29 October 2011

Memahami Konsep Modal Sosial (1)


Konsep modal sosial telah sedemikian luas diterima di kalangan komunitas profesional pembangunan. Akan tetapi, ia masih saja menjadi konsep yang sulit dipahami. Antusiasme terhadap konsep modal sosial ini mengingatkan kita pada bagaimana konsep partisipasi juga sangat diterima dalam teori maupun praktek pembangunan dalam kurun 1970an, walaupun bagi banyak orang konsep ini juga masih dianggap sebagai sesuatu yang abstrak (meskipun ia lebih pada masalah preferensi daripada soal studi empiris atau penerapannya)

Perhatian terhadap dua konsep ini (modal sosial dan partisipasi) didorong oleh masalah yang sama. Sebab, banyak pengalaman di dunia nyata yang menunjukkan bahwa inisiatif pembangunan yang tidak mempertimbangkan dimensi manusia – termasuk faktor-faktor seperti nilai-nilai, norma-norma, budaya, motivasi, solidaritas – akan cenderung kurang berhasil dibanding dengan yang mempertimbangkan dimensi manusia. Bukan hal yang aneh kalau model pembangunan yang mengabaikan semua itu akan berujung pada kegagalan.

Agen-agen pembangunan dan ilmuwan mencoba untuk memahami apa itu modal sosial dan bagaimana ia dapat diandalkan demi pembangunan sosial ekonomi dengan biaya yang efektif? Saat ini, konsep modal sosial bentuknya memang tidak lebih jelas daripada partisipasi, namun ia justru lebih menarik, karena jika kita berhasil memahaminya, maka kita dapat berinvestasi di dalamnya untuk menciptakan aliran manfaat yang lebih besar.

Tetapi disini masih ada perdebatan, apakah modal sosial harus dianggap sebagai bentuk kapital/modal? Apakah ia harus menjadi hasil dari beberapa investasi? Dengan kata lain, apakah ia harus disengaja-terencana ataukah dapat tumbuh dengan alamiah-natural? Apakah modal sosial harus memiliki beberapa manfaat lintas domain atau hanya dalam aktivitas yang spesifik? dan lain sebagainya.

Pertanyaan-pertanyaan diatas layak untuk dipertimbangkan, sebab ia akan mempertajam pemahaman kita tentang modal sosial. Meskipun dengan menjawab itu tidak serta merta akan menghasilkan kesimpulan/jawaban, sebab mengidentifikasi modal sosial tidaklah semudah mengidentifikasi modal fisik. Meskipun proses keduanya dapat dianalogikan, namun keduanya tetaplah tidak sama. Namun demikian, kita tetap harus mengeksplorasi kesamaan-kesamaan yang ada pada keduanya.

Segala bentuk “kapital/modal” dapat dipahami sebagai aset-aset dari berbagai macam hal dan ia dapat diciptakan. Aset adalah segala sesuatu yang dapat mengalirkan manfaat untuk membuat proses produktif di masa mendatang lebih efisien, efektif, inovatif dan dapat diperluas/disebarkan dengan mudah. Modal sosial adalah akumulasi dari beragam tipe sosial, psikologis, budaya, kognitif, kelembagaan, dan aset-aset yang terkait yang dapat meningkatkan kemungkinan manfaat bersama dari perilaku kerjasama. Perilaku disini bermakna sama positifnya antara apa yang dilakukan untuk orang lain dengan perilaku untuk diri sendiri. Artinya, perilaku tersebut bermanfaat untuk orang lain, tidak hanya diri sendiri (sebagaimana makna dari kata “sosial” yang berasal dari bahasa latin yang akan didiskusikan di bawah nanti).

Berbagai diskusi di literatur tentang modal sosial belum sampai pada kesimpulan yang benar-benar terang/jelas, sebab mereka lebih banyak hanya mencontohkan apa itu modal sosial, akan tetapi kurang menjelaskan secara spesifik apa saja yang dapat menumbuhkannya? Dibutuhkan analisis yang lebih mendalam - tidak hanya yang bersifat deskriptif – agar kita memperoleh kemajuan baik secara teoritis maupun praksis. Sebuah kerangka kerja yang mungkin akan banyak digunakan dalam isu-isu terkait partisipasi dalam pembangunan. Hal yang sama juga dibutuhkan untuk modal sosial.

