24 August 2011

Quotes from Sukarno


Dear friends, 

ternyata sudah lama juga saya tidak ngeblog, hehe, padahal sedang menikmati libur panjang. Tapi bukan berarti enggak nulis sama sekali lho, justru - alhamdulillah - naskah buku saya berikutnya sudah hampir rampung, sedikiiitt lagi :) tulisan (lebih tepatnya sie quotes) di bawah ini  adalah salah satu bagian di dalamnya nanti....semoga berkenan dan menambah cinta kita pada Indonesia, mumpung agustusannya masih anget...hehehe. Salam.

Apakah Aku manusia yang buruk ataukah baik? Hanya setelah mati dunia ini dapat ditimbang dengan jujur.
(Bung Karno)

***
Aku dilahirkan dibawah bintang Gemini, lambang kekembaran. Itulah aku yang sebenarnya, didalam diriku ada dua sifat yang berlawanan.

***
Pembawaanku adalah kombinasi dari pikiran sehat dan getaran perasaan.

***

Aku dapat memperlihatkan segala rupa, mengerti segala pihak dan memimpin semua orang.

***
Aku bisa keras seperti baja, tapi dengan satu perkataan yang lembut Aku akan melunak dan melebur

***
Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja bagai dewa

***
Gunung Kelud meletus saat aku dilahirkan, orang Jawa menganggapnya sambutan bagi bayi Sukarno, orang Bali menganggapnya gunung Kelud marah karena anak yang begitu jahat telah lahir di muka bumi.

***
Ibuku (Idayu) seorang wanita kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Bapakku (Raden Sukemi Sosrodiharjo) orang Jawa keturunan Sultan Kediri. Kakakku seorang perempuan bernama Sukarmini.

***
Disamping ibuku ada Sarinah, gadis pembantu kami yang membesarkanku. Ia bukan wanita biasa, Ia adalah satu kekuasaan paling berpengaruh dalam hidupku.

***
Aku dilahirkan ditengah-tengah kemiskinan dan dibesarkan dalam kemiskinan.

***
Kami sangat melarat hingga hampir tidak bisa makan satu kali dalam sehari.

***
Bagi kami, kemiskinan itu bukanlah sesuatu yang patut dimalukan.

***
Kusno adalah nama kelahiranku. Tetapi Aku anak kecil yang sering sakit-sakitan.  Bapakku menerangkan “namaku tidak cocok!”.

***
Lalu aku diberi nama Karna, diambil dari salah seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabarata.

***
Nasibku adalah untuk menaklukkan, bukan ditaklukkan, sekalipun pada waktu kecilku

***
Aku hampir tidak mempunyai kesenangan semasa mudaku. Aku terlalu serius.

***
Seluruh waktu Aku gunakan untuk membaca. Ketika temanku yang lain bermain-main, aku belajar.

***
Sekali dalam seminggu Aku menikmati satu-satunya kesenanganku. Film, aku sangat menyukainya.

***
Saking melaratnya, Aku menonton Film dengan menyewa tempat di belakang layar, sampai akhirnya Aku terbiasa dengan cepat membaca teks film itu yang berbahasa Belanda, terbalik, dan dari kanan ke kiri pula.

***
Suratku kepada orang tua selalu dimulai dengan kalimat manis yang itu-itu juga dan tidak pernah berubah :”Bapak dan Ibu yang tercinta, saya berada dalam keadaan sehat-sehat saja dan harapan saya tentu agar Bapak dan Ibu keduanya demikian pula”. Kemudian setelah salam itu di baris ketiga langsung kusampaikan maksud yang terpenting “sekarang Saya sedang kekurangan uang. Apakah Bapak dan Ibu dapat mengirimi sedikit?”

***
Saat aku berumur empat belas tahun, hatiku yang muda ini tertambat pada Rika Meelhuysen, seorang gadis Belanda. Ia adalah gadis pertama yang kucium.

