04 October 2011

Neoliberalisme : Penjarahan Kelas Elit !


Oleh : Yanu Endar Prasetyo

“Di alam Neoliberalisasi, buruh yang mudah dipecat (disposable labour) merupakan figur  utamanya”
(Harvey, 2009:285)

“Neoliberalisme menginginkan peran negara dibatasi dalam pasar. Akan tetapi, sesungguhnya negara itulah sebagai pusat dari sistem kapitalis modern ini, karena dialah yang dengan murah hati mengeluarkan kebijakan yang selalu menguntungkan korporasi besar”
(Noam Chomsky)


Sebagai sebuah praktek pembangunan, Neoliberalisasi memang memberikan dampak keberhasilan yang sangat besar, khususnya bagi lapisan atas atau kelas elit. Bagaimana tidak, Neoliberalisasi ini telah berhasil memberi ruang bagi terbangunnya kembali kelas-kelas kapitalis baru. Lihatlah Neoliberalisasi yang berlangsung di China, bagaimana kesenjangan antara kelas elit (partai penguasa dan korporasi) dengan kelas buruh justru semakin mencolok. Tengoklah – bahkan di Indonesia sendiri – bagaimana industri media dimonopoli oleh segelintir orang atau korporasi super kaya, sehingga memungkinkan mereka untuk menyebarluaskan agenda-agenda tersembunyi dari kelas elit tersebut. Pesatnya pertumbuhan sektor keuangan dan jasa keuangan seringkali digembar-gemborkan sebagai kesuksesan Neoliberalisme. Bisa kita lihat, kota-kota yang menjadi pusat keuangan dan komando bisnis global (Manhattan, Tokyo, London, Paris, Frankfurt, Hong Kong, Shanghai, dll) telah menjadi daerah yang berlimpah kekayaan dan teramat megah dengan ribuan gedung pencakar langitnya. Di lantai gedung-gedung megah inilah berlangsung perdagangan antar lantai yang menghasilkan kekayaan fiktif nan berlimpah. Sebuah bisnis spekulatif telah berkembang pesat. Namun, siapa yang menikmati semua keberhasilan itu?
            Apakah pertumbuhan yang diagung-agungkan oleh penganut Neoliberalisme itu memang sebuah pertumbuhan yang nyata dan merata, atau hanya sebuah kamuflase dari fakta bahwa makin besarnya kekayaan yang tersedot ke kantong-kantong kelas elit? Disinilah kita perlu mempertanyakan keabsahan dari Neoliberalisme sebagai satu-satunya “agama” pembangunan global. Kita akan melihat bagaimana neoliberalisasi ini ternyata bekerja melalui mekanisme-mekanisme yang disebut sebagai “akumulasi melalui penjarahan” (accumulation by dispossesion) (Harvey, 2005:159). Praktek-praktek penjarahan ini berlangsung dalam setidaknya dalam empat modus operandi, yaitu : (1) Privatisasi dan Komodifikasi, (2) Finansialisasi, (3) Manipulasi krisis, dan (4) Redistribusi oleh negara.

Privatisasi dan Komodifikasi[1]
Ciri utama dari sistem ekonomi neoliberal adalah maraknya korporatisasi, komodifikasi dan privatisasi segala macam aset-aset publik. Mereka tidak pandang bulu dan dengan serakahnya mencari laba dari setiap lini kebutuhan manusia, seperti air, telekomunikasi, transportasi, juga yang seharusnya menjadi bagian dari tunjangan kesejahteraan sosial seperti perumahan, pendidikan, pelayanan kesehatan, dana pensiun, dan bahkan lembaga-lembaga publik seperti universitas, laboratorium riset, dan penjara pun diprivatisasi. Di sektor pangan dan pertanian kita melihat bagaimana benih, plasma, dan zat-zat genetik tertentu dimonopoli segelintir perusahaan multinasional melalui sistem hak paten. Penjarahan sumber daya genetika dunia pun merajalela demi keuntungan korporasi elit belaka.
Lebih parah dari itu, komodifikasi terhadap manusia, khususnya kaum perempuan juga berlangsung tanpa ampun. Fakta bahwa pekerja perempuan dari negara Dunia Ketiga hanya dipandang sebagai komoditas, bukan manusia, semakin hari semakin nyata. Kita melihat bagaimana fenomena buruh migran yang tidak memiliki perlindungan dan mengalami kekerasan dalam bekerja, perdagangan perempuan dalam dunia prostitusi, industri seks berkedok pariwisata, maraknya industri pronografi yang menjual setiap inchi tubuh perempuan merupakan contoh penghargaan Neoliberalisme terhadap kaum perempuan. Itu bagi kaum perempuan yang berada di lapisan bawah, mereka yang berada di lapisan ekonomi menengah dan atas dibutakan dengan budaya konsumerisme yang makin hari makin akut (Swastika, 2003:92-102). Komodifikasi bentuk-bentuk kebudayaan, sejarah, dan kreativitas intelektual telah mendorong berlangsungnya perpindahan tangan aset-aset milik publik dan masyarakat kepada dunia swasta dan kelas elit.

