Dear friends,
ternyata sudah lama juga saya tidak ngeblog, hehe, padahal sedang menikmati libur panjang. Tapi bukan berarti enggak nulis sama sekali lho, justru - alhamdulillah - naskah buku saya berikutnya sudah hampir rampung, sedikiiitt lagi :) tulisan (lebih tepatnya sie quotes) di bawah ini adalah salah satu bagian di dalamnya nanti....semoga berkenan dan menambah cinta kita pada Indonesia, mumpung agustusannya masih anget...hehehe. Salam.
Apakah Aku manusia yang buruk
ataukah baik? Hanya setelah mati dunia ini dapat ditimbang dengan jujur.
(Bung Karno)
***
Aku dilahirkan dibawah bintang Gemini, lambang kekembaran. Itulah aku
yang sebenarnya, didalam diriku ada dua sifat yang berlawanan.
***
Pembawaanku adalah kombinasi dari pikiran sehat dan getaran perasaan.
***
Aku dapat memperlihatkan segala rupa, mengerti segala pihak dan
memimpin semua orang.
***
Aku bisa keras seperti baja, tapi dengan satu perkataan yang lembut
Aku akan melunak dan melebur
***
Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja bagai dewa
***
Gunung Kelud meletus saat aku dilahirkan, orang Jawa menganggapnya
sambutan bagi bayi Sukarno, orang Bali menganggapnya gunung Kelud marah karena
anak yang begitu jahat telah lahir di muka bumi.
***
Ibuku (Idayu) seorang wanita kelahiran Bali dari kasta Brahmana.
Bapakku (Raden Sukemi Sosrodiharjo) orang Jawa keturunan Sultan Kediri. Kakakku
seorang perempuan bernama Sukarmini.
***
Disamping ibuku ada Sarinah, gadis pembantu kami yang membesarkanku.
Ia bukan wanita biasa, Ia adalah satu kekuasaan paling berpengaruh dalam
hidupku.
***
Aku dilahirkan ditengah-tengah kemiskinan dan dibesarkan dalam
kemiskinan.
***
Kami sangat melarat hingga hampir tidak bisa makan satu kali dalam
sehari.
***
Bagi kami, kemiskinan itu bukanlah sesuatu yang patut dimalukan.
***
Kusno adalah nama kelahiranku. Tetapi Aku anak kecil yang sering
sakit-sakitan. Bapakku menerangkan “namaku tidak cocok!”.
***
Lalu aku diberi nama Karna, diambil dari salah seorang pahlawan
terbesar dalam cerita Mahabarata.
***
Nasibku adalah untuk menaklukkan, bukan ditaklukkan, sekalipun pada
waktu kecilku
***
Aku hampir tidak mempunyai kesenangan semasa mudaku. Aku terlalu
serius.
***
Seluruh waktu Aku gunakan untuk membaca. Ketika temanku yang lain
bermain-main, aku belajar.
***
Sekali dalam seminggu Aku menikmati satu-satunya kesenanganku. Film,
aku sangat menyukainya.
***
Saking melaratnya, Aku menonton Film dengan menyewa tempat di belakang
layar, sampai akhirnya Aku terbiasa dengan cepat membaca teks film itu yang
berbahasa Belanda, terbalik, dan dari kanan ke kiri pula.
***
Suratku kepada orang tua selalu dimulai dengan kalimat manis yang
itu-itu juga dan tidak pernah berubah :”Bapak
dan Ibu yang tercinta, saya berada dalam keadaan sehat-sehat saja dan harapan
saya tentu agar Bapak dan Ibu keduanya demikian pula”. Kemudian setelah
salam itu di baris ketiga langsung kusampaikan maksud yang terpenting “sekarang Saya sedang kekurangan uang.
Apakah Bapak dan Ibu dapat mengirimi sedikit?”
***
Saat aku berumur empat belas tahun, hatiku yang muda ini tertambat
pada Rika Meelhuysen, seorang gadis Belanda. Ia adalah gadis pertama yang
kucium.
***
Gadis-gadis bagiku tak ubahnya seperti bunga yang sedang mekar, dan
aku senang memandangi bunga.
***
Perempuan tak ubahnya seperti pohon karet, dia tak baik lagi setelah
tiga puluh tahun.