Apa saja yang membentuk modal sosial tidaklah dapat disimpulkan hanya dengan membuat definisi, meskipun definisi itu juga kita perlukan. Beragam studi-studi empiris dengan dipandu oleh konsep-konsep analitis yang koheren akan sangat dibutuhkan untuk memahami kompleksitas modal sosial. Banyak definisi yang telah diberikan oleh para ahli (lihat review yang telah Seragaldin & Grootaert (1997)) akan tetapi definisi-definisi itu masih membutuhkan validasi. Kita perlu lebih fokus pada komponen-komponen, hubungan-hubungan dan hasil-hasil yang dapat dievaluasi dalam praktek pembangunan secara nyata. Modal sosial membutuhkan penekanan pada hal-hal seperti a) apa unsur-unsur yang menyusunnya? b) apa koneksi/yang menghubungkan mereka? c) konsekuensi apa yang dapat dikaitkan dengan unsur-unsur dan interaksi tersebut? 

Beberapa ide utama lainnya yang terkait dengan modal sosial juga akan bernilai untuk dieksplorasi, seperti : budaya kewargaan, kecenderungan kerjasama, tindakan kolektif, manfaat bersama, pengurangan biaya transaksi, solidaritas, penjumlahan hasil-hasil positif. Namun, berurusan dengan istilah-istilah diatas lebih merupakan eksplorasi yang bersifat sedikit demi sedikit.

Dari seluruh literatur, ada dua kategori berbeda namun saling terkait yang termasuk dalam konsep modal sosial. Dengan memahami perbedaan dari keduanya akan memudahkan kita untuk memahami modal sosial. Bagian pertama paper ini akan menyajikan konseptualisasi dari modal sosial yang mengintegrasikan apa yang sudah diketahui tentang modal sosial agar dapat menjadi petunjuk bagi penelitian yang lebih koheren. 

Memahai “Modal Sosial” sebagai “Kapital”

Jika selama ini analisis ekonomi hanya memiliki/menggunakan 3 kategori standar tentang kapital (modal fisik, modal alam, dan modal manusia), maka kini telah tumbuh satu lagi kapital, yaitu modal sosial (Serageldin, 1996). Keempat kategori ini memang masih cukup abstrak, namun kita dapat memahaminya sebagai aset. Modal fisik, misalnya, termasuk di dalamnya ada jalan raya, satelit, pabrik, peralatan, kendaraan, rumah, uang, saham, obligasi dan instrumen keuangan lainnya.

Namun, apa yang dibutuhkan untuk tujuan analitis itu bukanlah daftar yang berisi apa saja yang termasuk dalam kategori kapital itu, tetapi lebih kepada pengkategorian secara koheren beragam faktor-faktor sehingga kita dapat memahami keberagamannya. Misalnya, untuk modal fisik, kita akan melihat perbedaan yang besar antara apakah sesuatu termasuk pada aset tetap atau aset sepadan/fungible, properti riil atau instrumen finansial. Sumber daya manusia juga umumnya dikelompokkan dalam tenaga kerja terlatih dan tidak terlatih, kerja fisik/manual dan kerja pikiran/mental. Kita harus mulai berpikirlah bahwa hal seperti itu adalah sebuah klasifikasi yang mentah.

Demikian juga pemahaman kuno kita terhadap modal alam yang selalu membaginya dalam sumber daya yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui. Kita harus ingat, bahwa perbedaan kategori dalam kapital – termasuk pula sub kategorinya – lebih bersifat analitis daripada nyata/riil. Jadi, apa yang eksis adalah sesuatu yang mengkategorikannya bukan kategori dimana di dalamnya mereka dikelompokkan. Membuat perbedaan secara sistematis diantara keempat kapital itu merupakan langkah paling fundamental untuk menciptakan kemajuan dalam teori dan praktek.

Modal sosial dapat dipahami dengan lebih mudah ke dalam dua kategori yang saling berhubungan, yaitu a) struktural dan b) kognitif. Dua kategori ini sangat mendasar untuk memahami modal sosial.

Kategori struktural berkaitan dengan beragam bentuk organisasi sosial, khususnya peran-peran, aturan-aturan, preseden, dan prosedur-prosedur serta beragam jaringan-jaringan yang mendukung kerjasama yang memberikan manfaat bersama dari tindakan kolektif (MBCA[1]), dimana aliran manfaat tersebut merupakan hasil dari modal sosial

Kategori kognitif datang dari proses mental yang menghasilkan gagasan/pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi – norma-norma, nilai-nilai, sikap dan keyakinan – yang berkontribusi pada terciptanya perilaku kerjasama dan MBCA.

Elemen organisasi sosial dalam kategori aset yang pertama bersifat memfasilitasi MBCA, khususnya dalam menurunkan biaya transaksi, melahirkan pola-pola interaksi yang membuat hasil produktif dari kerjasama dapat diprediksi dan lebih bermanfaat. Sedangkan pemikiran dalam kategori yang kedua mempengaruhi orang-orang ke arah MBCA. Norma, nilai, sikap dan keyakinan yang membentuk modal sosial kognitif adalah salah satu yang dapat merasionalkan perilaku kerjasama dan membuatnya menjadi sesuatu yang lebih dihargai. Secara abstrak/teoritis, kedua kategori itu seolah-olah bisa hadir sendiri-sendiri, namun dalam kenyataannya akan sangat sulit modal sosial itu terbentuk tanpa kehadiran kedua-duanya.

