26 July 2011

Ketahanan Pangan & Liberalisasi Pasar

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, serta pembuatan makanan atau minuman. Sedangkan istilah ketahanan pangan pertama kali digunakan pada tahun 1971 oleh PBB. Indonesia secara formal baru mengadopsi ketahanan pangan dalam kebijakan dan program pada tahun 1992, yang kemudian dirumuskan definisi ketahanan pangan pada undang-undang pangan No 7 tahun 1996.

Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (PP No 68 tahun 2002 pasal 1). Dari perspektif sejarah istilah ketahanan pangan (food security) muncul dan dibangkitkan karena kejadian krisis pangan dan kelaparan. Istilah ketahanan pangan dalam kebijakan pangan dunia pertama kali digunakan pada tahun 1971 oleh PBB untuk membebaskan dunia terutama negara–negara berkembang dari krisis produksi dan suplai makanan pokok (Maleha & Sutanto, 2006:195).
Ketahanan pangan merupakan basis utama dalam wewujudkan ketahanan ekonomi serta ketahanan nasional yang berkelanjutan. Ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi utama dari subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi (Ardhianto, 2008:2), dimana dalam mencapai ketahanan pangan dapat dilakukan alternatif pilihan apakah swasembada atau kecukupan (Mahela & Sutanto, 2006:199).  Dengan demikian, ketahanan pangan itu sendiri minimal mengandung dua unsur pokok yaitu ketersediaan pangan dan aksesibilitas masyarakat terhadap bahan pangan tersebut. Jika salah satu dari unsur tersebut tidak terpenuhi, maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun stok pangan cukup tersedia di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan dikatakan rapuh.
Indonesia sempat dikenal sebagai negara dunia ketiga yang sukses dalam swasembada pangan, dan bahkan pernah mendapatkan penghargaan dari FAO. Di penghujung tahun 1980-an, Bank Dunia memuji keberhasilan Indonesia dalam mengurangi angka kemiskinan yang patut menjadi contoh bagi negara-negara sedang berkembang (World Bank, 1990). Akibatnya, pemerintah Indonesia memiliki kecenderungan over estimate di sisi produksi dan under estimate di sisi konsumsi (Ardhianto, 2008:6). Sehingga prestasi ini tidak dapat dipertahankan secara konsisten dalam waktu yang lama. Pemenuhan pangan sebagai hak dasar masih merupakan salah satu permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indonesia.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 menggambarkan masih terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, yaitu belum terpenuhinya pangan yang layak dan memenuhi syarat gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli, masih rentannya stabilitas ketersediaan pangan secara merata dan harga yang terjangkau, ketergantungan yang tinggi terhadap makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi pangan, belum efisiensiennya proses produksi pangan, rendahnya harga jual yang diterima petani, serta masih mengalami ketergantungan terhadap impor pangan.
Selain itu, data yang digunakan MDGs dalam indikator kelaparan menunjukkan hampir dua-pertiga dari penduduk Indonesia asupan kalorinya masih berada di bawah 2.100 kalori perkapita/hari. Hal ini menunjukan bahwa permasalahan kecukupan kalori, di samping menjadi permasalahan masyarakat miskin, ternyata juga dialami oleh kelompok masyarakat lainnya yang berpendapatan tidak jauh di atas garis kemiskinan. Demikian juga dari pemberitaan media masa, masih terdapat beberapa daerah yang mengalami rawan pangan. Misalnya, selama tahun 2005 di NTB diketemukan ada 22 Balita Busung Lapar. Lebih dari seperempat anak usia di bawah 5 tahun memiliki berat badan di bawah standar, dimana 8 % berada dalam kondisi sangat buruk. Bahkan sebelum krisis, sekitar 42% anak di bawah umur 5 tahun mengalami gejala terhambatnya pertumbuhan (kerdil) (World Bank : 2004).
Bukan hanya di Indonesia, data-data hasil studi di dunia juga menunjukkan jumlah orang kelaparan dan kekurangan gizi meningkat pesat dalam satu dekade terakhir. Hal ini juga patut dipikirkan karena produksi pangan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan satu negara, melainkan juga harus mencukupi kebutuhan penduduk dunia. Kelaparan dan kekurangan gizi saat ini tidaklah semata disebabkan oleh sedikitnya jumlah pangan atau kelangkaan pangan, melainkan lebih kepada kemampuan mengakses pangan, rendahnya pendapatan, dan kemiskinan. Distribusi yang tidak merata atas pangan, tanah dan sumber daya produktif lainnya itulah sebagai penyebab kelaparan dan kekurangan gizi.
Setiap peringatan Hari Pangan Dunia tanggal 16 oktober, orang di seluruh dunia merayakan melimpahnya pangan. Akan tetapi dalam kelimpahan pangan tersebut, peristiwa kelaparan dan kekurangan gizi juga terjadi dimana-mana. Setiap tahun, 112 juta orang mati karena kelaparan, 792 juta orang di negara tertinggal menderita kelaparan kronis, ¾ diantara mereka tinggal di perdesaan dan berada di negara-negara berkonflik dan lebih dari 60%-nya adalah perempuan. 51% dari mereka yang kelaparan adalah berasal dari keluarga yang hidup dalam lingkaran kemiskinan. Sehingga jelas bahwa masalah utamanya adalah bukan pada jumlah pangan yang tidak cukup, tetapi sebagian besar orang itu terlalu miskin untuk membeli makanan yang mereka butuhkan dan pada waktu bersamaan mereka juga kehilangan sumber daya pangan yang sebelumnya mereka miliki (Carino, 2004:2)
Selain itu, untuk kasus di Indonesia, hampir semua tanah subur ternyata telah dibuka menjadi lahan pertanian sejak tahun 1900. Akibatnya, petani semakin tidak memiliki luasan tanah yang ideal untuk hidup, yakni sekurang-kurangnya 1 bau (0,709 ha) sawah dan 2 bau lahan kering untuk setiap petani. Mayoritas petani saat itu memiliki jumlah lahan produktif kurang dari itu (Tohari, 2010:145). Bahkan menurut data dari BPN (2008) konversi lahan sawah sudah terjadi lebih dari 3 juta ha untuk pemukiman (Noorsalam, 2009:3).
Jadi, secara substansial konsep ketahanan pangan (yang mengutamakan ketersediaan pangan) kemudian justru menjadi bias dan terkesan sebagai upaya mendukung liberalisasi pasar yang nyata-nyata memarginalkan petani kecil. Kondisi ketahanan pangan (yang tercermin lewat swasembada pangan) ternyata tidak berbanding lurus dengan berkurangnya kelaparan dan kemiskinan penyedia pangan. Ketahanan pangan bahkan cenderung mengabaikan persoalan darimana, siapa, dan bagaimana pangan itu diproduksi hingga mencapai taraf yang mencukupi? Oleh karena itu, lahir konsep tandingan yang memposisikan diri lebih “berpihak“ kepada petani yang mayoritas kini berada di bawah garis kemiskinan. Tidak hanya sekedar menjaga produksi, distribusi dan konsumsi guna memenuhi ketersediaan pangan belaka, melainkan juga berupaya membuka akses sumber daya yang lebih luas dan memberikan kesejahteraan yang lebih nyata. Konsep ini dikenal dengan kedaulatan pangan (food sovereignty).  

No comments:

Post a Comment