03 October 2011

Neoliberalisme ; Agama Tunggal Pembangunan?

Oleh : Yanu Endar Prasetyo

Disadari atau tidak, Negara-negara di seluruh dunia hari ini secara berjamaah telah berbai’at pada agama tunggal pembangunan bernama Neoliberalisme. Ibarat kepercayaan dalam arti sebenarnya, paham Neoliberal ini juga memiliki Nabi-Nabi, firman-firman dan doktrin-doktrin yang menopang perkembangannya. Secara fundamental, Neoliberalisme adalah agama yang bertauhid atau meng-esa-kan pasar sebagai “tuhannya”. Dengan kata lain, aktivitas transaksi pasar adalah pemandu utama bagi segala aktivitas dan tindakan manusia. Dalam Neoliberalisme kita diajarkan bahwa kesejahteraan manusia hanya akan diperoleh jikalau kita menempatkan kebebasan dan keterampilan entrepreneurial individu dalam suatu kerangka kehidupan yang menjunjung tinggi kepemilikan individu, pasar bebas dan perdagangan bebas (Harvey, 2009:3). Negara dalam rumus Neoliberal memiliki tugas untuk menjaga agar kerangka tersebut bisa berjalan, misalnya dengan menegakkan hukum, menjaga pertahanan dan keamanan, serta menyediakan infrastruktur publik lainnya demi berjalannya ekonomi pasar. Namun, Negara sama sekali tidak boleh turut campur dalam wilayah pasar itu sendiri.