Dua kategori modal sosial diatas secara intrinsik saling terkait. Walaupun jejaring, peran, aturan, preseden dan prosedur dapat diamati di dalamnya, mereka semua tetap datang dari hasil proses kognitif. Aset modal sosial struktural bersifat ekstrinsik dan dapat diamati, sementara aspek kognitif tidak dapat diamati, namun keduanya saling terkait di dalam praktik (dan di dalam teori sosial), oleh fenomena perilaku subjektif disebut sebagai ekspektasi/harapan.

Ekspektasi menciptakan peran dan pada saat yang sama peran itu menciptakan harapan. Artinya, a) orang bertindak berdasarkan peran yang diterimanya dan b) orang-orang dengan peran tersebut saling berinteraksi. Orang dapat berkata bahwa peran dan aturan itu bersifat objektif karena ia dikuatkan oleh sanksi dan insentif. Akan tetapi, semuanya kemudian tergantung pada efektifitas “harapan bersama” mereka. Artinya, hal yang objektif itu pada akhirnya dipengaruhi oleh penilaian sibjketif. Peran, aturan, preseden dan prosedur yang mengikutinya dapat berbentuk/menjadi formal atau informal.

Harus ditunjukkan dengan jelas bahwa norma-norma, nilai, sikap dan keyakinan itu menciptakan harapan tentang bagaimana seseorang seharusnya bertindak? dengan implikasi menciptakan harapan tentang bagaimana seseorang akan bertindak? Sebagai contoh, apakah mereka akan bekerjasama atau tidak? Apakah dilakukan dengan kedermawanan/murah hati atau tidak? Inilah alasan bahwa faktor subjektifitas secara jelas mempengaruhi/membawa konsekuensi objektif.

Jaringan – sebagai pola perturakan dan interaksi sosial yang terus berkembang – merupakan perwujudan penting dari modal sosial, baik jaringan formal maupun informal. Sebagai sebuah bentuk organisasi sosial, jaringan mewakili kategori modal sosial struktural. Sebagian besar diksusi tentang jaringan ini menekankan bahwa jaringan dihadirkan oleh “harapan bersama” atas manfaat/keuntungan. Namun sebenarnya jaringan ini dapat berkelanjutan lebih karena harapan akan timbal balik (resiprositas). Hal ini menunjukkan bahwa ada dominasi kognitif yang penting dalam jaringan yang didorong oleh proses mental dan bukan hanya dari apa yang dipertukarkan.

Sederhananya, bentuk struktural dari modal sosial itu dapat diamati dan bersifat eksternal. Sebaliknya, bentuk modal sosial kognitif tidak nampak karena berada dalam pikiran. Namun demikian, keduanya mempengaruhi perilaku setiap orang, baik secara individual maupun dalam kelompok kecil dan besar. Peran, aturan, prosedur dalam beragam struktur sosial – termasuk norma dan nilai-nilai yang mengikuti sikap dan keyakinan – adalah mekanisme/cara dimana modal sosial itu terbangun dan terakumulasi, serta tersimpan, termodifikasi, terekspresikan dan diabadikan. Sebagaimana akan kita diskusikan dibawah ini.

Organisasi formal maupun informal dengan segala peran-peran, aturan, preseden, dan prosedur bersama dengan interaksi jaringan formal maupun informal serta nilai, norma, dan keyakinan yang tersebar di dalam masyarakat dapat memberikan  energi dan memperkuat modal sosial, sekaligus dapat menunjukkan bagaimana seseorang dapat memperoleh hasil dan manfaat darinya. Fenomena tersebut dapat diturunkan dalam istilah “aliran manfaat yang dapat mereka produksi bersama-sama”. Dimensi struktural dan kognnitif yang kondusif bagi terciptanya MBCA inilah hal spesifik yang dapat diidentifikasi – meskipun mereka lebih bersifat mental bukan material – sehingga dapat memberikan contoh nyata bagi konsep modal sosial yang abstrak.

Konseptualisasi ini konsisten dengan pemikiran tentang modal sosial dari Coleman (1988) Putnam, Leonardi, dan Nanetti (1993). Coleman maupun Putnam memasukkan elemen struktural dan kognitif itu ke dalam definisi dan analisisnya, namun mereka lebih mendekati modal sosial secara deskriptif, bukan analitis. Dengan mengelompokkan faktor-faktor yang membangun dua kategori/elemen tersebut akan membuatnya lebih kongkrit dan dapat dipelajari, termasuk untuk tujuan pengukuran dan evaluasi.

