Pangan
adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah, yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan
lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, serta pembuatan makanan
atau minuman. Sedangkan istilah ketahanan pangan pertama kali digunakan pada
tahun 1971 oleh PBB. Indonesia secara formal baru mengadopsi ketahanan pangan
dalam kebijakan dan program pada tahun 1992, yang kemudian dirumuskan definisi
ketahanan pangan pada undang-undang pangan No 7 tahun 1996.
Ketahanan
Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau (PP No 68 tahun 2002 pasal 1). Dari perspektif sejarah istilah
ketahanan pangan (food security)
muncul dan dibangkitkan karena kejadian krisis pangan dan kelaparan. Istilah
ketahanan pangan dalam kebijakan pangan dunia pertama kali digunakan pada tahun
1971 oleh PBB untuk membebaskan dunia terutama negara–negara berkembang dari
krisis produksi dan suplai makanan pokok (Maleha & Sutanto, 2006:195).
Ketahanan
pangan merupakan basis utama dalam wewujudkan ketahanan ekonomi serta ketahanan
nasional yang berkelanjutan. Ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi
utama dari subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi (Ardhianto, 2008:2),
dimana dalam mencapai ketahanan pangan dapat dilakukan alternatif pilihan
apakah swasembada atau kecukupan (Mahela & Sutanto, 2006:199). Dengan demikian, ketahanan pangan itu sendiri
minimal mengandung dua unsur pokok yaitu ketersediaan pangan dan aksesibilitas
masyarakat terhadap bahan pangan tersebut. Jika salah satu dari unsur tersebut
tidak terpenuhi, maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan
pangan yang baik. Walaupun stok pangan cukup tersedia di tingkat nasional dan
regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak
merata, maka ketahanan pangan dikatakan rapuh.
Indonesia
sempat dikenal sebagai negara dunia ketiga yang sukses dalam swasembada pangan,
dan bahkan pernah mendapatkan penghargaan dari FAO. Di penghujung tahun
1980-an, Bank Dunia memuji keberhasilan Indonesia dalam mengurangi angka
kemiskinan yang patut menjadi contoh bagi negara-negara sedang berkembang
(World Bank, 1990). Akibatnya, pemerintah Indonesia memiliki kecenderungan over estimate di sisi produksi dan under estimate di sisi konsumsi (Ardhianto,
2008:6). Sehingga prestasi ini tidak dapat dipertahankan secara konsisten dalam
waktu yang lama. Pemenuhan pangan sebagai hak dasar masih merupakan salah satu
permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indonesia.
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 menggambarkan masih terbatasnya
kecukupan dan mutu pangan, yaitu belum terpenuhinya pangan yang layak dan
memenuhi syarat gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli,
masih rentannya stabilitas ketersediaan pangan secara merata dan harga yang
terjangkau, ketergantungan yang tinggi terhadap makanan pokok beras, kurangnya
diversifikasi pangan, belum efisiensiennya proses produksi pangan, rendahnya
harga jual yang diterima petani, serta masih mengalami ketergantungan terhadap
impor pangan.
Selain
itu, data yang digunakan MDGs dalam indikator kelaparan menunjukkan hampir
dua-pertiga dari penduduk Indonesia asupan kalorinya masih berada di bawah
2.100 kalori perkapita/hari. Hal ini menunjukan bahwa permasalahan kecukupan
kalori, di samping menjadi permasalahan masyarakat miskin, ternyata juga dialami
oleh kelompok masyarakat lainnya yang berpendapatan tidak jauh di atas garis
kemiskinan. Demikian juga dari pemberitaan media masa, masih terdapat beberapa
daerah yang mengalami rawan pangan. Misalnya, selama tahun 2005 di NTB
diketemukan ada 22 Balita Busung Lapar. Lebih dari seperempat anak usia di
bawah 5 tahun memiliki berat badan di bawah standar, dimana 8 % berada dalam
kondisi sangat buruk. Bahkan sebelum krisis, sekitar 42% anak di bawah umur 5
tahun mengalami gejala terhambatnya pertumbuhan (kerdil) (World Bank : 2004).
