Oleh : Yanu Endar Prasetyo
Disadari atau tidak, Negara-negara di seluruh dunia
hari ini secara berjamaah telah berbai’at
pada agama tunggal pembangunan bernama Neoliberalisme. Ibarat kepercayaan dalam
arti sebenarnya, paham Neoliberal ini juga memiliki Nabi-Nabi, firman-firman
dan doktrin-doktrin yang menopang perkembangannya. Secara fundamental,
Neoliberalisme adalah agama yang bertauhid atau meng-esa-kan pasar sebagai
“tuhannya”. Dengan kata lain, aktivitas transaksi pasar adalah pemandu utama
bagi segala aktivitas dan tindakan manusia. Dalam Neoliberalisme kita diajarkan
bahwa kesejahteraan manusia hanya akan diperoleh jikalau kita menempatkan
kebebasan dan keterampilan entrepreneurial individu dalam suatu kerangka
kehidupan yang menjunjung tinggi kepemilikan individu, pasar bebas dan
perdagangan bebas (Harvey, 2009:3). Negara dalam rumus Neoliberal memiliki tugas
untuk menjaga agar kerangka tersebut bisa berjalan, misalnya dengan menegakkan
hukum, menjaga pertahanan dan keamanan, serta menyediakan
infrastruktur publik lainnya demi berjalannya ekonomi pasar. Namun, Negara sama
sekali tidak boleh turut campur dalam wilayah pasar itu sendiri.
Secara historis, para Nabi Neoliberalisme ini lahir
dalam dekade 1970-1980-an di berbagai penjuru dunia. Momen ini disebut juga
sebagai kelahiran kembali paham liberal lama. Sebutlah Deng
Xiaoping yang pada tahun 1978 telah berhasil meliberalisasikan sistem
ekonomi komunis di China dan menggantinya dengan “Sosialisme Pasar” yang
berjalan hingga hari ini. Kemudian Paul
Volcker (Pemimpin Bank Sentral A.S) dan Ronald Reagan (Presiden A.S) yang pada tahun 1979-1980 telah
meliberalisasi kebijakan moneter Bank Sentral A.S. Di tahun yang sama, Margareth Thatcher (P.M. Inggris) juga
melakukan transformasi besar-besaran dalam kebijakan ekonomi dalam upaya
mengatasi stagnansi ekonomi yang parah di Inggris pada waktu itu. Mereka itulah
yang kemudian menata ulang sistem ekonomi dengan tujuan utama : membatasi kekuatan buruh, menderegulasi
sektor industri, pertanian dan pertambangan, serta meliberalisasikan sektor
keuangan ke seluruh dunia.
Secara doktrin pemikiran, Neoliberalisme juga
memiliki gagasan yang sudah dianggap sebagai kebenaran mutlak oleh
Negara-negara lainnya di seluruh dunia. Beberapa doktrin Neoliberal tersebut –
belakangan mulai banyak dibantah dan diragukan oleh para ahli – antara lain :
(1) Negara menjadi kaya dan makmur adalah karena mereka memiliki komitmen yang
kuat terhadap pasar bebas (2) Neoliberalisme selalu bisa berjalan dengan baik
(3) Globalisasi Neoliberal akan terus berjalan dan tidak dapat dihentikan (4)
kapitalisme neoliberal seperti di Amerika adalah sistem ideal yang harus ditiru
semua Negara berkembang (5) Neoliberalisme model Amerika-Eropa itu bersifat
universal (6) Negara berkembang membutuhkan aturan main dan kebijakan yang
dibuat oleh lembaga internasional maupun lokal yang independen secara politik.
Di luar doktrin itu juga selalu disertai dengan isu-isu tentang privatisasi,
swastanisasi, hak cipta, dan lain sebagainya (Chang & Grabel, 2008:3-46).
Neoliberalisme semakin teguh menjadi agama tunggal
pembangunan dunia tatkala dalam perkembangannya ia juga menjadi pendukung utama
perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Tidak dapat dipungkiri, para
ilmuwan dan insinyur, secara sadar ataupun tidak, menjadi garda terdepan dari
keberhasilan hegemoni Neoliberalisme ini. Sebab, dari kecanggihan teknologi
ciptaan merekalah transaksi-transaksi pasar dapat diperpendek dan dipersingkat.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi bahkan telah berhasil melipat dan
memadatkan dunia. Dengan demikian, aktivitas-aktivitas transaksional dalam
domain pasar semakin meningkat, meluas, dan tanpa batas!
Globalisasi telah membuka jalan bagi keterisolasian
dan bahkan telah meruntuhkan kekakuan-kekakuan hubungan sosial dan kebudayaan
secara global dan mendasar. Lebih berbahaya dari itu, perebutan sumber daya
alam menjadi tidak terelakkan lagi. Kompetisi bebas yang dituhankan oleh
Neoliberalisme ternyata tidaklah ramah terhadap mereka kaum marjinal seperti petani
miskin, masyarakat adat, kaum perempuan, buruh, dll. (Fakih, 2009:196). Sehingga
adagium yang kaya makin kaya dan yang
miskin makin miskin terbukti nyata. Munculnya beragam gerakan radikal
keagamaan, gerakan sosial baru dan globalisasi gerakan lingkungan disinyalir
juga menjadi efek samping dan protes terhadap formula
Neoliberalisme selama
ini.
Lalu, apakah kita masih meyakini bahwwa
Neoliberalisme merupakan satu-satunya agama bagi pembangunan kita? Bukankah
sudah terdengar banyak suara-suara miring tentang Neoliberalisme ini, dimana ia
dituding malah memperdalam kemiskinan, memperlebar ketimpangan, dan memperluas
kesengsaraan umat manusia? Apa dan bagaimana tantangan masa depan
neoliberalisme ini? Nampaknya kita harus belajar banyak dari fakta pembangunan
Neoliberal di China khususnya dan Negara-negara lainnya agar semakin paham
konsekuensi kita menganut agama ini.
Belajar dari
Neoliberalisme ala China
Apakah Anda pernah mengenal
atau menggunakan produk teknologi bermerk Huawei?
Jika pernah, maka dari sanalah kita akan memulai sebuah perjalanan “dakwah”
agama Neoliberal ini di negeri Tirai Bambu. Bagi yang belum tahu, Huawei adalah
sebuah contoh perusahaan peralatan komunikasi milik pribumi China yang pertama
kali berhasil masuk ke pasar internasional. Sejak tahun 1990-an, Huawei
melakukan investasi besar-besaran untuk membangun jaringan bisnis mereka di
Asia, Timur Tengah dan Rusia. Dan hari ini, Huawei mampu menjual
produk-produknya di 40 negara dan dengan harga sepertiga dari
pesaing-pesaingnya! (Harvey, 2009:226). Bagaimana mungkin, negara yang kita
ingat sebagai komunis tulen ini mampu menjadi pemain yang diperhitungkan di
pasar dunia? Apa dan bagaimana China berubah, tidak lain adalah akibat dari
resep bernama : neoliberalisme (dengan sentuhan khas yang berbeda dengan
Amerika dan Eropa tentunya).
Berawal
dari reformasi ekonomi yang digulirkan oleh Deng Xiaoping pasca kematian Mao
pada tahun 1976. Buah dari reformasi ini adalah terbangunnya ekonomi pasar yang
berisi setengah elemen neoliberal dan setengahnya lagi berupa pemerintahan yang
otoritarian-sentralistik. Dengan slogan “xiaokung”[1] Deng
menggulirkan program modernisasi pada empat bidang : pertanian, industri,
pendidikan dan sains-pertahanan. Mekanisme penentuan harga oleh pasar
diberlakukan bersamaan dengan diterapkannya devolusi atau pemberian otonomi
ekonomi-politik kepada pemerintah daerah dan lokal. Eksperimen ini semula hanya
dilakukan terbatas di daerah yang jauh dari Beijing (seperti di Guangdong yang
dekat dengan Hong Kong) . Namun karena dinilai berhasil akhirnya kebijakan ini
diperluas ke seluruh China pada tahun 1992.
Pembukaan
pintu isolasi China ini semula ditujukan agar terjadi alih teknologi (melalui joint ventura antara modal asing dan
pribumi) serta untuk mendapatkan cukup devisa sehingga mampu membeli alat-alat
yang dibutuhkan untuk menggerakkan roda ekonomi. Namun China tetap berbeda
dengan negara berkembang lainnya. Ia tidak mau mengadopsi saran-saran yang
dipaksakan oleh IMF, World Bank dan Konsensus Washington yang diterapkan di
Rusia dan Eropa Timur ketika terjadi krisis. Hasilnya, China berhasil selamat
dari malapetaka ekonomi yang melanda negara-negara tersebut. China berjalan
dengan caranya sendiri yang disebut sebagai : Sosialisme dengan ciri khas
China. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi di China meningkat dengan spektakuler
dengan rata-rata 10% pertahun. Di pihak lain, secara politik China tetap
dikuasai oleh rezim partai komunis yang selalu berusaha mencegah menguatnya
kelas-kelas kapitalis. Negara telah memanfaatkan ketergantungan kelas kapitalis
terhadap investasi asing sebagai cara untuk mengontrol kekuatan kelas kapitalis
agar tetap berada di pinggiran. Jadi, bagi China, pembangunan ekonomi lebih
dilihat sebagai alat untuk mencapai
tujuan tertentu (seperti menghimpun kekayaan dan peningkatan kapasitas
teknologi), bukan sebagai tujuan itu sendiri.
Namun,
reformasi ekonomi diatas tentu tidak berjalan dengan mulus. Ia bahkan
menimbulkan problem-problem serius seperti degradasi lingkungan, kesenjangan
sosial, dan ancaman terbangunnya kembali kekuatan kelas kapitalis.
Protes-protes buruh mulai muncul sejak tahun 1986 dan puncaknya terjadi pada
tahun 1989 dalam peristiwa pembantaian mahasiswa di Lapangan Tiananmen oleh
militer. Fase ini menunjukkan bahwa proses neoliberalisasi ekonomi di China
masih diimbangi oleh represi politik dan pembunuhan atas HAM dan demokrasi.
China terbuka terhadap pasar dan modal asing, tetapi tetap dalam pengawasan
negara (partai komunis) yang ketat.
Akan
tetapi, nampaknya rezim penguasa tidak mampu terlalu lama mengontrol
pertumbuhan dan keterbukaan pasar itu sendiri. Pada tahun 1995, pemerintah
China justru membuka seluruh wilayah negeri itu untuk investasi langsung asing
dalam bentuk apapun. Dengan kebijakan baru “pembangunan industrialisasi
berbasis ekspor” China berambisi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Jika pada
masa awal reformasi BUMN menjadi tulang punggung pembangunan dan menjadi
penyedia jaminan dan perlindungan sosial (dikenal dengan istilah iron rice bowl), maka pada masa ini
mereka diperbolehkan merekrut tenaga kerja kontrak (outsourcing) tanpa jaminan dan perlindungan sosial. Inilah
permulaan program korporatisasi yang lebih jauh di China. Akibatnya, tercipat
gelombang pengangguran yang besar. Upaya menyerap tenaga kerja melalui
proyek-proyek dari investasi asing pun tidak lagi mencukupi. Akhirnya, untuk
mengatasi masalah tersebut, pada tahun 1998 China mulai secara ambisius
mendanai megaproyek-megaproyek infrastruktur fisik (gedung-gedung, jembatan,
jalan tol, bandara, kereta listri dsbnya) melalui hutang. Bank-bank dan lembaga
keuangan bahkan secara serampangan mendanai pembangunan properti besar-besaran
di China.
Lalu
apa yang terjadi kemudian? Terjadilah apa yang dikenal sebagai “gelembung
ekonomi shanghai” (Sanghai Bubble).
Terdapat 13,5 juta kaki persegi gedung perkantoran, seratus hotel berbintang
lima, ribuan gedung pencakar langit dan tumbuhnya pasar real estate yang jauh
lebih besar dari New York. Korporasi-korporasi besar pun mulai mengalihkan
sejumlah besar aktivitas riset dan pengembangan mereka ke China. Microsoft,
Oracle, Motorola, Siemens, IBM dan Intel membangun laboratorium risetnya di
China. Mereka memiliki dua alasan kuat, yaitu makin modernnya China sebagai
pasar teknologi dan banyaknya cadangan tenaga kerja berpendidikan yang murah.
Dari sinilah, kemudian Huawei (di Shenzen) dan perusahaan-perusahan China
lainnya tumbuh dan menjadi pemain penting di pasar perdagangan dunia.