Secara historis, para Nabi Neoliberalisme ini lahir dalam dekade 1970-1980-an di berbagai penjuru dunia. Momen ini disebut juga sebagai kelahiran kembali paham liberal lama. Sebutlah Deng Xiaoping yang pada tahun 1978 telah berhasil meliberalisasikan sistem ekonomi komunis di China dan menggantinya dengan “Sosialisme Pasar” yang berjalan hingga hari ini. Kemudian Paul Volcker (Pemimpin Bank Sentral A.S) dan Ronald Reagan (Presiden A.S) yang pada tahun 1979-1980 telah meliberalisasi kebijakan moneter Bank Sentral A.S. Di tahun yang sama, Margareth Thatcher (P.M. Inggris) juga melakukan transformasi besar-besaran dalam kebijakan ekonomi dalam upaya mengatasi stagnansi ekonomi yang parah di Inggris pada waktu itu. Mereka itulah yang kemudian menata ulang sistem ekonomi dengan tujuan utama : membatasi kekuatan buruh, menderegulasi sektor industri, pertanian dan pertambangan, serta meliberalisasikan sektor keuangan ke seluruh dunia.
Secara doktrin pemikiran, Neoliberalisme juga memiliki gagasan yang sudah dianggap sebagai kebenaran mutlak oleh Negara-negara lainnya di seluruh dunia. Beberapa doktrin Neoliberal tersebut – belakangan mulai banyak dibantah dan diragukan oleh para ahli – antara lain : (1) Negara menjadi kaya dan makmur adalah karena mereka memiliki komitmen yang kuat terhadap pasar bebas (2) Neoliberalisme selalu bisa berjalan dengan baik (3) Globalisasi Neoliberal akan terus berjalan dan tidak dapat dihentikan (4) kapitalisme neoliberal seperti di Amerika adalah sistem ideal yang harus ditiru semua Negara berkembang (5) Neoliberalisme model Amerika-Eropa itu bersifat universal (6) Negara berkembang membutuhkan aturan main dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga internasional maupun lokal yang independen secara politik. Di luar doktrin itu juga selalu disertai dengan isu-isu tentang privatisasi, swastanisasi, hak cipta, dan lain sebagainya (Chang & Grabel, 2008:3-46).
Neoliberalisme semakin teguh menjadi agama tunggal pembangunan dunia tatkala dalam perkembangannya ia juga menjadi pendukung utama perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Tidak dapat dipungkiri, para ilmuwan dan insinyur, secara sadar ataupun tidak, menjadi garda terdepan dari keberhasilan hegemoni Neoliberalisme ini. Sebab, dari kecanggihan teknologi ciptaan merekalah transaksi-transaksi pasar dapat diperpendek dan dipersingkat. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi bahkan telah berhasil melipat dan memadatkan dunia. Dengan demikian, aktivitas-aktivitas transaksional dalam domain pasar semakin meningkat, meluas, dan tanpa batas!
Globalisasi telah membuka jalan bagi keterisolasian dan bahkan telah meruntuhkan kekakuan-kekakuan hubungan sosial dan kebudayaan secara global dan mendasar. Lebih berbahaya dari itu, perebutan sumber daya alam menjadi tidak terelakkan lagi. Kompetisi bebas yang dituhankan oleh Neoliberalisme ternyata tidaklah ramah terhadap mereka kaum marjinal seperti petani miskin, masyarakat adat, kaum perempuan, buruh, dll. (Fakih, 2009:196). Sehingga adagium yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin terbukti nyata. Munculnya beragam gerakan radikal keagamaan, gerakan sosial baru dan globalisasi gerakan lingkungan disinyalir juga menjadi efek samping dan protes terhadap formula Neoliberalisme selama ini.
Lalu, apakah kita masih meyakini bahwwa Neoliberalisme merupakan satu-satunya agama bagi pembangunan kita? Bukankah sudah terdengar banyak suara-suara miring tentang Neoliberalisme ini, dimana ia dituding malah memperdalam kemiskinan, memperlebar ketimpangan, dan memperluas kesengsaraan umat manusia? Apa dan bagaimana tantangan masa depan neoliberalisme ini? Nampaknya kita harus belajar banyak dari fakta pembangunan Neoliberal di China khususnya dan Negara-negara lainnya agar semakin paham konsekuensi kita menganut agama ini.
Belajar dari Neoliberalisme ala China
Apakah Anda pernah mengenal atau menggunakan produk teknologi bermerk Huawei? Jika pernah, maka dari sanalah kita akan memulai sebuah perjalanan “dakwah” agama Neoliberal ini di negeri Tirai Bambu. Bagi yang belum tahu, Huawei adalah sebuah contoh perusahaan peralatan komunikasi milik pribumi China yang pertama kali berhasil masuk ke pasar internasional. Sejak tahun 1990-an, Huawei melakukan investasi besar-besaran untuk membangun jaringan bisnis mereka di Asia, Timur Tengah dan Rusia. Dan hari ini, Huawei mampu menjual produk-produknya di 40 negara dan dengan harga sepertiga dari pesaing-pesaingnya! (Harvey, 2009:226). Bagaimana mungkin, negara yang kita ingat sebagai komunis tulen ini mampu menjadi pemain yang diperhitungkan di pasar dunia? Apa dan bagaimana China berubah, tidak lain adalah akibat dari resep bernama : neoliberalisme (dengan sentuhan khas yang berbeda dengan Amerika dan Eropa tentunya).