***
Tidak benar Aku suka melirik wanita, karena aku suka melihat wanita
cantik dengan seluruh bola mataku.
***
Sebagai seorang seniman, Aku tertarik kepada apapun yang menyenangkan
pikiran.
***
Aku senang bila makanan diatur secara menarik di atas meja karena Aku
mengagumi keindahan dalam segala bentuk
***
Apakah seorang jantan berkulit sawo matang dapat menaklukkan seorang
gadis Belanda berkulit putih? Inilah tujuan yang hendak diperjuangkan Sukarno
muda kala itu.
***
Mereka bahkan memuja gigi-gigiku yang tidak rata dan Aku mengakui
bahwa Aku sengaja mengejar gadis-gadis kulit putih.
***
Umurku baru 18 tahun dan tak ada yang lebih kuinginkan dalam
kehidupanku selain daripada memiliki jiwa dan raga Mien Hessels.
***
23 tahun kemudian (1942), bidadariku Mien Hessels telah berubah
menjadi nyonya tua yang gemuk, jelek, dan badannya tidak terpelihara seperti
tukang sihir. Aku bersyukur kepada Tuhan bahwa cacian tuan Hessels yang
mengusirku kala meminta gadis pujaanku dulu itu ternyata telah menyelamatkanku
sekarang.
***
Saat Aku berumur 16 tahun, di studieclub,
aku menyampaikan pidatoku yang pertama
***
Kuakhiri pidatoku itu dengan kalimat yang membuat banyak orang kagum
dan terkejut
“Saya berpendapat bahwa yang
pertama-tama harus kita kuasai adalah bahasa kita sendiri (melayu). Kemudian
baru menguasai bahasa asing. Dan sebaiknya kita memilih bahasa Inggris,
karena bahasa itu sekarang menjadi bahasa
diplomatik”
Mereka yang belajar di sekolah Belanda ini tidak pernah mendengar hal
seperti itu sebelumnya.
***
Guru utamaku adalah H.O.S. Cokroaminoto, “Raja Jawa yang tidak dinobatkan” begitu Belanda menjulukinya.
***
Gurumu harus dihormati, bahkan lebih daripada orang tuamu sendiri.
***
Jalan hidupku sebagai pencinta di masa belia berakhir ketika Bu Cokro
meninggal dunia. Untuk meringankan beban pak Cokro, Akupun menikahi putrinya,
Oetari.
***
Aku menulis di majalah Pak Cokro, Oetoesan
Hindia, dengan nama samaran Bima yang berarti “prajurit besar”, keberanian
dan kepahlawanan
***
Aku menulis lebih dari 500 karangan. Seluruh Indonesia
membicarakannya. Ibu – yang tidak tahu baca tulis – dan Bapakku tidak pernah
tahu bahwa itu anaknya yang menulis.
***
Aku selalu ingat, Swami Vivekanda pernah menulis “Jangan bikin kepalamu menjadi perpustakaan. Pakailah pengetahuanmu
untuk diamalkan”.
***
“Anak muda ini” kata Dr.
Douwes Dekker Setiabudi, “akan menjadi
‘juru selamat’ dari rakyat Indonesia di masa yang akan datang”.
***
Perkumpulan politik pertama yang aku dirikan adalah Tri Koro Darmo
(Tiga Tujuan Suci) yang melambangkan kemerdekaan politik, ekonomi dan sosial.
***
Sebagai Presiden Republik Indonesia, dalam diriku mengalir terlalu
banyak darah seorang seniman.
***
Aku mencintai negeriku, rakyatku, wanita, seni dan lebih dari
segalanya aku mencintai diriku sendiri.
***
Semenjak kecil aku mengagumi wayang. Sewaktu masih di Mojokerto aku
menggambar wayang di dalam buku tulisku. Di Surabaya aku tidak tidur semalam
suntuk untuk mendengarkan Dalang menceritakan kisah-kisah penuh pelajaran itu.
***
Aku akan mewariskan hasil-hasil seni koleksiku kepada rakyatku. Untuk
dijual? Jangan kira!
***
Aku benci dikritik, angkuh dan punya ego. Tapi keangkuhan dan ego
itulah yang menyatukan sepuluh ribu pulau dalam satu kebangsaan.
