Program MIFEE ini mencakup Pertanian Padi, Tebu, Jagung, Perkebunan
Kelapa Sawit, Peternakan Sapi, Perikanan dan lain-lain yang berorientasi
ekspor. Selain tanaman pangan, sekitar 100 ribu ha lahan untuk pengembangan
peternakan (sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, kanguru, dan rusa), 100 ribu ha
perikanan, dan 400 ribu ha perkebunan. Berdasarkan PP No. 18/2010 tentang
Pengembangan Usaha Budidaya Tanaman Skala Luas, kawasan Food Estate ini akan mendapatkan fasilitas perpajakan dan
kepabeanan seperti fasilitas PPh, keringanan pajak daerah, tidak dipungut PPN,
dan penangguhan bea masuk. Selain itu, mendapat kemudahan dalam pelayanan dan
perizinan hak atas tanah. Dengan demikian, kawasan khusus sentra pangan
berskala luas ini nanti akan dikelola oleh semacam badan otorita.
Mega proyek MIFEE
sendiri merupakan jawaban terhadap krisis pangan dan energi yang melanda
negara-negara kapitalis, terutama Amerika Serikat (AS) pada tahun 2008. Krisis
inilah yang mengakibatkan negara-negara kapitalis mulai mencari wilayah
baru untuk berinvestasi dalam bidang pangan dan energi. Wilayah yang dicari tentu saja adalah : (1) wilayah yang
tersedia lahan dalam jumlah besar; (2) lahan tersebut bisa diatur oleh negara
yang bersangkutan untuk diberikan kepada swasta atau investor sebagai pengelola;
(3) negara tersebut haruslah pemerintah yang dapat diajak bekerjasama dengan
AS dan bisa menyediakan payung hukum untuk investasi serta Angkatan
Bersenjata untuk menjaga stabilitas dan keamanan investasi; (4) wilayah
yang tersedia tenaga kerja murah dalam jumlah besar dengan tingkat
pendidikan, penguasaan dan penggunaan teknologi yang rendah; (5) wilayah
yang merupakan segmen pasar yang potensial dan penduduknya terkonsentrasi
sebagai konsumen utama barang-barang produksi kapitalis.
Proyek investasi dibidang pangan dan
energi hampir sama dengan proyek serupa, tetapi terfokus hanya pada tanaman
padi, yang sudah dijalankan oleh Bupati John Gluba Gebze sejak tahun 2000.
Proyek tersebut bernama MIRE atau Merauke Integrated Rice Estated dan
banyak masyarakat dilibatkan dalam pekerjaan menanam padi di sawah-sawah
berukuran luas yang biasa disebut Lahan Bupati. MIFEE juga sempat
masuk dalam Program Prioritas 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu (SBY-Boediono)
Jilid 2.
Mega proyek ini pun telah dilengkapi
dengan berbagai payung hukum untuk melindunginya, antara lain : 1)
Undang-Undang (UU) Nomor 27 tahun 2007 tentang Penanaman Modal; (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 tahun
1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, (3)
Peraturan Pemerintah (PP) 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN),
(4) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif
atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dari penggunaan Kawasan Hutan untuk
Kepentingan di Luar Kegiatan Kehutanan, (5) Peraturan Pemerintah (PP) No
24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, (6) Peraturan Pemerintah (PP) No
10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, (7)
Inpres No.5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi tahun 2008-2009 dan (8)
Perda Kabupaten Merauke Nomor 23 Tahun 2010 Tentang MIFEE yang dibuat oleh Pemkab Merauke.
Kementerian BUMN pun dengan sangat
cepat menangkap peluang pengembangan food
estate di Merauke. Begitu juga dengan PT Sang Hyang Sri (SHS) yang langsung
menandatangani nota kesepahaman dengan Pemda Merauke untuk mengembangkan
perbenihan. Selama ini, kebutuhan benih padi (Ciherang dan IR 64) di Papua
sekitar 500 ton per tahun. Sekitar 70% di antaranya dipasok ke Merauke. Selain
padi, SHS juga memasok benih jagung, kedelai, kangkung, cabai, dan tomat. Benih
ini ditangkarkan di lahan SHS di Sidrap, Sulawesi Selatan. Dengan kesepakatan
ini, maka penangkaran benih bisa dilakukan di Merauke.