            Berawal dari reformasi ekonomi yang digulirkan oleh Deng Xiaoping pasca kematian Mao pada tahun 1976. Buah dari reformasi ini adalah terbangunnya ekonomi pasar yang berisi setengah elemen neoliberal dan setengahnya lagi berupa pemerintahan yang otoritarian-sentralistik. Dengan slogan “xiaokung[1] Deng menggulirkan program modernisasi pada empat bidang : pertanian, industri, pendidikan dan sains-pertahanan. Mekanisme penentuan harga oleh pasar diberlakukan bersamaan dengan diterapkannya devolusi atau pemberian otonomi ekonomi-politik kepada pemerintah daerah dan lokal. Eksperimen ini semula hanya dilakukan terbatas di daerah yang jauh dari Beijing (seperti di Guangdong yang dekat dengan Hong Kong) . Namun karena dinilai berhasil akhirnya kebijakan ini diperluas ke seluruh China pada tahun 1992.
            Pembukaan pintu isolasi China ini semula ditujukan agar terjadi alih teknologi (melalui joint ventura antara modal asing dan pribumi) serta untuk mendapatkan cukup devisa sehingga mampu membeli alat-alat yang dibutuhkan untuk menggerakkan roda ekonomi. Namun China tetap berbeda dengan negara berkembang lainnya. Ia tidak mau mengadopsi saran-saran yang dipaksakan oleh IMF, World Bank dan Konsensus Washington yang diterapkan di Rusia dan Eropa Timur ketika terjadi krisis. Hasilnya, China berhasil selamat dari malapetaka ekonomi yang melanda negara-negara tersebut. China berjalan dengan caranya sendiri yang disebut sebagai : Sosialisme dengan ciri khas China. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi di China meningkat dengan spektakuler dengan rata-rata 10% pertahun. Di pihak lain, secara politik China tetap dikuasai oleh rezim partai komunis yang selalu berusaha mencegah menguatnya kelas-kelas kapitalis. Negara telah memanfaatkan ketergantungan kelas kapitalis terhadap investasi asing sebagai cara untuk mengontrol kekuatan kelas kapitalis agar tetap berada di pinggiran. Jadi, bagi China, pembangunan ekonomi lebih dilihat sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu (seperti menghimpun kekayaan dan peningkatan kapasitas teknologi), bukan sebagai tujuan itu sendiri.
            Namun, reformasi ekonomi diatas tentu tidak berjalan dengan mulus. Ia bahkan menimbulkan problem-problem serius seperti degradasi lingkungan, kesenjangan sosial, dan ancaman terbangunnya kembali kekuatan kelas kapitalis. Protes-protes buruh mulai muncul sejak tahun 1986 dan puncaknya terjadi pada tahun 1989 dalam peristiwa pembantaian mahasiswa di Lapangan Tiananmen oleh militer. Fase ini menunjukkan bahwa proses neoliberalisasi ekonomi di China masih diimbangi oleh represi politik dan pembunuhan atas HAM dan demokrasi. China terbuka terhadap pasar dan modal asing, tetapi tetap dalam pengawasan negara (partai komunis) yang ketat.
            Akan tetapi, nampaknya rezim penguasa tidak mampu terlalu lama mengontrol pertumbuhan dan keterbukaan pasar itu sendiri. Pada tahun 1995, pemerintah China justru membuka seluruh wilayah negeri itu untuk investasi langsung asing dalam bentuk apapun. Dengan kebijakan baru “pembangunan industrialisasi berbasis ekspor” China berambisi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Jika pada masa awal reformasi BUMN menjadi tulang punggung pembangunan dan menjadi penyedia jaminan dan perlindungan sosial (dikenal dengan istilah iron rice bowl), maka pada masa ini mereka diperbolehkan merekrut tenaga kerja kontrak (outsourcing) tanpa jaminan dan perlindungan sosial. Inilah permulaan program korporatisasi yang lebih jauh di China. Akibatnya, tercipat gelombang pengangguran yang besar. Upaya menyerap tenaga kerja melalui proyek-proyek dari investasi asing pun tidak lagi mencukupi. Akhirnya, untuk mengatasi masalah tersebut, pada tahun 1998 China mulai secara ambisius mendanai megaproyek-megaproyek infrastruktur fisik (gedung-gedung, jembatan, jalan tol, bandara, kereta listri dsbnya) melalui hutang. Bank-bank dan lembaga keuangan bahkan secara serampangan mendanai pembangunan properti besar-besaran di China.