***
Gadis-gadis bagiku tak ubahnya seperti bunga yang sedang mekar, dan aku senang memandangi bunga.

***
Perempuan tak ubahnya seperti pohon karet, dia tak baik lagi setelah tiga puluh tahun.

***
Tidak benar Aku suka melirik wanita, karena aku suka melihat wanita cantik dengan seluruh bola mataku.

***
Sebagai seorang seniman, Aku tertarik kepada apapun yang menyenangkan pikiran.

***
Aku senang bila makanan diatur secara menarik di atas meja karena Aku mengagumi keindahan dalam segala bentuk

***
Apakah seorang jantan berkulit sawo matang dapat menaklukkan seorang gadis Belanda berkulit putih? Inilah tujuan yang hendak diperjuangkan Sukarno muda kala itu.

***
Mereka bahkan memuja gigi-gigiku yang tidak rata dan Aku mengakui bahwa Aku sengaja mengejar gadis-gadis kulit putih.

***
Umurku baru 18 tahun dan tak ada yang lebih kuinginkan dalam kehidupanku selain daripada memiliki jiwa dan raga Mien Hessels.

***
23 tahun kemudian (1942), bidadariku Mien Hessels telah berubah menjadi nyonya tua yang gemuk, jelek, dan badannya tidak terpelihara seperti tukang sihir. Aku bersyukur kepada Tuhan bahwa cacian tuan Hessels yang mengusirku kala meminta gadis pujaanku dulu itu ternyata telah menyelamatkanku sekarang.

***
Saat Aku berumur 16 tahun, di studieclub, aku menyampaikan pidatoku yang pertama

***
Kuakhiri pidatoku itu dengan kalimat yang membuat banyak orang kagum dan terkejut

Saya berpendapat bahwa yang pertama-tama harus kita kuasai adalah bahasa kita sendiri (melayu). Kemudian baru menguasai bahasa asing. Dan sebaiknya kita memilih bahasa Inggris, karena  bahasa itu sekarang menjadi bahasa diplomatik

Mereka yang belajar di sekolah Belanda ini tidak pernah mendengar hal seperti itu sebelumnya.

***
Guru utamaku adalah H.O.S. Cokroaminoto, “Raja Jawa yang tidak dinobatkan” begitu Belanda menjulukinya.

***
Gurumu harus dihormati, bahkan lebih daripada orang tuamu sendiri.

***
Jalan hidupku sebagai pencinta di masa belia berakhir ketika Bu Cokro meninggal dunia. Untuk meringankan beban pak Cokro, Akupun menikahi putrinya, Oetari.

***
Aku menulis di majalah Pak Cokro, Oetoesan Hindia, dengan nama samaran Bima yang berarti “prajurit besar”, keberanian dan kepahlawanan

***

Aku menulis lebih dari 500 karangan. Seluruh Indonesia membicarakannya. Ibu – yang tidak tahu baca tulis – dan Bapakku tidak pernah tahu bahwa itu anaknya yang menulis.

***
Aku selalu ingat, Swami Vivekanda pernah menulis “Jangan bikin kepalamu menjadi perpustakaan. Pakailah pengetahuanmu untuk diamalkan”.

***
Anak muda ini” kata Dr. Douwes Dekker Setiabudi, “akan menjadi ‘juru selamat’ dari rakyat Indonesia di masa yang akan datang”.

***
Perkumpulan politik pertama yang aku dirikan adalah Tri Koro Darmo (Tiga Tujuan Suci) yang melambangkan kemerdekaan politik, ekonomi dan sosial.

***
Sebagai Presiden Republik Indonesia, dalam diriku mengalir terlalu banyak darah seorang seniman.

***
Aku mencintai negeriku, rakyatku, wanita, seni dan lebih dari segalanya aku mencintai diriku sendiri.

***
Semenjak kecil aku mengagumi wayang. Sewaktu masih di Mojokerto aku menggambar wayang di dalam buku tulisku. Di Surabaya aku tidak tidur semalam suntuk untuk mendengarkan Dalang menceritakan kisah-kisah penuh pelajaran itu.

***
Aku akan mewariskan hasil-hasil seni koleksiku kepada rakyatku. Untuk dijual? Jangan kira!

***
Aku benci dikritik, angkuh dan punya ego. Tapi keangkuhan dan ego itulah yang menyatukan sepuluh ribu pulau dalam satu kebangsaan.