Ketika Serageldin dan Grootaert (1997) membandingkan antara pandangan Coleman dan Putnam tentang modal sosial, mereka menyarankan bahwa penulis pertama (Coleman) lebih melihat “struktur sosial dalam arti luas, dimana norma-norma dianggap mempengaruhi individu”. Namun ini hanyalah soal derajat/kecenderungan, artinya keduanya tidaklah terlalu berbeda jauh. Pandangan ketiga tentang modal sosial mengikuti hasil kerja/karya dari North (1990) dan Olson (1982) yang dikarakterisasikan oleh Serageldin dan Grootaert sebagai “modal sosial yang dibentuk dari lingkungan sosial dan politik yang melahirkan norma-norma untuk membangun dan membentuk struktur sosial”. Kita melihat bahwa ketiga pandangan diatas memiliki elemen yang sama yang mengulas penekanan pada aspek struktur sosial dan pengaruh normatif, tetapi mereka tidak meletakkan faktor-faktor ini kedalam teori/kerangka kerja secara lebih eksplisit/jelas.

Di dalam literatur, modal sosial secara umum dipahami memiliki beberapa kombinasi antara berbasis-peran dan berbasis-aturan (struktural) serta originalitas mental dan sikap (kognitif). Tabel 1 dibawah ini akan menunjukkan perbedaan istilah-istilah utama yang terkait dengan modal sosial dari berbagai literatur. Hal ini juga akan menunjukkan faktor-faktor pelengkap yang secara bersama-sama berkonstribusi pada terbentuknya fenomena modal sosial.

Dua kategori dari modal sosial ini memiliki ketergantungan yang sangat tinggi. Bentuk yang satu mempengaruhi bentuk yang lain. Keduanya mempengaruhi perilaku hingga mekanisme terbentuknya harapan/ekspektasi. Kedua bentuk fenomena ini terkondisikan oleh pengalaman dan diperkuat oleh budaya, zeitgeist [semangat pada masa/waktu tertentu], dan pengaruh-pengaruh lainnya.

Kedua bentuk modal sosial (struktural dan kognitif) pada akhirnya adalah persoalan mental. Nilai-nilai bersama, norma-norma, dan harapan adalah bagian dari pecahan parcel yang membentuk susunan dari struktur sosial. Peran dan aturan yang dituliskan barangkali bersifat objektif, namun peran, aturan, dan bahkan sanksi itu pun keberhasilannya juga akan tergantung pada efektivitas proses kognitif mereka.

Tabel 1. Kategori Pelengkap Dari Modal Sosial

Struktural
Kognitif
Sumber-sumber dan perwujudannya/manifestasi
Peran dan aturan
Jaringan dan hubungan antar pribadi lainnya
Prosedur-prosedur dan preseden-preseden
Norma-norma
Nilai-nilai
Sikap
Keyakinan
Domain/ranah
Organisasi sosial
Budaya sipil/kewargaan
Faktor-faktor dinamis
Hubungan horisontal
Hubungan vertikal
Kepercayaan, solidaritas, kerjasama, kemurahan hati/kedermawanan
Elemen-elemen umum
Harapan yang mengarah pada perilaku kerjasama, yang akan menghasilkan manfaat bersama
Sumber : Uphoff, 2000

Pada saat yang sama, salah juga kalau kita mengatakan bahwa seluruh aspek dari modal sosial “hanyalah pikiran”. Hal ini akan cenderung melupakan fakta penting bahwa gagasan dan tujuan itu sebenarnya telah terkristalisasi ke dalam peran, aturan, jaringan dan pola hubungan yang mapan lainnya, dimana itu semua dimaksudkan untuk menjembatani beberapa jenis tindakan, kemungkinan tindakan tersebut bisa dilakukan dan prediksi peningkatan hasilnya beberapa kali lipat.

Struktur sosial memang memiliki konsekuensi objektif meskipun bentuk aslinya tergantung pada nilai-nilai dan evaluasi subjektif. Maka dari itu, sangat berguna untuk membedakan antara elemen struktural dan kognitif dari modal sosial sekalipun keduanya saling terkait dan saling menguatkan. Tetapi jangan pula membuat perbedaan ini mengurangi penjelasan dan pemahaman kita tentang bagaimana modal sosial itu datang, terbentuk dan bertahan.

Sumber : Diterjemahkan bebas oleh Yanu Endar Prasetyo dari Norman Uphoff. 2000. Understanding Social Capital : Learning from the Analysis and Experience of Participation (Dalam Dasgupta & Serageldin, Social Capital A Multifaced Perspective, The World Bank)



[1] Mutually Beneficial Collective Action = Manfaat Bersama dari Tindakan Kolektif

2 comments:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  2. Penjelasan yang sangat menarik. Content nya sangat membantu saya dalam menyiapkan thesis sarjana. Terima kasih.

    ReplyDelete