            Lalu apa yang terjadi kemudian? Terjadilah apa yang dikenal sebagai “gelembung ekonomi shanghai” (Sanghai Bubble). Terdapat 13,5 juta kaki persegi gedung perkantoran, seratus hotel berbintang lima, ribuan gedung pencakar langit dan tumbuhnya pasar real estate yang jauh lebih besar dari New York. Korporasi-korporasi besar pun mulai mengalihkan sejumlah besar aktivitas riset dan pengembangan mereka ke China. Microsoft, Oracle, Motorola, Siemens, IBM dan Intel membangun laboratorium risetnya di China. Mereka memiliki dua alasan kuat, yaitu makin modernnya China sebagai pasar teknologi dan banyaknya cadangan tenaga kerja berpendidikan yang murah. Dari sinilah, kemudian Huawei (di Shenzen) dan perusahaan-perusahan China lainnya tumbuh dan menjadi pemain penting di pasar perdagangan dunia.
            Di sisi lain, pertumbuhan drastis ekonomi China ini membuatnya semakin tergantung pada sumber energi dan bahan mentah dari luar negeri. Pada tahun 2003, China membeli 30% produksi batu bara dunia, 36% baja dunia dan 55% semen dunia (Harvey, 2009:234). China yang relatif mandiri pada tahun 1990an, kini menjadi importir minyak terbesar kedua setelah Amerika. China pun harus bersitegang dengan Amerika untuk berebut minyak di Timur Tengah dan dengan Jepang di Rusia. Mengapa China masih mampu bertahan, meskipun dalam pembiayaan defisit pembangunan pun Bank-Bank mereka mengalami masalah? Ada beberapa hal pokok yang membedakan China dengan negara-negara lainnya dan menyimpang dari teori neoliberal yang ada : (1) Surplus neraca pembayaran China sangat besar sehingga mampu menutup utang-utang bermasalah mereka (2) surplus tenaga kerja yang masif. Pemerintah China hanya punya dua cara untuk mengatasinya : menyerapnya atau menindas mereka. China memilih yang pertama dengan melakukan investasi mega proyek pembangunan fisiknya (3) China masih melanggar sebagian aturan global yang dibuat oleh IMF dan WTO, yaitu terus melakukan kontrol atas arus kapital mereka (model negara Keynesian). Meskipun, kontrol tersebut akan semakin sulit dilakukan ketika Yuan China mulai memasuki arus ekonomi global via Hong Kong dan Taiwan.
             Akan tetapi, masalah besar lainnya juga menghadang China, yaitu kesenjangan struktural yang terus berubah menjadi ketimpangan pendapatan antar kelas, antar strata sosial, antar daerah dan polarisasi sosial yang tercipta dengan cepat. China telah berubah dari masyarakat paling miskin dan egaliter, menjadi masyarakat paling timpang dalam dua puluh tahun terakhir. Kesenjangan antara desa dan kota semakin dalam dan tajam, dimana kota-kota di pantai Selatan melaju pesat, sementara kota-kota di daerah pedalaman terpuruk ekonominya. Pada tahun 2000 saja, terdapat 270 juta buruh di China, ditambah dengan 70 juta petani yang pindah ke kota dan beralih menjadi buruh upahan. Terjadi proses proletarisasi besar-besaran di China sebagai akibat privatisasi dan pencairan pasar tenaga kerja. Pemerintah bahkan memangkas tunjangan pelayanan publik, sehingga tidak terjadi subsidi dari daerah-daerah kaya kepada desa-desa yang miskin. Hilangnya hak-hak kepemilikan atas tanah juga mengiringi pembangunan real estate dan mega proyek lainnya. Akumulasi dan konsentrasi kapital pun semakin kentara ditambah dengan gejala konsumsi tinggi dan glamor oleh kelas-kelas kaya. Bahkan, kondisi buruh di China hari ini lebih memprihatinkan dari kondisi awal revolusi Industri yang pernah digambarkan oleh Karl Marx, yaitu tidak ada kewajiban pembayaran atas upah dan pensiun!
            Apa yang sedang melanda China hari ini bukan tidak mungkin akan kita alami, dengan cara yang berbeda namun dengan dampak yang mungkin serupa. Partai penguasa di China telah secara sengaja membiarkan perusahaan-perusahaan kapitalis terbentuk dan beroperasi secara bebas. Memang, pertumbuhan ekonomi dapat tercapai, akan tetapi terjadi pula pengumpulan kekayaan di lapisan atas masyarakat secara besar-besaran. Transformasi ekonomi politik di China hari ini dapat digambarkan sebagai kondisi dimana “Partai Komunis dan Kelas Kapitalis yang berdarah dingin bahu-membahu dan bergandengan tangan berjuang melawan kaum buruh”. .. (bersambung
Bacaan Pengantar Lebih Lanjut :

Chang, Ha-Joon & Ilene Grabel. 2008. Membongkar Mitos Neolib : Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan. Yogyakarta : Insist Press
Harvey, David. 2009. Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis. Yogyakarta : Resist Book
Fakih, Mansour. 2008. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta : Insist Press



[1] Konsep tentang masyarakat ideal yang menyediakan kemakmuran bagi seluruh warganya

2 comments: