Konsep modal sosial telah sedemikian luas diterima
di kalangan komunitas profesional pembangunan. Akan tetapi, ia masih saja
menjadi konsep yang sulit dipahami. Antusiasme terhadap konsep modal sosial ini
mengingatkan kita pada bagaimana konsep partisipasi juga sangat
diterima dalam teori maupun praktek pembangunan dalam kurun 1970an, walaupun bagi
banyak orang konsep ini juga masih dianggap sebagai sesuatu yang abstrak
(meskipun ia lebih pada masalah preferensi daripada soal studi empiris atau
penerapannya)
Perhatian terhadap dua konsep ini (modal sosial dan
partisipasi) didorong oleh masalah yang sama. Sebab, banyak pengalaman di dunia
nyata yang menunjukkan bahwa inisiatif pembangunan yang tidak mempertimbangkan
dimensi manusia – termasuk faktor-faktor
seperti nilai-nilai, norma-norma, budaya, motivasi, solidaritas – akan
cenderung kurang berhasil dibanding dengan yang mempertimbangkan dimensi
manusia. Bukan hal yang aneh kalau model pembangunan yang mengabaikan semua itu
akan berujung pada kegagalan.
Agen-agen pembangunan dan ilmuwan mencoba untuk
memahami apa itu modal sosial dan bagaimana ia dapat diandalkan demi
pembangunan sosial ekonomi dengan biaya yang efektif? Saat ini, konsep modal
sosial bentuknya memang tidak lebih jelas daripada partisipasi, namun ia justru
lebih menarik, karena jika kita berhasil
memahaminya, maka kita dapat berinvestasi di dalamnya untuk menciptakan aliran
manfaat yang lebih besar.
Tetapi disini masih ada perdebatan, apakah modal sosial harus dianggap sebagai
bentuk kapital/modal? Apakah ia harus menjadi hasil dari beberapa investasi?
Dengan kata lain, apakah ia harus disengaja-terencana ataukah dapat tumbuh
dengan alamiah-natural? Apakah modal sosial harus memiliki beberapa manfaat
lintas domain atau hanya dalam aktivitas yang spesifik? dan lain
sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan diatas layak untuk
dipertimbangkan, sebab ia akan mempertajam pemahaman kita tentang modal sosial.
Meskipun dengan menjawab itu tidak serta merta akan menghasilkan
kesimpulan/jawaban, sebab mengidentifikasi modal sosial tidaklah semudah
mengidentifikasi modal fisik. Meskipun proses keduanya dapat dianalogikan,
namun keduanya tetaplah tidak sama. Namun demikian, kita tetap harus
mengeksplorasi kesamaan-kesamaan yang ada pada keduanya.
Segala bentuk “kapital/modal” dapat dipahami sebagai
aset-aset dari berbagai macam hal
dan ia dapat diciptakan. Aset
adalah segala sesuatu yang dapat
mengalirkan manfaat untuk membuat proses produktif di masa mendatang lebih
efisien, efektif, inovatif dan dapat diperluas/disebarkan dengan mudah.
Modal sosial adalah akumulasi dari beragam tipe sosial, psikologis, budaya,
kognitif, kelembagaan, dan aset-aset yang terkait yang dapat meningkatkan
kemungkinan manfaat bersama dari perilaku kerjasama. Perilaku disini
bermakna sama positifnya antara apa yang dilakukan untuk orang lain dengan
perilaku untuk diri sendiri. Artinya, perilaku tersebut bermanfaat untuk orang
lain, tidak hanya diri sendiri (sebagaimana makna dari kata “sosial” yang
berasal dari bahasa latin yang akan didiskusikan di bawah nanti).