Pemda Merauke juga menandatangani
nota kesepahaman dengan PTPN IX, PTPN X, RNI, dan P3GI untuk membangun pabrik
gula di Merauke. Begitu juga dengan PT Padi Energi Nusantara (PEN) untuk
mengembangkan Badan Usaha Milik Petani (BUMP). Selain itu, Pemda Merauke
menyerahkan lahan 20 ha kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk pelabuhan
perikanan dan pengembangan minapolitan. Tahun lalu dana yang dikucurkan Rp 14
miliar dan tahun ini Rp9,8 miliar[2].
Luas lahan yang akan digarap seluas
2,5 juta hektar yang terdiri dari lahan basah 0,6 juta hektar dan
lahan kering 1,9 juta hektar. Dari total tersebut, lahan yang telah
dimanfaatkan untuk proyek MIFEE adalah seluas 12.158 hektar (lahan
kering) + 23.744 hektar (lahan basah) = 35.902 hektar. Lahan tersebut terletak
di hampir semua Distrik di Kab. Merauke dan satu Distrik masing-masing di
Kab. Mappi dan Boven Digoel. Megaproyek
MIFEE ini merupakan jawaban pemerintah Indonesia terhadap krisis pangan dan
energi yang melanda negara-negara barat, terutama Amerika pada tahun 2008 yang
kemudian dibantu oleh Pemerintah Indonesia dengan menerbitkan Inpres No.5 tahun
2008 tentang Fokus Program Ekonomi tahun 2008-2009. Inpres tersebut dijawab
oleh Pemprov Papua melalui RAPERDA RTRW Provinsi Papua Tahun 2010-2030
yang mengalokasikan APL untuk Kabupaten Merauke seluas 552.316 Ha, terdiri
dari kawasan pertanian 361.952 Ha dan kawasan perkebunan seluas 190.952 Ha.
Pemberian lahan oleh Pemprov didasarkan pada hasil
identifikasi dan inventarisasi Tim Bapeda Provinsi Papua, dimana diketahui
bahwa Merauke merupakan wilayah yang sangat rawan, yang akan tenggelam
apabila suhu bumi naik hanya 1 derajat celcius. Namun, Pemerintah Pusat melalui
Departemen Pertanian tetap bersikeras untuk memanfaatkan lahan seluas 2,5 juta
Ha, sementara Pemkab Merauke sendiri menyetujui penggunaan lahan seluas 1,5
juta Ha. Pemerintah Pusat akhirnya keluar sebagai pemenang dalam pertentangan
soal luas lahan ini.
Sementara itu, disisi lain Telah terjadi “perampasan”
tanah dengan memanfaatkan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, sehingga
ganti rugi lahan yang dirampas menjadi sangat murah, Rp. 8,-/M2 –. Menurut
penelusuran beberapa aktivis LSM – yang kini telah banting stir mendukung
proyek MIFEE – uang yang diterima masyarakat jumlahnya miliaran rupiah, tetapi
setelah dibagi dengan semua masyarakat yang mempunyai hak ulayat, mereka hanya
mendapatkan sekitar Rp. 200.000 hingga Rp. 500.000 per orang.
Dengan demikian, dapat kita bayangkan betapa petani
kita, tidak hanya yang ada di Jawa, yang masih serba payah, serba miskin, serba
subsisten, mayoritas tidak bertanah, tidak terorganisir, lemah dan digencet
oleh berbagai permasalahan struktural besar, serta terus menghadapi serbuan
produk pangan dan pertanian dari luar[3],
ternyata juga harus merelakan dirinya untuk kehilangan identitas, akar
kultural, dan tanah airnya akibat dari kebijakan penguasa yang cenderung lebih
berpihak pada kepentingan korporasi besar.
Dengan kehadiran Mega proyek MIFEE
ini, maka masyarakat akan berpotensi
kehilangan tanah, kehilangan aspek-aspek sosial dan kerusakan
lingkungan. Menurut perhitungan LSM setempat, sedikitnya 4 juta orang akan
didatangkan dari luar Papua untuk bekerja sebagai buruh-tani murah dalam proyek
MIFEE. Ini artinya akan ada pertambahan penduduk sekitar 4 juta buruh-tani.
Jika masing-masing membawa 1 istri/suami, maka akan menjadi 8 juta. Jika setiap
keluarga membawa 2 anak (jika mereka sesuai standar KB) dan 2 orang kerabat (sebagaimana
kebiasaan urbanisasi di Jakarta, misalnya) maka dalam waktu singkat penduduk
akan bertambah menjadi 24 juta jiwa. Dengan jumlah populasi penduduk pribumi
Merauke yang hanya sekitar 52.413 orang atau sekitar 30% dari 174.710 total
penduduk Kabupaten Merauke (Papua dan Non Papua). Maka, bukankah ini merupakan bentuk
potensi ketidakadilan ekologis dan sosial sekaligus?
