Oleh : Yanu
Endar Prasetyo
“Di alam Neoliberalisasi, buruh yang mudah dipecat
(disposable labour) merupakan figur utamanya”
(Harvey, 2009:285)
“Neoliberalisme menginginkan peran negara dibatasi
dalam pasar. Akan tetapi, sesungguhnya negara itulah sebagai pusat dari sistem
kapitalis modern ini, karena dialah yang dengan murah hati mengeluarkan
kebijakan yang selalu menguntungkan korporasi besar”
(Noam Chomsky)
Sebagai sebuah praktek pembangunan, Neoliberalisasi memang memberikan
dampak keberhasilan yang sangat besar, khususnya bagi lapisan atas atau kelas
elit. Bagaimana tidak, Neoliberalisasi ini telah berhasil memberi ruang bagi
terbangunnya kembali kelas-kelas kapitalis baru. Lihatlah Neoliberalisasi yang
berlangsung di China, bagaimana kesenjangan antara kelas elit (partai penguasa
dan korporasi) dengan kelas buruh justru semakin mencolok. Tengoklah – bahkan
di Indonesia sendiri – bagaimana industri media dimonopoli oleh segelintir
orang atau korporasi super kaya, sehingga memungkinkan mereka untuk
menyebarluaskan agenda-agenda tersembunyi dari kelas elit tersebut. Pesatnya
pertumbuhan sektor keuangan dan jasa keuangan seringkali digembar-gemborkan
sebagai kesuksesan Neoliberalisme. Bisa kita lihat, kota-kota yang menjadi
pusat keuangan dan komando bisnis global (Manhattan, Tokyo, London, Paris,
Frankfurt, Hong Kong, Shanghai, dll) telah menjadi daerah yang berlimpah
kekayaan dan teramat megah dengan ribuan gedung pencakar langitnya. Di lantai
gedung-gedung megah inilah berlangsung perdagangan antar lantai yang
menghasilkan kekayaan fiktif nan berlimpah. Sebuah bisnis spekulatif telah
berkembang pesat. Namun, siapa yang menikmati semua keberhasilan itu?
Apakah pertumbuhan yang
diagung-agungkan oleh penganut Neoliberalisme itu memang sebuah pertumbuhan
yang nyata dan merata, atau hanya sebuah kamuflase dari fakta bahwa makin
besarnya kekayaan yang tersedot ke kantong-kantong kelas elit? Disinilah kita
perlu mempertanyakan keabsahan dari Neoliberalisme sebagai satu-satunya “agama”
pembangunan global. Kita akan melihat bagaimana neoliberalisasi ini ternyata
bekerja melalui mekanisme-mekanisme yang disebut sebagai “akumulasi melalui
penjarahan” (accumulation by dispossesion)
(Harvey, 2005:159). Praktek-praktek penjarahan ini berlangsung dalam setidaknya
dalam empat modus operandi, yaitu : (1) Privatisasi dan Komodifikasi, (2)
Finansialisasi, (3) Manipulasi krisis, dan (4) Redistribusi oleh negara.
Privatisasi dan Komodifikasi[1]
Ciri utama dari sistem ekonomi neoliberal adalah maraknya korporatisasi,
komodifikasi dan privatisasi segala macam aset-aset publik. Mereka tidak
pandang bulu dan dengan serakahnya mencari laba dari setiap lini kebutuhan
manusia, seperti air, telekomunikasi, transportasi, juga yang seharusnya menjadi
bagian dari tunjangan kesejahteraan sosial seperti perumahan, pendidikan,
pelayanan kesehatan, dana pensiun, dan bahkan lembaga-lembaga publik seperti
universitas, laboratorium riset, dan penjara pun diprivatisasi. Di sektor
pangan dan pertanian kita melihat bagaimana benih, plasma, dan zat-zat genetik
tertentu dimonopoli segelintir perusahaan multinasional melalui sistem hak
paten. Penjarahan sumber daya genetika dunia pun merajalela demi keuntungan
korporasi elit belaka.
Lebih parah dari itu, komodifikasi terhadap manusia, khususnya kaum
perempuan juga berlangsung tanpa ampun. Fakta bahwa pekerja perempuan dari
negara Dunia Ketiga hanya dipandang sebagai komoditas, bukan manusia, semakin
hari semakin nyata. Kita melihat bagaimana fenomena buruh migran yang tidak
memiliki perlindungan dan mengalami kekerasan dalam bekerja, perdagangan
perempuan dalam dunia prostitusi, industri seks berkedok pariwisata, maraknya
industri pronografi yang menjual setiap inchi tubuh perempuan merupakan contoh
penghargaan Neoliberalisme terhadap kaum perempuan. Itu bagi kaum perempuan
yang berada di lapisan bawah, mereka yang berada di lapisan ekonomi menengah
dan atas dibutakan dengan budaya konsumerisme yang makin hari makin akut
(Swastika, 2003:92-102). Komodifikasi bentuk-bentuk kebudayaan, sejarah, dan
kreativitas intelektual telah mendorong berlangsungnya perpindahan tangan
aset-aset milik publik dan masyarakat kepada dunia swasta dan kelas elit.