Berbagai diskusi di literatur tentang modal sosial
belum sampai pada kesimpulan yang benar-benar terang/jelas, sebab mereka lebih
banyak hanya mencontohkan apa itu modal sosial, akan tetapi kurang menjelaskan
secara spesifik apa saja yang dapat menumbuhkannya? Dibutuhkan analisis yang
lebih mendalam - tidak hanya yang bersifat deskriptif – agar kita memperoleh
kemajuan baik secara teoritis maupun praksis. Sebuah kerangka kerja yang
mungkin akan banyak digunakan dalam isu-isu terkait partisipasi dalam
pembangunan. Hal yang sama juga dibutuhkan untuk modal sosial.
Apa saja yang membentuk modal sosial tidaklah dapat
disimpulkan hanya dengan membuat definisi, meskipun definisi itu juga kita
perlukan. Beragam studi-studi empiris dengan dipandu oleh konsep-konsep
analitis yang koheren akan sangat dibutuhkan untuk memahami kompleksitas modal
sosial. Banyak definisi yang telah diberikan oleh para ahli (lihat review yang
telah Seragaldin & Grootaert (1997)) akan tetapi definisi-definisi itu
masih membutuhkan validasi. Kita perlu lebih fokus pada komponen-komponen,
hubungan-hubungan dan hasil-hasil yang dapat dievaluasi dalam praktek
pembangunan secara nyata. Modal sosial membutuhkan penekanan pada hal-hal
seperti a) apa unsur-unsur yang menyusunnya? b) apa koneksi/yang menghubungkan
mereka? c) konsekuensi apa yang dapat dikaitkan dengan unsur-unsur dan
interaksi tersebut?
Beberapa ide utama lainnya yang terkait dengan modal
sosial juga akan bernilai untuk dieksplorasi, seperti : budaya kewargaan, kecenderungan kerjasama, tindakan kolektif,
manfaat bersama, pengurangan biaya transaksi, solidaritas, penjumlahan
hasil-hasil positif. Namun, berurusan dengan istilah-istilah diatas lebih
merupakan eksplorasi yang bersifat sedikit demi sedikit.
Dari seluruh literatur, ada dua kategori berbeda
namun saling terkait yang termasuk dalam konsep modal sosial. Dengan memahami
perbedaan dari keduanya akan memudahkan kita untuk memahami modal sosial.
Bagian pertama paper ini akan menyajikan konseptualisasi dari modal sosial yang
mengintegrasikan apa yang sudah diketahui tentang modal sosial agar dapat
menjadi petunjuk bagi penelitian yang lebih koheren.
Memahai
“Modal Sosial” sebagai “Kapital”
Jika selama ini analisis ekonomi hanya
memiliki/menggunakan 3 kategori standar tentang kapital (modal fisik, modal
alam, dan modal manusia), maka kini telah tumbuh satu lagi kapital, yaitu modal
sosial (Serageldin, 1996). Keempat kategori ini memang masih cukup abstrak,
namun kita dapat memahaminya sebagai aset. Modal fisik, misalnya, termasuk di
dalamnya ada jalan raya, satelit, pabrik, peralatan, kendaraan, rumah, uang,
saham, obligasi dan instrumen keuangan lainnya.
Namun, apa yang dibutuhkan untuk tujuan analitis itu
bukanlah daftar yang berisi apa saja yang termasuk dalam kategori kapital itu,
tetapi lebih kepada pengkategorian secara koheren beragam faktor-faktor
sehingga kita dapat memahami keberagamannya. Misalnya, untuk modal fisik, kita
akan melihat perbedaan yang besar antara apakah sesuatu termasuk pada aset
tetap atau aset sepadan/fungible,
properti riil atau instrumen finansial. Sumber daya manusia juga umumnya
dikelompokkan dalam tenaga kerja terlatih dan tidak terlatih, kerja
fisik/manual dan kerja pikiran/mental. Kita harus mulai berpikirlah bahwa hal
seperti itu adalah sebuah klasifikasi yang mentah.
