29 November 2011

Perkawinan Politik atau Politik Perkawinan?

Sebuah perkawinan luar biasa berlangsung sudah. Putra orang nomor satu di negeri ini mempersunting putri orang nomor satu dari salah satu partai besar yang sekaligus adalah menteri koordinator perekonomian RI. Peristiwa bahagia ini tentu saja menyedot banyak perhatian. Selain karena melibatkan nama-nama besar, juga karena terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. Membayangkan pernikahan dua keluarga pembesar negeri itu, laksana penyatuan dua buah kerajaan di masa lalu. Sebuah dinasti keluarga baru telah terbentuk. 

Mau tidak mau, suka tidak suka, tindakan seorang politisi akan selalu dianggap sebagai manuver. Politisi tidak akan pernah bebas dari politik itu sendiri. Maka wajar jika kemudian banyak tanggapan berbau politis dari publik itu sendiri. Ada yang menganggapnya sebagai “perkawinan politik”, dimana penyatuan dua keluarga besar pemimpin tertinggi partai politik akan menyeret pula gerbong besar di belakang mereka. Baik gerbong kepentingan maupun tujuan politik keduanya. Toh hampir bisa dikatakan pemimpin mereka telah tinggal dalam “satu rumah”.
Terlepas dari spekulasi semacam itu, yang menggelitik penulis adalah penggunaan istilah perkawinan politik itu sendiri. Jika kita telaah, perkawinan politik bermakna politik-nya yang dikawinkan. Jika politik diartikan sebagai gagasan dan cara orang mencapai tujuan-tujuannya, maka perkawinan politik berarti penyatuan dua gagasan, cara dan tujuan yang berbeda ke dalam sebuah ikatan komitmen untuk saling bersatu, mengasihi dan melindungi satu sama lain. Jika makna perkawinan (dalam) politik ini memang demikian, maka salah satu contoh yang tepat adalah seperti yang pernah digagas oleh Bung Karno di masa lalu.
Bung Karno muda pernah mengawinkan tiga haluan politik yang berbeda, yaitu Marxisme, Islamisme dan Nasionalisme. Perkawinan ketiga ideologi politik yang saling bertentangan itu pun ternyata dapat beliau ikat dalam janji komitmen untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa terlebih dahulu, sebelum sibuk dengan urusan lain yang dianggapnya lebih kecil. Sampai di usia senja, Bung Karno masih setia dan berkomitmen dengan ide perkawinannya itu, malah Ia mempertegasnya dalam jargon NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Terlepas dari langgeng tidaknya perkawinan politik tersebut, yang jelas seperti itulah contoh sebuah perkawinan politik, yaitu mengikat dua atau lebih haluan politik yang berbeda (bahkan bertentangan) ke dalam satu komitmen dan tujuan bersama.
Apakah perkawinan dua keluarga pembesar negeri kita kemarin adalah bentuk perkawinan politik? atau itu hanyalah “politik perkawinan”? Artinya, perkawinannya yang dipolitisasi. Politik (dalam) perkawinan bermakna masing-masing pihak menggunakan caranya sendiri-sendiri untuk mencapai tujuannya. Seperti halnya mahligai perkawinan orang biasa, suami berpolitik terhadap istri dan istri berpolitik terhadap suami. Mungkin saja tujuan berpolitik suami-istri itu baik, yaitu untuk menjaga keharmonisan dan kelanggengan rumah tangga mereka. Akan tetapi, bisa jadi pula mereka berpolitik kotor, alias menghalalkan segala cara untuk menjaga citra dan menutupi perselingkuhan atau kejahatan di belakang pasangannya melalui kebohongan yang disusun secara indah dan sistematis. Tapi entahlah, bukan kapasitas orang kecil seperti kita untuk mengorek-ngorek motivasi perkawinan keluarga pembesar negeri. Yang penting bagi kita adalah bisa membedakan mana perkawinan politik dan mana politik perkawinan. Itu saja.
Hal ini penting karena dinamika politik yang riuh rendah di negeri ini sebenarnya secara substansi sepi dari gagasan politik itu sendiri. Tidak jelas lagi apa perbedaan platform satu partai dengan partai lainnya, kecuali beda warna baju dan benderanya saja. Partai politik kita miskin gagasan – dan identitas – sehingga hampir tidak perlu dikawin-kawinkan, toh “jenis kelamin”-nya sama saja. Sekalipun penggunaan asas tunggal Pancasila telah dicabut, tetap saja “asas” mereka sama, yaitu berjuang demi sebesar-besar kemakmuran kelompoknya sendiri! Ideologi mereka sama, yaitu hedonisme dan kroni-isme. Kalaupun mereka mengaku-aku berkoalisi atau saling berkomitmen, itu hanyalah koalisi kepentingan dan komitmen jangka pendek belaka. Manuver-manuver partai itu tidak lebih hanyalah politik dalam perkawinan belaka. Jika ada kesempatan untuk menyalip, maka mereka pun tak segan untuk saling telikung. Begitulah politik, tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Menikah untuk bercerai, bercerai untuk rujuk, begitu seterusnya. 
Terakhir - dan paling penting - perkawinan itu sesuatu yang sifatnya suci, sakral dan berdurasi panjang. Ia dibangun diatas pondasi cinta, kesetiaan, kejujuran dan saling menerima kekurangan. Perkawinan yang hanya dilandasi oleh nafsu, harta dan kekuasaan jelas tidak akan bertahan lama. Kita semua tentu senang melihat keluarga pembesar negeri hidup rukun dan bahagia. Lebih senang lagi jika kebahagiaan yang dirasakan oleh para pembesar negeri itu juga menetes ke bawah, ke kolong-kolong jembatan, ke lorong-lorong gang kumuh, hingga ke ujung pelosok negeri. Tempat dimana jutaan anak negeri yang miskin ikut terharu, berdoa dan bergembira menyambut perkawinan putra-putri pembesar negeri. Semoga dari pasangan pembesar negeri ini kelak lahir pemimpin-pemimpin yang paham benar bahwa tujuannya berpolitik adalah untuk mensejahterakan seluruh kaumnya tanpa kecuali