Finansialisasi
            Deregulasi telah membuat sistem keuangan menjadi salah satu pusat dari aktivitas redistributif berupa spekulasi, pencaplokan (predation), kecurangan (fraud) dan pembobolan keuangan (Harvey, 2009:271). Aksi-aksi stock promotion, ponzi schemes, penghancuran nilai aset secara terencana melalui inflasi, penjualan aset secara murah di bawah harga pasar melalui merger dan akuisisi, dinaikkannya tingkat suku bungan utang, pengharusan pembayaran utang dengan tenaga kerja (debt peonage), peningkatan frekuensi transaksi perdagangan untuk mengejar komisi oleh para pialang (churning) hingga pencaplokan dana pensiun sudah menjadi hal biasa dalam sistem keuangan neoliberal. Dipentingkannya nilai saham telah mendorong manipulasi di pasar dengan tujuan memperkaya sebagian kecil orang dengan mengorbankan orang banyak. Penjarahan yang keji ini oleh para penganutnya mereka sebut sebagai “penyebaran resiko” (spreading risks).

Manipulasi Krisis
Penciptaan, pengelolaan dan manipulasi krisis keuangan di level global telah menjadi seni tingkat tinggi dalam redistribusi secara terencana kekayaan dari negara-negara miskin kepada negara-negara kaya. Stiglitz menyebut ini sebagai “dunia yang aneh”, dimana negara-negara miskin malah mensubsidi negara kaya. Indikasi dari maraknya praktik manipulasi krisis ekonomi oleh lembaga seperti wall street, IMF hingga departemen keuangan Amerika adalah makin meningkatnya kasus krisis utang di negara-negara tertentu pada periode 1980-1990an. Padahal, kasus semacam ini amat jarang terjadi pada dekade 1960an. Bahkan, krisis Asia – yang juga menimpa Indonesia dan melahirkan Orde Reformasi – disebut-sebut sebagai “pengalihan besar-besaran aset-aset milik perusahaan dalam negeri ke tangan perusahaan asing”. Tentu kita masih ingat bagaiman BUMN-BUMN kita dengan gencar diprivatisasi pasca krisis moneter tersebut. PHK besar-besaran yang terjadi juga ditera sebagai taktik penciptaan secara sengaja situasi pengangguran. Dengan terjadinya pengangguran tersebut, maka surplus tenaga kerja itu dapat dimanfaatkan kembali oleh kelas elit perusahaan untuk mengakumulasi laba lebih besar lagi. Taktik culas ini telah menebarkan resiko konflik dan depresi sosial yang meluas. Akibatnya, negara dipaksa dan didorong melalui aparatus militernya untuk menjaga agar penjarahan itu tetap berlangsung aman tanpa terjadi gejolak sosial yang meruntuhkan negara. Meskipun demikian, tetap saja pemberontakan (seperti zapatista di meksiko, kerusuhan anti IMF dan gerakan anti-globalisasi) tetap tumbuh dimana-mana. Tribalisme dan fundamentalisme agama bahkan senantiasa mewarnai proses penjarahan-penjarahan kelas elit Neoliberal ini.

Redistribusi Oleh Negara

Sebagaimana dikemukakan oleh Chomsky diatas, bahwa ketika sebuah negara berhasil di-neoliberalisasikan, maka negara akan menjadi agen utama dari proses pengaliran kekayaan ke kantong-kantong orang kaya/kelas elit. Hal pertama yang akan dilakukan oleh Negara adalah : privatisasi dan pemangkasan pengeluaran negara untuk tunjangan sosial. Privatisasi tanah dan perumahan misalnya, pada awalnya seolah-olah menjadi berkah bagi banyak orang karena mereka telah naik status dari penyewa menjadi pemilik tanah/rumah. Namun ketika proses privatisasi tersebut selesai dilakukan, yang terjadi adalah gelombang spekulasi harga tanah/rumah. Akibatnya, orang-orang miskin yang tinggal di lokasi strategis atau di pusat kota, terpaksa/tergoda untuk menjual tanah/rumah mereka, tentu saja kepada para konglomerat atau korporasi untuk dijadikan pemukiman mewah, real estate, pusat perbelanjaan dsbnya. Begitu pula yang terjadi di pedesaan, bagaimana kepemilikan tanah tiba-tiba beralih secara drastis kepada orang-orang kaya dari kota. Orang miskin dan petani tersingkir serta tergusur akibat kebijakan privatisasi tersebut. Inilah yang terjadi di Inggris pada era Thatcher, di Meksiko dan di China. Kelonggaran dan penurunan pajak bagi korporasi juga menjadi hal yang lumrah, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, dimana pajak korporasi semakin lama semakin rendah (Bersambung)


Bacaan Pengantar Lebih Lanjut :

Chomsky, Noam. 2005. Memeras Rakyat : Neoliberalisme dan Tatanan Global. Jakarta : Penerbit Profetik
Harvey, David. 2005. A Brief History of Neoliberalism. New York : Oxford University Press
Harvey, David. 2009. Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis. Yogyakarta : Resist Book
Swastika, Alia. 2003. Komodifikasi Perempuan : Tapak Ekonomi Neoliberal. Yogyakarta : Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Vol 7, No 1 (89-112)



[1] Komodifikasi mengandaikan bahwa ada harga untuk semua hal sehingga semuanya bisa diperjualbelikan dan dibuat kontrak legal untuk memilikinya (hak/kepemilikan)

1 comment:

  1. Neoliberalisme mencengkeram Negara Inondesia...
    Terimakasih Mas atas masukanya...!!
    Insa Allah kapan2 maen k rumah sama Akel..

    ReplyDelete