Demikian juga pemahaman kuno kita terhadap modal
alam yang selalu membaginya dalam sumber daya yang dapat diperbaharui dan tidak
dapat diperbaharui. Kita harus ingat, bahwa perbedaan kategori dalam kapital –
termasuk pula sub kategorinya – lebih bersifat analitis daripada nyata/riil. Jadi, apa yang eksis adalah
sesuatu yang mengkategorikannya
bukan kategori dimana di dalamnya mereka dikelompokkan. Membuat perbedaan
secara sistematis diantara keempat kapital itu merupakan langkah paling
fundamental untuk menciptakan kemajuan dalam teori dan praktek.
Modal sosial dapat dipahami dengan lebih mudah ke
dalam dua kategori yang saling berhubungan, yaitu a) struktural dan b) kognitif.
Dua kategori ini sangat mendasar untuk memahami modal sosial.
Kategori
struktural berkaitan dengan beragam bentuk organisasi sosial, khususnya
peran-peran, aturan-aturan, preseden, dan prosedur-prosedur serta beragam
jaringan-jaringan yang mendukung kerjasama yang memberikan manfaat bersama dari
tindakan kolektif (MBCA[1]), dimana
aliran manfaat tersebut merupakan hasil dari modal sosial
Kategori
kognitif datang dari proses mental yang menghasilkan gagasan/pemikiran yang
diperkuat oleh budaya dan ideologi – norma-norma, nilai-nilai, sikap dan
keyakinan – yang berkontribusi pada terciptanya perilaku kerjasama dan MBCA.
Elemen organisasi sosial dalam kategori aset yang
pertama bersifat memfasilitasi MBCA, khususnya dalam menurunkan biaya
transaksi, melahirkan pola-pola interaksi yang membuat hasil produktif dari
kerjasama dapat diprediksi dan lebih bermanfaat. Sedangkan pemikiran dalam
kategori yang kedua mempengaruhi orang-orang ke arah MBCA. Norma, nilai, sikap
dan keyakinan yang membentuk modal sosial kognitif adalah salah satu yang dapat
merasionalkan perilaku kerjasama dan membuatnya menjadi sesuatu yang lebih dihargai.
Secara abstrak/teoritis, kedua kategori itu seolah-olah bisa hadir
sendiri-sendiri, namun dalam kenyataannya akan sangat sulit modal sosial itu terbentuk
tanpa kehadiran kedua-duanya.
Dua kategori modal sosial diatas secara intrinsik
saling terkait. Walaupun jejaring, peran, aturan, preseden dan prosedur dapat
diamati di dalamnya, mereka semua tetap datang dari hasil proses kognitif. Aset
modal sosial struktural bersifat ekstrinsik dan dapat diamati, sementara aspek
kognitif tidak dapat diamati, namun keduanya saling terkait di dalam praktik
(dan di dalam teori sosial), oleh fenomena perilaku subjektif disebut sebagai ekspektasi/harapan.
Ekspektasi menciptakan peran dan pada saat yang sama
peran itu menciptakan harapan. Artinya, a) orang bertindak berdasarkan peran
yang diterimanya dan b) orang-orang dengan peran tersebut saling berinteraksi.
Orang dapat berkata bahwa peran dan aturan itu bersifat objektif karena ia
dikuatkan oleh sanksi dan insentif. Akan tetapi, semuanya kemudian tergantung
pada efektifitas “harapan bersama” mereka. Artinya, hal yang objektif itu pada
akhirnya dipengaruhi oleh penilaian sibjketif. Peran, aturan, preseden dan
prosedur yang mengikutinya dapat berbentuk/menjadi formal atau informal.
Harus ditunjukkan dengan jelas bahwa norma-norma,
nilai, sikap dan keyakinan itu menciptakan harapan tentang bagaimana seseorang seharusnya
bertindak? dengan implikasi menciptakan harapan tentang bagaimana seseorang
akan bertindak? Sebagai contoh, apakah mereka akan bekerjasama atau
tidak? Apakah dilakukan dengan kedermawanan/murah hati atau tidak? Inilah
alasan bahwa faktor subjektifitas secara jelas mempengaruhi/membawa konsekuensi
objektif.