1. Potensi Kerusakan Lingkungan
Akibat Food Estate
Sebanyak 90,2 persen dari 1,28 juta hektare
areal proyek Merauke Integrated Food and
Energy Estate (MIFEE) ternyata berlokasi di dalam kawasan hutan yang telah
diplot menjadi 10 klaster dan tersebar di 16 distrik. Delapan di antaranya berada
di Kabupaten Merauke, sedangkan sisanya lagi sebagian masuk ke dalam distrik di
Kabupaten Mappi serta Kabupaten Boven Digoel, Papua. Berdasarkan riset
Greenomics Indonesia, dari 1,28 juta ha proyek MIFEE itu, sebanyak 125.485,5 ha
di antaranya adalah bukan berada di kawasan hutan. Artinya, 1.157.347,5 ha
adalah notabene kawasan hutan bakal dikonversi untuk proyek MIFEE.
Pemerintah kembali mengingkari janjinya
untuk tidak mengkonversi hutan alam dalam pengembangan program MIFEE. Jika
melihat draft rencana induk MIFEE, terlihat jelas bahwa hutan alam Merauke akan
dikonversi secara masif. Dalam Peraturan Pemerintah 26/2008 tentang Rencana
Tata Ruang Nasional (RTRWN) yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, 10 Maret 2008 silam, areal MIFEE telah dikapling sebagai kawasan
andalan, terutama sektor pertanian. Sementara itu, Kementerian Kehutanan juga
telah menandatangani kesepakatan rekomendasi pemanfaatan hutan yang berada di
dalam 10 klaster MIFEE untuk kemudian dilepaskan menjadi areal sentra
pangan dan energi. Menhut hanya bertugas melepaskan kawasan hutan yang sudah
dikapling tersebut menjadi areal MIFEE. Menurutnya jadwal, tahun 2010 ini
Menhut harus mereformulasi prosedur perizinan pelepasan kawasan hutan untuk
MIFEE.
Mulai tahun depan pelepasan kawasan
hutan sudah harus jalan. Menhut tak bisa berdalih merasa tak dilibatkan. Karena
stafnya sendiri telah meneken kesepakatan pemanfaatan blok-blok hutan Merauke
dan sekitarnya seluas 1,16 juta hektar untuk areal MIFEE.
Kawasan hutan tersebut merupakan kawasan Hutan
Produksi Konversi (HPK), yang secara tata ruang memang dicadangkan untuk
pembangunan di luar sektor kehutanan, seperti pertanian. Namun, dari total luas
1,45 juta hektar kawasan HPK di Kabupaten Merauke, hanya 366.612,4 hektar yang
dalam kondisi tak berhutan. Sisanya seluas 1,06 juta hektar masih berupa
tegakan hutan alam dengan kondisi baik.
Di
Kampung Boepe, Distrik Kaptel kabupaten Merauke, masyarakat pribumi sudah mulai
kesulitan mendapatkan kayu bakar, binatang buruan, air
bersih dan makanan pokok mereka yaitu Sagu. Hal ini karena PT. Medco Papua
Industri Lestari, salah satu Anak Perusahaan Medco Group milik Arifin Panigoro
Warku Gebze sudah membabat habis hutan dan sumber-sumber makanan
bagi masyarakat setempat. Selain itu limbah hasil Pengolahan Kayu Serpih
dibuang di sungai sehingga mencemari sumber air satu-satunya di Kampung Boepe.
Selain penghancuran sumber-sumber makanan, tempat-tempat keramat yang menjadi pusat kosmologi masyarakat adat suku Malind-Anim pun ikut
terbongkar karena batas-batas wilayah adat terbongkar akibat pembukaan lahan.
Pemerintah
kembali mengingkari janjinya untuk tidak mengkonversi hutan alam dalam pengembangan program MIFEE.
Jika melihat draft rencana induk MIFEE, terlihat jelas bahwa hutan alam Merauke
akan dikonversi secara masif. Dalam Peraturan Pemerintah 26/2008 tentang
Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN) yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, 10 Maret 2008 silam, areal MIFEE telah direncanakan sebagai kawasan
andalan, terutama sektor pertanian.