Finansialisasi
Deregulasi telah membuat sistem
keuangan menjadi salah satu pusat dari aktivitas redistributif berupa
spekulasi, pencaplokan (predation),
kecurangan (fraud) dan pembobolan
keuangan (Harvey, 2009:271). Aksi-aksi stock
promotion, ponzi schemes, penghancuran nilai aset secara terencana melalui
inflasi, penjualan aset secara murah di bawah harga pasar melalui merger dan
akuisisi, dinaikkannya tingkat suku bungan utang, pengharusan pembayaran utang
dengan tenaga kerja (debt peonage),
peningkatan frekuensi transaksi perdagangan untuk mengejar komisi oleh para
pialang (churning) hingga pencaplokan
dana pensiun sudah menjadi hal biasa dalam sistem keuangan neoliberal.
Dipentingkannya nilai saham telah mendorong manipulasi di pasar dengan tujuan
memperkaya sebagian kecil orang dengan mengorbankan orang banyak. Penjarahan
yang keji ini oleh para penganutnya mereka sebut sebagai “penyebaran resiko” (spreading risks).
Manipulasi Krisis
Penciptaan, pengelolaan dan manipulasi krisis keuangan di level global
telah menjadi seni tingkat tinggi dalam redistribusi secara terencana kekayaan
dari negara-negara miskin kepada negara-negara kaya. Stiglitz menyebut ini
sebagai “dunia yang aneh”, dimana negara-negara miskin malah mensubsidi negara
kaya. Indikasi dari maraknya praktik manipulasi krisis ekonomi oleh lembaga
seperti wall street, IMF hingga departemen keuangan Amerika adalah makin
meningkatnya kasus krisis utang di negara-negara tertentu pada periode
1980-1990an. Padahal, kasus semacam ini amat jarang terjadi pada dekade 1960an.
Bahkan, krisis Asia – yang juga menimpa Indonesia dan melahirkan Orde Reformasi
– disebut-sebut sebagai “pengalihan besar-besaran aset-aset milik perusahaan
dalam negeri ke tangan perusahaan asing”. Tentu kita masih ingat bagaiman
BUMN-BUMN kita dengan gencar diprivatisasi pasca krisis moneter tersebut. PHK
besar-besaran yang terjadi juga ditera sebagai taktik penciptaan secara sengaja
situasi pengangguran. Dengan terjadinya pengangguran tersebut, maka surplus
tenaga kerja itu dapat dimanfaatkan kembali oleh kelas elit perusahaan untuk
mengakumulasi laba lebih besar lagi. Taktik culas ini telah menebarkan resiko
konflik dan depresi sosial yang meluas. Akibatnya, negara dipaksa dan didorong
melalui aparatus militernya untuk menjaga agar penjarahan itu tetap berlangsung
aman tanpa terjadi gejolak sosial yang meruntuhkan negara. Meskipun demikian,
tetap saja pemberontakan (seperti zapatista di meksiko, kerusuhan anti IMF dan
gerakan anti-globalisasi) tetap tumbuh dimana-mana. Tribalisme dan
fundamentalisme agama bahkan senantiasa mewarnai proses penjarahan-penjarahan
kelas elit Neoliberal ini.
Redistribusi Oleh Negara
Sebagaimana dikemukakan oleh Chomsky diatas, bahwa ketika sebuah negara
berhasil di-neoliberalisasikan, maka negara akan menjadi agen utama dari proses
pengaliran kekayaan ke kantong-kantong orang kaya/kelas elit. Hal pertama yang
akan dilakukan oleh Negara adalah : privatisasi dan pemangkasan pengeluaran
negara untuk tunjangan sosial. Privatisasi tanah dan perumahan misalnya, pada
awalnya seolah-olah menjadi berkah bagi banyak orang karena mereka telah naik
status dari penyewa menjadi pemilik tanah/rumah. Namun ketika proses
privatisasi tersebut selesai dilakukan, yang terjadi adalah gelombang spekulasi
harga tanah/rumah. Akibatnya, orang-orang miskin yang tinggal di lokasi
strategis atau di pusat kota, terpaksa/tergoda untuk menjual tanah/rumah
mereka, tentu saja kepada para konglomerat atau korporasi untuk dijadikan
pemukiman mewah, real estate, pusat perbelanjaan dsbnya. Begitu pula yang
terjadi di pedesaan, bagaimana kepemilikan tanah tiba-tiba beralih secara
drastis kepada orang-orang kaya dari kota. Orang miskin dan petani tersingkir
serta tergusur akibat kebijakan privatisasi tersebut. Inilah yang terjadi di
Inggris pada era Thatcher, di Meksiko dan di China. Kelonggaran dan penurunan
pajak bagi korporasi juga menjadi hal yang lumrah, seperti yang terjadi di
Amerika Serikat, dimana pajak korporasi semakin lama semakin rendah (Bersambung)
Bacaan Pengantar Lebih Lanjut :
Chomsky, Noam. 2005. Memeras
Rakyat : Neoliberalisme dan Tatanan Global. Jakarta : Penerbit Profetik
Harvey, David. 2005. A Brief History of Neoliberalism. New York :
Oxford University Press
Harvey, David. 2009.
Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis. Yogyakarta : Resist Book
Swastika,
Alia. 2003. Komodifikasi Perempuan : Tapak Ekonomi Neoliberal. Yogyakarta :
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Vol 7, No 1 (89-112)
[1] Komodifikasi mengandaikan bahwa ada harga untuk
semua hal sehingga semuanya bisa diperjualbelikan dan dibuat kontrak legal
untuk memilikinya (hak/kepemilikan)
Neoliberalisme mencengkeram Negara Inondesia...
ReplyDeleteTerimakasih Mas atas masukanya...!!
Insa Allah kapan2 maen k rumah sama Akel..