***
Aku tak ubahnya seperti anak kecil. Berilah aku sebuah pisang dan
sedikit simpati yang keluar dari lubuk hatimu, tentu Aku akan mencintaimu
selama-lamanya.
***
Seperti tikus yang terdesak, Aku tidak dapat dikendalikan, tidak dapat
diramalkan dan tidak dapat dikuasai.
***
Aku orang Jawa, bekerja dengan insting
***
Mengejar kepentingan dan kehidupan sendiri, sementara orang yang sudah
dianggap saudara berada dalam kesusahan bukanlah cara orang Indonesia
***
Aku benci orang-orang munafik
***
Kebahagiaan dalam perkawinan baru akan tercapai apabila si isteri
merupakan perpaduan daripada seorang ibu, kekasih dan seorang kawan.
***
Inggit[1]
memberiku segala sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh ibuku. Ia memberikan
kecintaan, kehangatan, dan tidak mementingkan diri sendiri. Dia adalah ilhamku,
pendorongku.
***
Intelektualisme bagiku tidaklah terlalu penting dalam diri seorang
perempuan, yang kuhargai adalah kemanusiaannya
***
Seorang pemimpin hanya tertarik pada soal-soal politik. Bahunya
bukanlah tempat bersandar untuk menangis. Tangannya bukanlah tempat merebahkan
diri dengan anak.
***
“Hai Sukarno, mengapa engkau
tidak suka kepada Amerika?”
Maka aku Jawab “Apabila engkau
mengenal Sukarno, engkau tidak akan mengajukan pertanyaan itu”. Ketahuilah,
masa mudaku kupergunakan untuk memuja pahlawan-pahlawannya. Bahkan aku masih
membaca majalah Amerika dari Vogue
sampai ke Nugget.
***
Pemimpin tidaklah ditunjuk atau disiapkan, akan tetapi lahir dalam
masyarakat dan tumbuh bersama perkembangan bangsanya.
***
Seseorang tidak dapat memimpin orang banyak jika tidak menyatukan diri
dengan mereka.
***
Janganlah kita lupa, bahwa pemimpin berasal dari rakyat, bukan berada
di atas rakyat.
***
Marilah saudara-saudara, kita angkat kepala tinggi-tinggi dan memakai
peci sebagai lambang Indonesia Merdeka!
***
“Apakah engkau tahu apa itu Indonesia?” Aku berteriak ke punggung temanku setempat-tidur.
“Indonesia adalah pohon yang kuat dan
indah ini. Indonesia adalah langit yang biru dan terang itu. Indonesia adalah
mega putih yang lamban itu. Indonesia adalah udara yang hangat ini”.
***
Aku masih terlalu banyak mencurahkan waktu untuk pemikiran politik,
jadi tidak dapat diharapkan akan menjadi mahasiswa yang betul-betul gemilang
***
Semua kuliah diajarkan dalam bahasa Belanda. Aku berpikir,
memaki-maki, dan bahkan berdoa kepada Tuhan Y.M.E dalam bahasa Belanda.
***
Kurikulum kami disesuaikan menurut kebutuhan masyarakat penjajah
Belanda. Pengetahuan yang kupelajari adalah teknik kapitalis. Misalnya, teknik
irigasi dipelajari bukan untuk mengairi sawah dengan jalan terbaik atau memberi
makan rakyat banyak yang kelaparan melainkan untuk membikin gendut pemilik
perkebunan.
***
Ijazahku dalam jurusan teknik sipil menunjukkan bahwa Aku adalah
seorang spesialis dalam pengerjaan jalan raya dan pengairan. Gelarku adalah Ir.
Raden Sukarno.
***
“Ijazah ini dapat robek dan
hancur menjadi abu. Ia tidak kekal. Ingatlah, bahwa satu-satunya kekuatan yang
bisa abadi adalah karakter dari seseorang. Ia akan hidup terus dalam hati
rakyat, sekalipun sesudah mati”.
Aku tidak pernah melupakan kata-kata dari presiden Universitas ini.
***
Tesisku tentang konstruksi pelabuhan dan jalanan air serta teoriku
tentang perencanaan kota memiliki nilai penemuan dan keaslian yang begitu
tinggi, sehingga disediakan untukku jabatan asisten dosen dan pekerjaan di
pemerintahan kota. Keduanya Aku tolak!
***
Kalau kita yang beranak pinak seperti kelinci akan menjadi satu
masyarakat, satu bangsa, maka kita harus mempunyai satu bahasa persatuan.
Bahasa dari Indonesia baru.
***
Di Jaman revolusi kebudayaan, Aku mulai dikenal sebagai “Bung” Karno.
Bung artinya saudara.
***
Pakaian seragam dan peci hitam merupakan tanda pengenalku.
***
Dalam bidang politik Aku adalah seorang Nasionalis. Dalam kepercayaan
Aku seorang yang beragama. Akan tetapi kepercayaanku bersegi tiga : Sosialis,
Demokratis, dan Marhaenis.
***
Nenekku memberikan kebudayaan Jawa dan Mistik. Bapakku memberikan
Theosofisme dan Islamisme. Ibuku memberikan Hinduisme dan Buddhisme. Sarinah
memberiku Humanisme. Pak Cokro memberiku Sosialisme dan dari kawan-kawannya
memberiku Nasionalisme.
***
Aku menambah renungan–renungan dari Karl Marx-isme dan Thomas
Jefferson-isme. Aku belajar ekonomi dari Sun Yat sen, belajar kebaikan dari
Gandhi dan Aku sanggup meramu ilmu pengetahuan modern dan kuno dalam bahasa
yang dipahami oleh orang kampung. Semua ini dinamakan orang sebagai :
Sukarnoisme.
***
Dengan lima orang anak Indonesia Aku mendirikan perkumpulan studi.
Cabang-cabangnya kemudian tumbuh di Solo, Surabaya dan kota lainnya di Jawa.
Kami kemudian menerbitkan majalah Suluh Indonesia Muda, dan seperti dapat
diduga, Sukarno adalah penyumbang tulisan yang pertama.
***
Aku memandang diriku sebagai seorang pemberontak Belanda. Kupandang
PNI sebagai tentara pemberontak.
***
1928 adalah tahun propaganda dan politik. Bandung kubagi dalam
daerah-daerah politik : Bandung Utara, Selatan, Timur, Barat, Tengah dan
sebagainya. Di tiap daerah itu aku berpidato seminggu sekali, sehingga aku
diberi julukan “Singa Podium”.
***
Pemimpin Indonesia haruslah seorang tokoh yang memerintah. Dia harus
kelihatan berwibawa. Bagi satu negara yang pernah ditaklukkan memang perlu
hal-hal yang demikian.
***
Ketika aku diangkat sebagai panglima tertinggi, aku menyadari bahwa
rakyat menginginkan satu tokoh pahlawan. Kupenuhi keinginan mereka. Aku bahkan
memakai pedang emas di pinggangku. Dan rakyat kagum.
***
Aku menjadi sasaran utama bagi Belanda. Mereka mengintipku seperti
berburu binatang liar. Sangat tipis bagiku untuk bisa luput dari intipan itu.
***
Menurutku, pelacur adalah mata-mata yang paling baik di dunia
***
Andaikata Aku harus mengorbankan ribuan jiwa demi menyelamatkan jutaan
nyawa, maka itu akan Aku lakukan.
***
Seseorang hendaknya tidak melibatkan diri dalam perjuangan mati-matian
jika sebelumnya Ia tidak sadar akan akibatnya
***
Selku di penjara Banceuy lebarnya hanya satu setengah meter dan
panjangnya betul-betul sepanjang peti mayat
***
Secara diam-diam semua petugas penjara berpihak kepadaku. “Bung, kalau hendak menyampaikan pesan ke
dalam atau ke luar, katakanlah. Saya akan bertindak sebagai perantara. Inilah
cara saya untuk menyumbangkan tenaga”. Begitu kata mereka.
***
Seorang pahlawan yang hanya mau mengerjakan yang baik tidak pernah
kalah untuk selama-lamanya.
***
Pembelaanku yang dinamakan “Indonesia Menggugat” itu adalah hasil
penulisan yang kualaskan di atas kaleng tempat buang air kecil dan besar di
dalam penjara.
***
Aku tidak pernah mendapat didikan agama secara teratur, karena Bapakku
tidak mendalami bidang itu. Aku menemukan sendiri agama Islam pada usia 15
tahun ketika bersama keluarga Pak Cokro mengikuti organisasi agama dan sosial
bernama Muhammadiyah.