Kementerian Kehutanan juga telah menandatangani kesepakatan rekomendasi
pemanfaatan hutan yang berada di dalam 10 klaster MIFEE untuk kemudian
dilepaskan menjadi areal sentra pangan dan energi. Menhut hanya bertugas
melepaskan kawasan hutan yang sudah dikapling tersebut menjadi areal MIFEE.
Kawasan
hutan tersebut merupakan kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK), yang secara
tata ruang memang dicadangkan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan,
seperti pertanian. Namun, dari total luas 1,45 juta hektar kawasan HPK di
Kabupaten Merauke, hanya 366.612,4 hektar yang dalam kondisi tak berhutan.
Sisanya seluas 1,06 juta hektar masih berupa tegakan hutan alam dengan kondisi
baik.
Program
MIFEE ini juga adalah salah satu contoh untuk mengubah pola produksi pangan di
Indonesia. Usaha tani pangan sesungguhnya sudah bagian dari ekonomi kerakyatan
dan distribusi lahan. MIFEE ini sama saja dengan membangun kebergantungan
pangan pada konglomerat. Bentuk ini bagian pola penjajahan baru. Usia kemerdekaan
kita yang 65 belum mewujudkan kesejahteraan rakyat. Bahkan mungkin akan makin
terpuruk dengan hadirnya MIFEE. Bagaimana tidak, investor akan menguasai lahan
jutaan ha. Sebaliknya, rakyat mendapatkan lahan 1-2 hektare.
Artikel
di harian Kompas tanggal 6 Agustus 2010 dengan judul “MIFEE, Berkah atau Kutuk[4]”,
sayangnya, kurang mendapat respons para politisi, wakil rakyat di DPR, para
pakar, LSM, Walhi, dan organisasi lainnya. Karenanya, berkah atau kutuk dari
MIFEE perlu kita takar dari beberapa aspek. Dengan pendekatan aspek teknis,
ekonomi, sosial politik dapat kita takar apa yang akan terwujud dari program
ini. Program ambisius atau realistis, ada berkah atau kutuk, bermanfaat atau
kerugian.
Pembangunan
lahan pangan dengan investasi yang besar secara teknis sudah pasti tidak
menjadi masalah. Yang timbul akibat dari pembangunan itu kerusakan lingkungan.
Kalau kebun sawit di Sumatra dan Kalimantan menjadi sasaran tembak LSM, Walhi,
dan negaranegara lain, apakah pembukaan ini tidak akan menghadapi hal yang sama?
Apakah tidak disadari bahwa tanaman tahunan perkebunan jauh lebih aman
dibanding tanaman semusim dalam hal penyerapan karbon dioksida (CO2).
Sederhananya, tanaman tahunan kelapa sawit, karet, dan lain-lain membutuhkan
CO2 sepanjang tahun. Sebaliknya, tanaman semusim kebutuhannya sangat terbatas.
Padi membutuhkan CO2 hanya dalam waktu 90 hari untuk satu musim atau kalau dua
kali tanam hanya 180 hari (Ta’dung, 2010[5])
Bandingkan
dengan sawit yang 365 hari butuh CO2, namun dituduh sebagai salah satu perusak lingkungan.
Pada sisi lain, konservasi lahan tanaman tahunan lebih aman dibanding tanaman
semusim. Dalam pembukaan lahan besarbesaran dalam satu kawasan, dapat
dibayangkan hebatnya kerusakan lingkungan. Penebangan hutan dan pembongkaran
sumber pangan rakyat seperti sagu tidak kalah penting untuk perhatian.
Kebun-kebun sawit yang sudah ada akan dievaluasi, tetapi pembukaan lahan
besar-besaran akan dijalani.
Dalam
kasus ini, pemerintah daerah dan pusat sebenarnya dapat mengambil pelajaran
berharga dari kasus pelegalan bisnis kayu gaharu di Mippi beberapa waktu yang
lalu dan terbukti merusak sendi-sendi kehidupan masayarakat setempat. Sudah
banyak perlawanan orang Awyu dan Wiyagar terhadap aktivitas bisnis Gaharu.