***
Aku tak ubahnya seperti anak kecil. Berilah aku sebuah pisang dan sedikit simpati yang keluar dari lubuk hatimu, tentu Aku akan mencintaimu selama-lamanya.

***
Seperti tikus yang terdesak, Aku tidak dapat dikendalikan, tidak dapat diramalkan dan tidak dapat dikuasai.

***
Aku orang Jawa, bekerja dengan insting

***
Mengejar kepentingan dan kehidupan sendiri, sementara orang yang sudah dianggap saudara berada dalam kesusahan bukanlah cara orang Indonesia

***
Aku benci orang-orang munafik

***
Kebahagiaan dalam perkawinan baru akan tercapai apabila si isteri merupakan perpaduan daripada seorang ibu, kekasih dan seorang kawan.

***
Inggit[1] memberiku segala sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh ibuku. Ia memberikan kecintaan, kehangatan, dan tidak mementingkan diri sendiri. Dia adalah ilhamku, pendorongku.

***
Intelektualisme bagiku tidaklah terlalu penting dalam diri seorang perempuan, yang kuhargai adalah kemanusiaannya

***
Seorang pemimpin hanya tertarik pada soal-soal politik. Bahunya bukanlah tempat bersandar untuk menangis. Tangannya bukanlah tempat merebahkan diri dengan anak.

***
Hai Sukarno, mengapa engkau tidak suka kepada Amerika?
Maka aku Jawab “Apabila engkau mengenal Sukarno, engkau tidak akan mengajukan pertanyaan itu”. Ketahuilah, masa mudaku kupergunakan untuk memuja pahlawan-pahlawannya. Bahkan aku masih membaca majalah Amerika dari Vogue sampai ke Nugget.

***
Pemimpin tidaklah ditunjuk atau disiapkan, akan tetapi lahir dalam masyarakat dan tumbuh bersama perkembangan bangsanya.

***
Seseorang tidak dapat memimpin orang banyak jika tidak menyatukan diri dengan mereka.

***
Janganlah kita lupa, bahwa pemimpin berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat.

***
Marilah saudara-saudara, kita angkat kepala tinggi-tinggi dan memakai peci sebagai lambang Indonesia Merdeka!

***
“Apakah engkau tahu apa itu Indonesia?” Aku berteriak ke punggung temanku setempat-tidur. “Indonesia adalah pohon yang kuat dan indah ini. Indonesia adalah langit yang biru dan terang itu. Indonesia adalah mega putih yang lamban itu. Indonesia adalah udara yang hangat ini”.

***
Aku masih terlalu banyak mencurahkan waktu untuk pemikiran politik, jadi tidak dapat diharapkan akan menjadi mahasiswa yang betul-betul gemilang

***
Semua kuliah diajarkan dalam bahasa Belanda. Aku berpikir, memaki-maki, dan bahkan berdoa kepada Tuhan Y.M.E dalam bahasa Belanda.

***
Kurikulum kami disesuaikan menurut kebutuhan masyarakat penjajah Belanda. Pengetahuan yang kupelajari adalah teknik kapitalis. Misalnya, teknik irigasi dipelajari bukan untuk mengairi sawah dengan jalan terbaik atau memberi makan rakyat banyak yang kelaparan melainkan untuk membikin gendut pemilik perkebunan.

***
Ijazahku dalam jurusan teknik sipil menunjukkan bahwa Aku adalah seorang spesialis dalam pengerjaan jalan raya dan pengairan. Gelarku adalah Ir. Raden Sukarno.

***
Ijazah ini dapat robek dan hancur menjadi abu. Ia tidak kekal. Ingatlah, bahwa satu-satunya kekuatan yang bisa abadi adalah karakter dari seseorang. Ia akan hidup terus dalam hati rakyat, sekalipun sesudah mati”.

Aku tidak pernah melupakan kata-kata dari presiden Universitas ini.

***
Tesisku tentang konstruksi pelabuhan dan jalanan air serta teoriku tentang perencanaan kota memiliki nilai penemuan dan keaslian yang begitu tinggi, sehingga disediakan untukku jabatan asisten dosen dan pekerjaan di pemerintahan kota. Keduanya Aku tolak!