***
Sekalipun di negeri kami sebagian besar rakyatnya beragama Islam,
tetapi konsep Ketuhananku tidak semata-mata disandarkan pada Tuhannya orang
Islam saja.
***
Aku membaca dan membaca kembali Injil. Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru tidak asing lagi bagiku. Aku mempelajari agama Kristen dari Pendeta Van
Lith.
***
Orang Islam agaknya tidak menyukai anjing, akan tetapi aku
mengaguminya
***
Tidak sekalipun Aku mempunyai pikiran untuk menyerah, Tidak Pernah!
Kekalahan tidak pernah memasuki pikiranku.
***
Seorang pemimpin tidak berubah karena hukuman. Aku masuk penjara untuk
memperjuangkan kemerdekaan dan keluar dari penjara dengan pikiran yang sama.
***
Dalam keadaan ekonomi yang bagaimanapun sulitnya, Aku minta jangan
lepaskan jiwa self reliance atau percaya
pada kekuatan sendiri, dan jiwa self help
atau jiwa berdikari
***
Berdikari tidak berarti mengurangi, melainkan memperluas kerjasama
internasional, terutama diantara semua negara yang baru merdeka
***
Berdikari menolak ketergantungan pada imperialisme
***
Menjadi presiden adalah pekerjaan yang membikin orang lekas tua
***
Kecakapan dan sifat-sifat yang memungkinkan seseorang menjadi presiden
adalah kecakapan dan sifat-sifat yang menyebabkan ia diasingkan.
***
Menurutku, jabatan Presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang
terpencil
***
Hatta dan Aku tidak pernah berada dalam getaran-gelombang yang sama
***
Menentang orang dalam bidang politik tidaklah berarti bahwa kita tidak
mencintainya secara pribadi.
***
Aku bukan, tidak pernah dan tidak mungkin menjadi seorang komunis
***
Howard Jones (Dubes AS) menggambarkan diriku sebagai perpaduan antara
F.D. Roosevelt dan Clark Gable.
***
Ia juga mengatakan bahwa Aku adalah ahli pidato terbesar setelah
William Janmings Bryan.
***
Aku merumuskan perasaan-perasaan yang tersembunyi dari rakyatku
menjadi istilah-istilah politik dan sosial yang tentu akan mereka ucapkan
sendiri seandainya mereka mampu.
***
Sekalipun perasaanku sedang hancur luluh, perasaan itu tidak akan
pernah memperlihatkan diri.
***
Aku lebih menyerupai sebuah ranting kayu dalam unggun yang sedang
menyala. Ranting itu turut menyalakan api yang berkobar-kobar, akan tetapi Ia
pun dimakan oleh api yang hebat itu.
***
Aku selalu ingin bercampur dengan rakyat, itulah kebiasaanku.
***
Aku adalah kepunyaan rakyat. Aku harus melihat, mendengarkan dan
bersentuhan dengan rakyat. Perasaanku tentram berada diantara mereka.
***
Ibuku pernah berpesan, “Aku
ingin supaya Engkau tinggal disini, diantara bangsa kita sendiri. jangan lupa
sekali-kali Nak, bahwa tempatmu, nasibmu, pusakamu adalah di kepualuan ini”.
***
Aku ingin bersitirahat diantara bukit yang berombak-ombak dan dalam
ketenangan. Hanya dalam keindahan dari tanah airku yang tercinta dan dalam
keesederhanaan dimana aku berasal.
***
Tanpa rakyat aku tidak berarti apa-apa.
***
Kalau aku mati, kuburkanlah menurut agama Islam dan diatas batu kecil
yang biasa sekali engkau tulislah kata-kata sederhana :
“Di sini beristirahat Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”
***
(*) P.S. Aku = Sukarno
[1]
Inggit Ganarsih (1888-1984) adalah istri Bung Karno yang tidak lain merupakan
Ibu Kos-nya sendiri ketika masih menjadi mahasiswa di Bandung. Dengan Bu Inggit, Bung
Karno tidak memiliki anak kandung tetapi mengangkat dua orang anak, yaitu Ratna
Djuami dan Kartika (Tempo, 2010:26).
No comments:
Post a Comment