Gaharu yang mestinya mendatangkan keuntungan namun ternyata membawa bencana
kehancuran tatanan hidup bermasyarakat. Untuk keluar dari bencana maka
masyarakat melakukan aksi perlawanan dalam pelbagai bentuk baik pernyataan
sikap, seminar budaya, dan aksi demo damai. Aksi tersebut dilakukan sebagai usaha
mempertahankan martabat pribadi dan nilai-nilai budaya yang digerogoti oleh
gaya hidup baru yang telah menghantar sebagian besar masyarakat pada sikap
konsumerisme, materialisme, serta pelegalan praktek: prostitusi, judi, miras,
ecstasy bahkan menelanjangi sendi-sendi kehidupan masyarakat asali yang cinta
damai, persaudaraan, persahabatan antar marga dan antar kampung setempat.
Bersamaan
dengan praktek negatif tersebut telah menimbulkan keresahan warga setempat baik
anak-anak, ibu-ibu, dimana sendi-sendi kehidupan keluarga semakin
tercabik-cabik oleh karena terjadi kekerasan dalam rumah tangga sebagai
konsekuensi logis dari praktek penyimpangan. Yang lebih parah lagi penyakit
asing yang sebelumnya tidak dikenal oleh masyarakat, kini penyakit HIV/AIDS semakin
mengancam kelangsungan hidup masyarakat setempat. Penyebaran penyakit yang
mematikan tersebut konon hingga ke kampung-kampung bahkan ke dusun-dusun, hutan
dan dusun sagu. Siapakah yang dapat mengontrol penyakit sosial yang mematikan
tersebut? Siapakah yang dapat menghentikan arus negatif yang menimpah
masyarakat? Pelbagai eleman masyarakat baik LMA, Dewan Gereja dan Kaum
Perempuan bahkan Pemerintahan Distrik sudah bersuara, berteriak bahkan berdemo.
Namun nampaknya tangisan masyarakat belum berakhir oleh karena di mata mereka
nampak adanya pembiaran dari oknum-oknum aparat TNI/Polri yang mestinya menegakkan
hukum dan HAM (SKP-KAM, 2004:3).
Dengan
demikian, makin banyak bukti bahwa dominasi peran korporasi multinasional
(dalam hal ini para investor yang terlibat dalam mega proyek MIFEE ini) dalam
ekonomi dunia, cenderung tidak pararel dengan membaiknya kondisi lingkungan.
Pembangunan berkelanjutan yang menjadi cita-cita setiap negara di dunia, justru
seringkali digagalkan oleh kebijakan mereka sendiri yang berimplikasi pada
kerusakan lingkungan (Samekto, 2005:96). Tidak terkecuali, hal ini juga dapat
terjadi di Merauke jika tidak ada pihak-pihak yang mau peduli dengan
keselamatan lingkungan tersebut.
2.
Potensi
Marginalisasi Penduduk Lokal
Selain
berdampak pada lingkungan, tentu saja program MIFEE ini juga akan berpotensi
merubah struktur sosial dan budaya masyarakat asli setempat. Masyarakat lokal
Papua tentu akan dihadapkan pada perubahan gaya hidup, dari “pola meramu”
menjadi “pola industri” yang berbasis tanaman pangan, perkebunan, peternakan
yang sebenarnya asing bagi mereka. Dengan pengembangan MIFEE tersebut,
masyarakat lokal mampu bertahan dan menyesuaikan atau justru termarginalkan?
Bagaimana pula dengan potensi konflik antara Penduduk lokal dan pendatang,
status hak milik tanah, lahan adat, hingga kemungkinan lahirnya feodalisme baru
akibat sebagai industri pertanian yang menempatkan penduduk setempat sebagai
buruh tani bagi pengusaha besar? Semua hal tersebut patut menjadi pertimbangan
dan perlu mendapatkan perhatian bersama agar tidak terjadi degradasi lingkungan
ekologis dan sosial secara besar-besaran
(Syaukat, 2010)
Masyarakat
asli Papua bisa digolongkan dalam 3 kelompok[6]. Pertama adalah kaum
peladang, pencari ikan, perambah hutan yang belum terbiasa berhadapan dengan
usaha besar dan berteknologi tinggi. Kaum inilah yang jumlahnya amat besar (85
%). Kedua, kaum petani kecil, masyarakat pinggiran yang tidak punya penghasilan
tetap, kaum buruh dan nelayan (10 %). Ketiga, kaum terpelajar dan pegawai (5%).
Mereka inilah yang sudah lebih siap untuk menerima perkembangan dunia modern
ini.