***
Kalau kita yang beranak pinak seperti kelinci akan menjadi satu masyarakat, satu bangsa, maka kita harus mempunyai satu bahasa persatuan. Bahasa dari Indonesia baru.

***
Di Jaman revolusi kebudayaan, Aku mulai dikenal sebagai “Bung” Karno. Bung artinya saudara.

***
Pakaian seragam dan peci hitam merupakan tanda pengenalku.

***
Dalam bidang politik Aku adalah seorang Nasionalis. Dalam kepercayaan Aku seorang yang beragama. Akan tetapi kepercayaanku bersegi tiga : Sosialis, Demokratis, dan Marhaenis.

***
Nenekku memberikan kebudayaan Jawa dan Mistik. Bapakku memberikan Theosofisme dan Islamisme. Ibuku memberikan Hinduisme dan Buddhisme. Sarinah memberiku Humanisme. Pak Cokro memberiku Sosialisme dan dari kawan-kawannya memberiku Nasionalisme.

***
Aku menambah renungan–renungan dari Karl Marx-isme dan Thomas Jefferson-isme. Aku belajar ekonomi dari Sun Yat sen, belajar kebaikan dari Gandhi dan Aku sanggup meramu ilmu pengetahuan modern dan kuno dalam bahasa yang dipahami oleh orang kampung. Semua ini dinamakan orang sebagai : Sukarnoisme.

***
Dengan lima orang anak Indonesia Aku mendirikan perkumpulan studi. Cabang-cabangnya kemudian tumbuh di Solo, Surabaya dan kota lainnya di Jawa. Kami kemudian menerbitkan majalah Suluh Indonesia Muda, dan seperti dapat diduga, Sukarno adalah penyumbang tulisan yang pertama.

***
Aku memandang diriku sebagai seorang pemberontak Belanda. Kupandang PNI sebagai tentara pemberontak.

***
1928 adalah tahun propaganda dan politik. Bandung kubagi dalam daerah-daerah politik : Bandung Utara, Selatan, Timur, Barat, Tengah dan sebagainya. Di tiap daerah itu aku berpidato seminggu sekali, sehingga aku diberi julukan “Singa Podium”.

***
Pemimpin Indonesia haruslah seorang tokoh yang memerintah. Dia harus kelihatan berwibawa. Bagi satu negara yang pernah ditaklukkan memang perlu hal-hal yang demikian.

***
Ketika aku diangkat sebagai panglima tertinggi, aku menyadari bahwa rakyat menginginkan satu tokoh pahlawan. Kupenuhi keinginan mereka. Aku bahkan memakai pedang emas di pinggangku. Dan rakyat kagum.

***
Aku menjadi sasaran utama bagi Belanda. Mereka mengintipku seperti berburu binatang liar. Sangat tipis bagiku untuk bisa luput dari intipan itu.

***
Menurutku, pelacur adalah mata-mata yang paling baik di dunia

***
Andaikata Aku harus mengorbankan ribuan jiwa demi menyelamatkan jutaan nyawa, maka itu akan Aku lakukan.

***
Seseorang hendaknya tidak melibatkan diri dalam perjuangan mati-matian jika sebelumnya Ia tidak sadar akan akibatnya

***
Selku di penjara Banceuy lebarnya hanya satu setengah meter dan panjangnya betul-betul sepanjang peti mayat

***
Secara diam-diam semua petugas penjara berpihak kepadaku. “Bung, kalau hendak menyampaikan pesan ke dalam atau ke luar, katakanlah. Saya akan bertindak sebagai perantara. Inilah cara saya untuk menyumbangkan tenaga”. Begitu kata mereka.

***
Seorang pahlawan yang hanya mau mengerjakan yang baik tidak pernah kalah untuk selama-lamanya.

***
Pembelaanku yang dinamakan “Indonesia Menggugat” itu adalah hasil penulisan yang kualaskan di atas kaleng tempat buang air kecil dan besar di dalam penjara.

***
Aku tidak pernah mendapat didikan agama secara teratur, karena Bapakku tidak mendalami bidang itu. Aku menemukan sendiri agama Islam pada usia 15 tahun ketika bersama keluarga Pak Cokro mengikuti organisasi agama dan sosial bernama Muhammadiyah.