Bukan
hanya di Indonesia, data-data hasil studi di dunia juga menunjukkan jumlah
orang kelaparan dan kekurangan gizi meningkat pesat dalam satu dekade terakhir.
Hal ini juga patut dipikirkan karena produksi pangan tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan satu negara, melainkan juga harus mencukupi kebutuhan penduduk dunia.
Kelaparan dan kekurangan gizi saat ini tidaklah semata disebabkan oleh
sedikitnya jumlah pangan atau kelangkaan pangan, melainkan lebih kepada
kemampuan mengakses pangan, rendahnya pendapatan, dan kemiskinan. Distribusi
yang tidak merata atas pangan, tanah dan sumber daya produktif lainnya itulah
sebagai penyebab kelaparan dan kekurangan gizi.
Setiap
peringatan Hari Pangan Dunia tanggal 16 oktober, orang di seluruh dunia
merayakan melimpahnya pangan. Akan tetapi dalam kelimpahan pangan tersebut,
peristiwa kelaparan dan kekurangan gizi juga terjadi dimana-mana. Setiap tahun,
112 juta orang mati karena kelaparan, 792 juta orang di negara tertinggal
menderita kelaparan kronis, ¾ diantara mereka tinggal di perdesaan dan berada
di negara-negara berkonflik dan lebih dari 60%-nya adalah perempuan. 51% dari
mereka yang kelaparan adalah berasal dari keluarga yang hidup dalam lingkaran
kemiskinan. Sehingga jelas bahwa masalah utamanya adalah bukan pada jumlah
pangan yang tidak cukup, tetapi sebagian besar orang itu terlalu miskin untuk
membeli makanan yang mereka butuhkan dan pada waktu bersamaan mereka juga
kehilangan sumber daya pangan yang sebelumnya mereka miliki (Carino, 2004:2)
Selain
itu, untuk kasus di Indonesia, hampir semua tanah subur ternyata telah dibuka
menjadi lahan pertanian sejak tahun 1900. Akibatnya, petani semakin tidak
memiliki luasan tanah yang ideal untuk hidup, yakni sekurang-kurangnya 1 bau
(0,709 ha) sawah dan 2 bau lahan kering untuk setiap petani. Mayoritas petani
saat itu memiliki jumlah lahan produktif kurang dari itu (Tohari, 2010:145).
Bahkan menurut data dari BPN (2008) konversi lahan sawah sudah terjadi lebih
dari 3 juta ha untuk pemukiman (Noorsalam, 2009:3).
Jadi,
secara substansial konsep ketahanan pangan (yang mengutamakan ketersediaan
pangan) kemudian justru menjadi bias dan terkesan sebagai upaya mendukung
liberalisasi pasar yang nyata-nyata memarginalkan petani kecil. Kondisi
ketahanan pangan (yang tercermin lewat swasembada pangan) ternyata tidak
berbanding lurus dengan berkurangnya kelaparan dan kemiskinan penyedia pangan.
Ketahanan pangan bahkan cenderung mengabaikan persoalan darimana, siapa, dan
bagaimana pangan itu diproduksi hingga mencapai taraf yang mencukupi? Oleh
karena itu, lahir konsep tandingan yang memposisikan diri lebih “berpihak“
kepada petani yang mayoritas kini berada di bawah garis kemiskinan. Tidak hanya
sekedar menjaga produksi, distribusi dan konsumsi guna memenuhi ketersediaan
pangan belaka, melainkan juga berupaya membuka akses sumber daya yang lebih
luas dan memberikan kesejahteraan yang lebih nyata. Konsep ini dikenal dengan
kedaulatan pangan (food sovereignty).
No comments:
Post a Comment