Di
sisi lain, pertumbuhan drastis ekonomi China ini membuatnya semakin tergantung
pada sumber energi dan bahan mentah dari luar negeri. Pada tahun 2003, China
membeli 30% produksi batu bara dunia, 36% baja dunia dan 55% semen dunia
(Harvey, 2009:234). China yang relatif mandiri pada tahun 1990an, kini menjadi
importir minyak terbesar kedua setelah Amerika. China pun harus bersitegang
dengan Amerika untuk berebut minyak di Timur Tengah dan dengan Jepang di Rusia.
Mengapa China masih mampu bertahan, meskipun dalam pembiayaan defisit
pembangunan pun Bank-Bank mereka mengalami masalah? Ada beberapa hal pokok yang
membedakan China dengan negara-negara lainnya dan menyimpang dari teori
neoliberal yang ada : (1) Surplus neraca pembayaran China sangat besar sehingga
mampu menutup utang-utang bermasalah mereka (2) surplus tenaga kerja yang
masif. Pemerintah China hanya punya dua cara untuk mengatasinya : menyerapnya
atau menindas mereka. China memilih yang pertama dengan melakukan investasi
mega proyek pembangunan fisiknya (3) China masih melanggar sebagian aturan
global yang dibuat oleh IMF dan WTO, yaitu terus melakukan kontrol atas arus
kapital mereka (model negara Keynesian).
Meskipun, kontrol tersebut akan semakin sulit dilakukan ketika Yuan China mulai
memasuki arus ekonomi global via Hong Kong dan Taiwan.
Akan tetapi, masalah besar lainnya juga
menghadang China, yaitu kesenjangan struktural yang terus berubah menjadi
ketimpangan pendapatan antar kelas, antar strata sosial, antar daerah dan
polarisasi sosial yang tercipta dengan cepat. China telah berubah dari
masyarakat paling miskin dan egaliter, menjadi masyarakat paling timpang dalam
dua puluh tahun terakhir. Kesenjangan antara desa dan kota semakin dalam dan
tajam, dimana kota-kota di pantai Selatan melaju pesat, sementara kota-kota di
daerah pedalaman terpuruk ekonominya. Pada tahun 2000 saja, terdapat 270 juta
buruh di China, ditambah dengan 70 juta petani yang pindah ke kota dan beralih
menjadi buruh upahan. Terjadi proses proletarisasi besar-besaran di China
sebagai akibat privatisasi dan pencairan pasar tenaga kerja. Pemerintah bahkan
memangkas tunjangan pelayanan publik, sehingga tidak terjadi subsidi dari
daerah-daerah kaya kepada desa-desa yang miskin. Hilangnya hak-hak kepemilikan
atas tanah juga mengiringi pembangunan real estate dan mega proyek lainnya.
Akumulasi dan konsentrasi kapital pun semakin kentara ditambah dengan gejala
konsumsi tinggi dan glamor oleh kelas-kelas kaya. Bahkan, kondisi buruh di
China hari ini lebih memprihatinkan dari kondisi awal revolusi Industri yang
pernah digambarkan oleh Karl Marx, yaitu tidak ada kewajiban pembayaran atas
upah dan pensiun!
Apa
yang sedang melanda China hari ini bukan tidak mungkin akan kita alami, dengan
cara yang berbeda namun dengan dampak yang mungkin serupa. Partai penguasa di
China telah secara sengaja membiarkan perusahaan-perusahaan kapitalis terbentuk
dan beroperasi secara bebas. Memang, pertumbuhan ekonomi dapat tercapai, akan
tetapi terjadi pula pengumpulan kekayaan di lapisan atas masyarakat secara
besar-besaran. Transformasi ekonomi politik di China hari ini dapat digambarkan
sebagai kondisi dimana “Partai Komunis
dan Kelas Kapitalis yang berdarah dingin bahu-membahu dan bergandengan tangan
berjuang melawan kaum buruh”. .. (bersambung)
Bacaan Pengantar Lebih Lanjut :
Chang,
Ha-Joon & Ilene Grabel. 2008. Membongkar Mitos Neolib : Upaya Merebut
Kembali Makna Pembangunan. Yogyakarta : Insist Press
Harvey,
David. 2009. Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis. Yogyakarta : Resist
Book
Fakih,
Mansour. 2008. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta : Insist
Press
Mantap...
ReplyDeletehttp://087828150515.blogspot.com/2011/08/tukeran-link.html
ReplyDelete