Para
Investor dan program MIFEE ketika di lapangan justru akan berhadapan dengan
masyarakat golongan pertama. Maka dapat dipahami bahwa di lapangan akan terjadi
dua kubu yang saling berbeda pemahamannya, ketrampilannya, kebutuhannya, cara
berpikirnya dan gaya hidupnya. Bisa dikatakan, pihak investor adalah pihak yang
telah mengenal modernisasi dan bekerja dalam dan dengan sistem modern, dan
pihak masyarakat lokal adalah kaum yang baru akan mengenal modernisasi. Dengan
demikian, harus ada orang-orang yang memikirkan perlunya jembatan penghubung
antara keduanya, dan usaha terus-menerus untuk menghubungkan dan membaharui
hubungan itu, secara jelas, teratur, terencana dan manusiawi. Ini perlu
ditekankan, karena tujuan utama pembangunan adalah mensejahterakan manusia.
Perlu dicatat, bahwa masyarakat Merauke bukan tidak mau maju dan berkembang,
terbukti mereka sudah berulang kali menuntut dibangun lebih banyak lagi Sekolah
Dasar (SD) tetapi permintaan ini tidak pernah direalisasikan. Pemerintah Daerah
justru lebih memprioritaskan membeli pesawat dan mendatangkan investor masuk ke
Merauke[7] (Hardianto,2010)
Selain
itu, terkait dengan kehadiran megaproyek MIFEE ini, tentu saja juga akan
menjadi faktor penarik migrasi internal (transmigrasi) yang akan masuk dari
daerah lain. Dengan datangnya ribuan bahkan jutaan migran dari daerah lain,
tentu saja menyebabkan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat sehingga
mempengaruhi daya dukung lingkungan terhadap manusia yang tinggal di atasnya.
Dalam hal ini, maka konsep kepadatan agraris (agrarian density), kepadatan penduduk, dan daya dukung lingkungan
menjadi perlu diperhatikan sejak dini. Sebab, ketiganya bukan hanya dipengaruhi
oleh faktor iklim dan sumber daya saja, melainkan lebih kepada bagaimana cara
mengorganisir penduduk untuk menggunakan sumber daya itu (Rusli, 1995:122).
Dapat kita bayangkan bagaimana jadinya desa-desa merauke yang semula memiliki
tipe ekonomi berburu dan peramu dengan kepadatan penduduk 1-8 orang/mil persegi
tiba-tiba menjadi desa dengan tipe ekonomi pertanian dan industri yang secara
teoritis memiliki kepadatan penduduk 256-381 orang/mil persegi?
Selain itu, berbagai
kajian tentang transmigrasi di masa lalu menunjukkan bahwa dampak demografi
dari transmigrasi jauh lebih terasa dan berpengaruh di wilayah tujuan
transmigrasi daripada di wilayah asal (Rusli, 1995:139). Marginalisasi penduduk
lokal, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya, politik dan lain sebagainya adalah
sebuah ancaman nyata bagi masyarakat Merauke. Saat ini pun, etnis lokal sudah
menjadi minoritas, apalagi ditambah dengan potensi kedatangan lebih banyak lagi
tenaga kerja dari luar daerah yang akan menggerakkan mega proyek MIFEE ini.
Ditinjau dari sisi persaingan tenaga kerja[8] pun,
tentu saja masyarakat suku asli setempat tertinggal jauh dalam kemampuannya
mengoperasikan teknologi maupun mengelola sebuah sistem pertanian modern.
3. Perlawanan
Masyarakat Lokal
Rakyat Papua tidak tinggal diam. Untuk melawan mega
proyek MIFEE ini dibentuk Solidaritas Rakyat Papua Tolak MIFEE (SORPATOM) pada
tanggal 16 Oktober 2010. Pembentukan wadah ini diorganisir oleh Tim Kerja
Persiapan Pembentukan SORPATOM Wilayah Merauke dan berhasil memilih Billy
Metemko sebagai Ketua SORPATOM Wilayah Merauke. Sekitar 150 orang hadir dalam
kegiatan tersebut dan menyatakan kebulatan tekad mereka untuk melawan MIFEE
sampai mega proyek tersebut dibatalkan karena tidak berpihak kepada kaum
pribumi setempat. Menurut Ketua Dewan Adat Papua, pemerintah Pusat dan Pihak
Luar telah melakukan kesalahan dengan menganggap bahwa Tanah di Merauke ini
tidak bertuan atau tidak ada pemiliknya. Padahal, masyarakat Dewan Adat Papua selama
ini mempunyai tiga tata ruang hidup secara tradisonal, yakni Tata Ruang Hidup
Kampung Tradisional, Tata Ruang Hidup Sub-Sub Suku dan Tata Ruang Hidup
Suku-Suku. Artinya, rencana tata ruang yang dibuat oleh pemerintah selama
ini sebenarnya telah bertentangan dengan adat. Pemerintah dan Kaum Kapitalis
telah masuk ke wilayah itu dengan menggunakan uang, militer dan melanggar tata
ruang adat, sehingga berpotensi menghancurkan sumber-sumber hidup orang Papua.
Menurut
Dewan Adat Papua, parameter yang harus digunakan untuk mempertanyakan MIFEE
adalah, pertama adalah apakah Orang
Papua masih mayoritas diatas tanah ini? kedua,
kampung-kampung tradsional harus masih ada dan apakah tanah-tanah adat
sudah dikontrak? ketiga, apakah
mekanisme Demokrasi Kampung berjalan atau tidak? MIFEE adalah salah satu bukti
yang sangat kuat bahwa eksistensi suku-suku asli bangsa Papua dengan tanah,
sumber daya alam sebagai kesatuan sosial budaya sedang dihancurkan untuk
kepentingan pihak luar atau pihak lain dan akan berdampak pada marginalisasi
dan pemusnahan orang asli Papua karena ruang hidup mereka semakin dipersempit.
Demikian
juga dengan pendapat tokoh agama. Salah seorang tokoh agama Katolik mengatakan
bahwa belum semua orang memahami apa itu MIFEE, berapa lama program itu akan
dilaksanakan dan langkah-langkah apa yang harus diambil oleh masing-masing
pihak? MIFEE adalah suatu proyek besar yang tentunya akan melibatkan banyak
tenaga ahli,orang-orang terampil, perlu riset, dan membutuhkan fasilitas
pendukung yang canggih dan mutakhir. Tokoh agama mengingatkan bahwa para
Investor dan program MIFEE ketika di lapangan justru akan berhadapan dengan
masyarakat papua yang tidak terampil dan masih hidup dalam pola berburu-meramu.
Maka dapat dipahami bahwa di lapangan akan terjadi 2 kubu yang saling berbeda
pemahamannya, ketrampilannya, kebutuhannya, cara berpikirnya dan gaya hidupnya.
Bisa dikatakan, pihak investor adalah pihak yang telah mengenal modernisasi dan
bekerja dalam dan dengan sistem modern, dan pihak masyarakat lokal adalah kaum
yang baru akan mengenal modernisasi. Kalau demikian, harus ada orang-orang yang
memikirkan perlunya jembatan penghubung antara keduanya, dan usaha
terus-menerus untuk menghubungkan dan membaharui hubungan itu, secara jelas,
teratur, terencana dan manusiawi. Ini perlu ditekankan, karena tujuan utama
pembangunan adalah mensejahterakan manusia.
[1] http://www.agrina-online.com/show_article.php?rid=10&aid=2318
diakses pada tanggal 28 Desember 2010 pkl 11.25
[2] http://www.businessreview.co.id/kebijakan-pemda-208.html
diakses pada tanggal 28 desember 2010 pkl 11.34 WIB
[3] Bonnie setiawan, 2003:77
[4]
http://cetak.kompas.com/read/2010/08/06/0356553/mifee.berkah.atau.kutuk
diakses pada tanggal 8 Januari 2011 pukul 6.39 WIB
[5] http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=64482
diakses pada tanggal 28 Desember 2010 pkl 12.21 WIB
[6] http://kamerauke.blogspot.com/2010/12/merauke-sasaran-sentra-pangan-dan.html
diakses pada tanggal 28 desember 2010 pkl 11.28 WIB
[7] http://cetak.kompas.com/read/2010/08/06/0356553/mifee.berkah.atau.kutuk
judul artikel “MIFEE :Berkah atau Kutuk” ditulis oleh B Josie Susilo Hardianto,
diakses pada tanggal 7 Januari 2010
[8] Setiap orang
yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat (UU. No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)
sumber gambar : http://www.sca-indo.org/id/keragaman-kopi-indonesia/
sumber gambar : http://www.sca-indo.org/id/keragaman-kopi-indonesia/
if agriculture is considered as a business, and we care about the unemployment and poverty in rural areas,
ReplyDelete“MARI KITA BUAT PETANI TERSENYUM KETIKA PANEN TIBA”
Petani kita sudah terlanjur memiliki mainset bahwa untuk menghasilkan produk-produk pertanian berarti harus gunakan pupuk dan pestisida kimia.
NPK yang antara lain terdiri dari Urea, TSP dan KCL serta pestisida kimia pengendali hama sudah merupakan kebutuhan rutin para petani kita, dan sudah dilakukan sejak 1967 (masa awal orde baru) hingga sekarang.
Produk hasil pertanian mencapai puncaknya pada tahun 1984 pada saat Indonesia mencapai swasembada beras dan kondisi ini stabil sampai dengan tahun 1990-an. Capaian produksi padi saat itu bisa 6 -- 8 ton/hektar.
Petani kita selanjutnya secara turun temurun beranggapan bahwa yang meningkatkan produksi pertanian mereka adalah Urea, TSP dan KCL, mereka lupa bahwa tanah kita juga butuh unsur hara mikro yang pada umumnya terdapat dalam pupuk kandang atau pupuk hijau yang ada disekitar kita, sementara yang ditambahkan pada setiap awal musim tanam adalah unsur hara makro NPK saja ditambah dengan pengendali hama kimia yang sangat merusak lingkungan dan terutama tanah pertanian mereka semakin rusak, semakin keras dan menjadi tidak subur lagi. Sawah-sawah kita sejak 1990 hingga sekarang telah mengalami penurunan produksi yang sangat luar biasa dan hasil akhir yang tercatat rata-rata nasional hanya tinggal 3, 8 ton/hektar (statistik nasional 2010).
Tawaran solusi terbaik untuk para petani Indonesia agar mereka bisa tersenyum ketika panen, maka tidak ada jalan lain, perbaiki sistem pertanian mereka, ubah cara bertani mereka, mari kita kembali kealam.
System of Rice Intensification (SRI) yang telah dicanangkan oleh pemerintah (SBY) beberapa tahun yang lalu adalah cara bertani yang ramah lingkungan, kembali kealam, menghasilkan produk yang terbebas dari unsur-unsur kimia berbahaya, kuantitas dan kualitas, serta harga produk juga jauh lebih baik.
SRI sampai kini masih juga belum mendapat respon positif dari para petani kita, karena pada umumnya petani kita beranggapan dan beralasan bahwa walaupun hasilnya sangat menjanjikan, tetapi sangat merepotkan petani dalam proses budidayanya.
Selain itu petani kita sudah terbiasa dan terlanjur termanjakan oleh system olah lahan yang praktis dan serba instan dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, sehingga umumnya sangat berat menerima metoda SRI ini.
Mungkin tunggu 5 tahun lagi setelah melihat petani tetangganya berhasil menerapkan metode tersebut.
Kami tawarkan solusi yang lebih praktis yang perlu dipertimbangkan dan sangat mungkin untuk dapat diterima oleh masyarakat petani kita untuk dicoba, yaitu:
"BERTANI DENGAN SISTEM GABUNGAN SRI DIPADUKAN DENGAN PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK AJAIB (SO/AVRON/NASA) + EFFECTIVE MICROORGANISME 16 PLUS (EM16+), DENGAN POLA JAJAR GOROWO",
Cara gabungan ini hasilnya tetap PADI ORGANIK yang ramah lingkungan seperti yang dikehendaki pada pola SRI, tetapi cara pengolahan tanah sawahnya lebih praktis, dan hasilnya bisa meningkat 100% — 400% dibanding pola tanam konvensional seperti sekarang.
Ditunggu komentarnya di omyosa@gmail.com;
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
DeleteNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Saya akan sangat merekomendasikan layanan pendanaan meridian Le_ kepada siapa saja yang membutuhkan bantuan keuangan dan mereka akan membuat Anda tetap di atas direktori tinggi untuk kebutuhan lebih lanjut. Sekali lagi saya memuji diri sendiri dan staf Anda untuk layanan luar biasa dan layanan pelanggan, karena ini merupakan aset besar bagi perusahaan Anda dan pengalaman yang menyenangkan bagi pelanggan seperti saya. Semoga Anda mendapatkan yang terbaik untuk masa depan. Layanan pendanaan meridian adalah cara terbaik untuk mendapatkan pinjaman yang mudah, di sini ada email .. lfdsloans@lemeridianfds.com Atau bicaralah dengan Bpk. Benjamin Di WhatsApp Via_. 1-989-394-3740
ReplyDeleteTerima kasih telah membantu saya dengan pinjaman sekali lagi dalam hati yang tulus, saya selamanya berterima kasih.