Jaringan – sebagai pola perturakan dan interaksi
sosial yang terus berkembang – merupakan perwujudan penting dari modal sosial,
baik jaringan formal maupun informal. Sebagai sebuah bentuk organisasi sosial, jaringan
mewakili kategori modal sosial struktural. Sebagian besar diksusi
tentang jaringan ini menekankan bahwa jaringan dihadirkan oleh “harapan
bersama” atas manfaat/keuntungan. Namun sebenarnya jaringan ini dapat
berkelanjutan lebih karena harapan akan timbal balik (resiprositas). Hal ini
menunjukkan bahwa ada dominasi kognitif yang penting dalam jaringan yang
didorong oleh proses mental dan bukan hanya dari apa yang dipertukarkan.
Sederhananya, bentuk struktural dari modal sosial
itu dapat diamati dan bersifat eksternal. Sebaliknya, bentuk modal sosial
kognitif tidak nampak karena berada dalam pikiran. Namun demikian, keduanya
mempengaruhi perilaku setiap orang, baik secara individual maupun dalam
kelompok kecil dan besar. Peran, aturan, prosedur dalam beragam struktur sosial
– termasuk norma dan nilai-nilai yang mengikuti sikap dan keyakinan – adalah
mekanisme/cara dimana modal sosial itu terbangun dan terakumulasi, serta
tersimpan, termodifikasi, terekspresikan dan diabadikan. Sebagaimana akan kita
diskusikan dibawah ini.
Organisasi formal maupun informal dengan segala
peran-peran, aturan, preseden, dan prosedur bersama dengan interaksi jaringan
formal maupun informal serta nilai, norma, dan keyakinan yang tersebar di dalam masyarakat dapat memberikan
energi dan memperkuat modal sosial, sekaligus dapat menunjukkan
bagaimana seseorang dapat memperoleh hasil dan manfaat darinya. Fenomena
tersebut dapat diturunkan dalam istilah “aliran manfaat yang dapat mereka produksi
bersama-sama”. Dimensi struktural dan kognnitif yang kondusif bagi
terciptanya MBCA inilah hal spesifik yang dapat diidentifikasi – meskipun
mereka lebih bersifat mental bukan material – sehingga dapat memberikan contoh
nyata bagi konsep modal sosial yang abstrak.
Konseptualisasi ini konsisten dengan pemikiran
tentang modal sosial dari Coleman (1988) Putnam, Leonardi, dan Nanetti (1993).
Coleman maupun Putnam memasukkan elemen struktural dan kognitif itu ke dalam
definisi dan analisisnya, namun mereka lebih mendekati modal sosial secara
deskriptif, bukan analitis. Dengan mengelompokkan faktor-faktor yang membangun
dua kategori/elemen tersebut akan membuatnya lebih kongkrit dan dapat
dipelajari, termasuk untuk tujuan pengukuran dan evaluasi.
Ketika Serageldin dan Grootaert (1997) membandingkan
antara pandangan Coleman dan Putnam tentang modal sosial, mereka menyarankan
bahwa penulis pertama (Coleman) lebih melihat “struktur sosial dalam arti luas, dimana norma-norma dianggap
mempengaruhi individu”. Namun ini hanyalah soal derajat/kecenderungan,
artinya keduanya tidaklah terlalu berbeda jauh. Pandangan ketiga tentang modal
sosial mengikuti hasil kerja/karya dari North (1990) dan Olson (1982) yang
dikarakterisasikan oleh Serageldin dan Grootaert sebagai “modal sosial yang dibentuk dari lingkungan sosial dan politik yang
melahirkan norma-norma untuk membangun dan membentuk struktur sosial”. Kita melihat bahwa ketiga pandangan diatas
memiliki elemen yang sama yang mengulas penekanan pada aspek struktur sosial
dan pengaruh normatif, tetapi mereka tidak meletakkan faktor-faktor ini kedalam
teori/kerangka kerja secara lebih eksplisit/jelas.
