifee.berkah.atau.kutuk judul artikel “MIFEE :Berkah atau Kutuk” ditulis oleh B Josie Susilo Hardianto, diakses pada tanggal 7 Januari 2010
[8]  Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat (UU. No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)

sumber gambar : http://www.sca-indo.org/id/keragaman-kopi-indonesia/

3 comments:

  1. if agriculture is considered as a business, and we care about the unemployment and poverty in rural areas,
    “MARI KITA BUAT PETANI TERSENYUM KETIKA PANEN TIBA”

    Petani kita sudah terlanjur memiliki mainset bahwa untuk menghasilkan produk-produk pertanian berarti harus gunakan pupuk dan pestisida kimia.
    NPK yang antara lain terdiri dari Urea, TSP dan KCL serta pestisida kimia pengendali hama sudah merupakan kebutuhan rutin para petani kita, dan sudah dilakukan sejak 1967 (masa awal orde baru) hingga sekarang.
    Produk hasil pertanian mencapai puncaknya pada tahun 1984 pada saat Indonesia mencapai swasembada beras dan kondisi ini stabil sampai dengan tahun 1990-an. Capaian produksi padi saat itu bisa 6 -- 8 ton/hektar.

    Petani kita selanjutnya secara turun temurun beranggapan bahwa yang meningkatkan produksi pertanian mereka adalah Urea, TSP dan KCL, mereka lupa bahwa tanah kita juga butuh unsur hara mikro yang pada umumnya terdapat dalam pupuk kandang atau pupuk hijau yang ada disekitar kita, sementara yang ditambahkan pada setiap awal musim tanam adalah unsur hara makro NPK saja ditambah dengan pengendali hama kimia yang sangat merusak lingkungan dan terutama tanah pertanian mereka semakin rusak, semakin keras dan menjadi tidak subur lagi. Sawah-sawah kita sejak 1990 hingga sekarang telah mengalami penurunan produksi yang sangat luar biasa dan hasil akhir yang tercatat rata-rata nasional hanya tinggal 3, 8 ton/hektar (statistik nasional 2010).

    Tawaran solusi terbaik untuk para petani Indonesia agar mereka bisa tersenyum ketika panen, maka tidak ada jalan lain, perbaiki sistem pertanian mereka, ubah cara bertani mereka, mari kita kembali kealam.

    System of Rice Intensification (SRI) yang telah dicanangkan oleh pemerintah (SBY) beberapa tahun yang lalu adalah cara bertani yang ramah lingkungan, kembali kealam, menghasilkan produk yang terbebas dari unsur-unsur kimia berbahaya, kuantitas dan kualitas, serta harga produk juga jauh lebih baik.
    SRI sampai kini masih juga belum mendapat respon positif dari para petani kita, karena pada umumnya petani kita beranggapan dan beralasan bahwa walaupun hasilnya sangat menjanjikan, tetapi sangat merepotkan petani dalam proses budidayanya.

    Selain itu petani kita sudah terbiasa dan terlanjur termanjakan oleh system olah lahan yang praktis dan serba instan dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, sehingga umumnya sangat berat menerima metoda SRI ini.
    Mungkin tunggu 5 tahun lagi setelah melihat petani tetangganya berhasil menerapkan metode tersebut.

    Kami tawarkan solusi yang lebih praktis yang perlu dipertimbangkan dan sangat mungkin untuk dapat diterima oleh masyarakat petani kita untuk dicoba, yaitu:
    "BERTANI DENGAN SISTEM GABUNGAN SRI DIPADUKAN DENGAN PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK AJAIB (SO/AVRON/NASA) + EFFECTIVE MICROORGANISME 16 PLUS (EM16+), DENGAN POLA JAJAR GOROWO",
    Cara gabungan ini hasilnya tetap PADI ORGANIK yang ramah lingkungan seperti yang dikehendaki pada pola SRI, tetapi cara pengolahan tanah sawahnya lebih praktis, dan hasilnya bisa meningkat 100% — 400% dibanding pola tanam konvensional seperti sekarang.

    Ditunggu komentarnya di omyosa@gmail.com;

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

      Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

      Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

      Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

      Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

      Delete
  2. Saya akan sangat merekomendasikan layanan pendanaan meridian Le_ kepada siapa saja yang membutuhkan bantuan keuangan dan mereka akan membuat Anda tetap di atas direktori tinggi untuk kebutuhan lebih lanjut. Sekali lagi saya memuji diri sendiri dan staf Anda untuk layanan luar biasa dan layanan pelanggan, karena ini merupakan aset besar bagi perusahaan Anda dan pengalaman yang menyenangkan bagi pelanggan seperti saya. Semoga Anda mendapatkan yang terbaik untuk masa depan. Layanan pendanaan meridian adalah cara terbaik untuk mendapatkan pinjaman yang mudah, di sini ada email .. lfdsloans@lemeridianfds.com Atau bicaralah dengan Bpk. Benjamin Di WhatsApp Via_. 1-989-394-3740
    Terima kasih telah membantu saya dengan pinjaman sekali lagi dalam hati yang tulus, saya selamanya berterima kasih.

    ReplyDelete