***
Sekalipun di negeri kami sebagian besar rakyatnya beragama Islam, tetapi konsep Ketuhananku tidak semata-mata disandarkan pada Tuhannya orang Islam saja.

***
Aku membaca dan membaca kembali Injil. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak asing lagi bagiku. Aku mempelajari agama Kristen dari Pendeta Van Lith.

***
Orang Islam agaknya tidak menyukai anjing, akan tetapi aku mengaguminya

***
Tidak sekalipun Aku mempunyai pikiran untuk menyerah, Tidak Pernah! Kekalahan tidak pernah memasuki pikiranku.

***
Seorang pemimpin tidak berubah karena hukuman. Aku masuk penjara untuk memperjuangkan kemerdekaan dan keluar dari penjara dengan pikiran yang sama.

***
Dalam keadaan ekonomi yang bagaimanapun sulitnya, Aku minta jangan lepaskan jiwa self reliance atau percaya pada kekuatan sendiri, dan jiwa self help atau jiwa berdikari

***
Berdikari tidak berarti mengurangi, melainkan memperluas kerjasama internasional, terutama diantara semua negara yang baru merdeka

***
Berdikari menolak ketergantungan pada imperialisme

***
Menjadi presiden adalah pekerjaan yang membikin orang lekas tua

***
Kecakapan dan sifat-sifat yang memungkinkan seseorang menjadi presiden adalah kecakapan dan sifat-sifat yang menyebabkan ia diasingkan.
***
Menurutku, jabatan Presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil

***
Hatta dan Aku tidak pernah berada dalam getaran-gelombang yang sama

***
Menentang orang dalam bidang politik tidaklah berarti bahwa kita tidak mencintainya secara pribadi.

***
Aku bukan, tidak pernah dan tidak mungkin menjadi seorang komunis

***
Howard Jones (Dubes AS) menggambarkan diriku sebagai perpaduan antara F.D. Roosevelt dan Clark Gable.

***
Ia juga mengatakan bahwa Aku adalah ahli pidato terbesar setelah William Janmings Bryan.

***
Aku merumuskan perasaan-perasaan yang tersembunyi dari rakyatku menjadi istilah-istilah politik dan sosial yang tentu akan mereka ucapkan sendiri seandainya mereka mampu.

***
Sekalipun perasaanku sedang hancur luluh, perasaan itu tidak akan pernah memperlihatkan diri.

***
Aku lebih menyerupai sebuah ranting kayu dalam unggun yang sedang menyala. Ranting itu turut menyalakan api yang berkobar-kobar, akan tetapi Ia pun dimakan oleh api yang hebat itu.

***
Aku selalu ingin bercampur dengan rakyat, itulah kebiasaanku.

***
Aku adalah kepunyaan rakyat. Aku harus melihat, mendengarkan dan bersentuhan dengan rakyat. Perasaanku tentram berada diantara mereka.

***
Ibuku pernah berpesan, “Aku ingin supaya Engkau tinggal disini, diantara bangsa kita sendiri. jangan lupa sekali-kali Nak, bahwa tempatmu, nasibmu, pusakamu adalah di kepualuan ini”.

***
Aku ingin bersitirahat diantara bukit yang berombak-ombak dan dalam ketenangan. Hanya dalam keindahan dari tanah airku yang tercinta dan dalam keesederhanaan dimana aku berasal.

***
Tanpa rakyat aku tidak berarti apa-apa.

***
Kalau aku mati, kuburkanlah menurut agama Islam dan diatas batu kecil yang biasa sekali engkau tulislah kata-kata sederhana :

 “Di sini beristirahat Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia

***
(*) P.S. Aku = Sukarno

[1] Inggit Ganarsih (1888-1984) adalah istri Bung Karno yang tidak lain merupakan Ibu Kos-nya sendiri ketika masih menjadi mahasiswa di Bandung. Dengan Bu Inggit, Bung Karno tidak memiliki anak kandung tetapi mengangkat dua orang anak, yaitu Ratna Djuami dan Kartika (Tempo, 2010:26).

No comments:

Post a Comment