Di dalam literatur, modal sosial secara umum
dipahami memiliki beberapa kombinasi antara berbasis-peran dan berbasis-aturan
(struktural) serta originalitas mental dan sikap (kognitif). Tabel 1 dibawah ini akan menunjukkan
perbedaan istilah-istilah utama yang terkait dengan modal sosial dari berbagai
literatur. Hal ini juga akan menunjukkan faktor-faktor
pelengkap yang secara bersama-sama berkonstribusi pada terbentuknya
fenomena modal sosial.
Dua kategori dari modal sosial ini memiliki
ketergantungan yang sangat tinggi. Bentuk yang satu mempengaruhi bentuk yang
lain. Keduanya mempengaruhi perilaku hingga mekanisme terbentuknya
harapan/ekspektasi. Kedua bentuk fenomena ini terkondisikan oleh pengalaman dan
diperkuat oleh budaya, zeitgeist
[semangat pada masa/waktu tertentu], dan pengaruh-pengaruh lainnya.
Kedua bentuk modal sosial (struktural dan kognitif)
pada akhirnya adalah persoalan mental. Nilai-nilai bersama, norma-norma, dan
harapan adalah bagian dari pecahan parcel yang membentuk susunan dari struktur
sosial. Peran dan aturan yang dituliskan barangkali bersifat objektif, namun
peran, aturan, dan bahkan sanksi itu pun keberhasilannya juga akan tergantung
pada efektivitas proses kognitif mereka.
Tabel
1. Kategori Pelengkap Dari Modal Sosial
Struktural
|
Kognitif
|
|
Sumber-sumber
dan perwujudannya/manifestasi
|
Peran
dan aturan
Jaringan
dan hubungan antar pribadi lainnya
Prosedur-prosedur
dan preseden-preseden
|
Norma-norma
Nilai-nilai
Sikap
Keyakinan
|
Domain/ranah
|
Organisasi
sosial
|
Budaya
sipil/kewargaan
|
Faktor-faktor
dinamis
|
Hubungan
horisontal
Hubungan
vertikal
|
Kepercayaan,
solidaritas, kerjasama, kemurahan hati/kedermawanan
|
Elemen-elemen
umum
|
Harapan
yang mengarah pada perilaku kerjasama, yang akan menghasilkan manfaat bersama
|
Sumber : Uphoff, 2000
Pada saat yang sama, salah juga kalau kita mengatakan
bahwa seluruh aspek dari modal sosial “hanyalah pikiran”. Hal ini akan
cenderung melupakan fakta penting bahwa gagasan dan tujuan itu sebenarnya telah
terkristalisasi ke dalam peran, aturan, jaringan dan pola hubungan yang mapan
lainnya, dimana itu semua dimaksudkan untuk menjembatani beberapa jenis
tindakan, kemungkinan tindakan tersebut bisa dilakukan dan prediksi peningkatan
hasilnya beberapa kali lipat.
Struktur
sosial memang memiliki konsekuensi objektif meskipun bentuk aslinya tergantung
pada nilai-nilai dan evaluasi subjektif. Maka dari itu, sangat berguna untuk membedakan
antara elemen struktural dan kognitif dari modal sosial sekalipun keduanya
saling terkait dan saling menguatkan. Tetapi jangan pula membuat perbedaan ini mengurangi
penjelasan dan pemahaman kita tentang bagaimana modal sosial itu datang,
terbentuk dan bertahan.
Sumber : Diterjemahkan bebas oleh Yanu Endar Prasetyo dari
Norman Uphoff. 2000. Understanding Social Capital : Learning from the Analysis and Experience of Participation (Dalam Dasgupta & Serageldin, Social Capital A Multifaced Perspective, The World Bank)
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeletePenjelasan yang sangat menarik. Content nya sangat membantu saya dalam menyiapkan thesis sarjana. Terima kasih.
ReplyDelete