4 comments:

  1. "NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme)"

    menurut saya enggak bisa dikawinkan karena inti dari komunisme sendiri adalah TIDAK BERTUHAN.Tidak sejalan dengan agama yang bertuhan.Kalau di Indonesia mungkin bisa (itupun masih carut-marut.Untung Bung Karno dekat sama Ulama yang takut sama Allah kalau tidak.Wassalam negeri ini)

    ReplyDelete
    Replies
    1. This comment has been removed by a blog administrator.

      Delete
  2. Benar sekali bahwa komunisme dan agama (islam) itu saling bertentangan, namun dalam kacamata Bung Karno muda, keduanya merupakan arus ideologi politik yang paling dominan dalam melawan penjajah Belanda kala itu. Belanda dianggap sebagai kapitalis-imperialis oleh golongan Marxis, dan dianggap kristen-misionaris bagi golongan Islam (Tempo, 2010:4). Pada titik ini Bung Karno dengan Jenius berusaha “menjembatani” dan “mengawinkan” dua ideologi ini (plus nasionalisme) untuk bersatu dalam perjuangan meraih kemerdekaan. Bung karno - seperti yang tertuang dalam bukunya “Di Bawah Bendera Revolusi I” - sama sekali tidak bermaksud menyatukan cara berkeTuhanan atau tidak-berketuhanan mereka, melainkan menyatukan tujuan-tujuan politik mereka yaitu mendapatkan kemerdekaan.

    Namun apakah mereka tidak bisa disatukan? Ya,memang, terbukti ketika masa setelah kemerdekaan dimana masing-masing golongan (partai politik) berhaluan komunisme, islam dan nasionalis justru saling bersaing dan menjatuhkan satu sama lain. Di atas keprihatinan itu, bung karno berusaha mengulang kembali gagasannya di kala muda melalui jargon “revolusi belum selesai” dan “Nasakom” di ujung kejayaannya, namun terbukti gagal.

    Catatan :
    Bung Karno memiliki gagasan seperti itu karena sejak sekolah di HBS (Hogere Burger School) Surabaya, bung karno sudah berkenalan dan menyerap gagasan politik dari beragam aliran. Disana ia tinggal di rumah HOS Cokroaminoto, tokoh Sarekat Islam. Disana ia belajar dari H. Agus Salim seorang tokoh militan Islam. Disana juga ia belajar dari tokoh-tokoh sosialis-kiri seperti Alimin, Muso, Dharsono. Ia juga berkenalan dengan tokoh Marxis seperti H. Sneevliet, Adolf Baars dan C. Hartogh (Kasenda, 2010:16). Disinilah pendidikan dan sosialisasi politik pertama Sukarno yang kemudian mempengaruhi pandangan-pandangan politiknya kelak.

    salam.
    Y.E.P

    ReplyDelete
  3. Anda salah bung...komunisme pada dasarnya tidak ada kaitannya dg masalah teologis (ketuhanan). Komunisme adalah gerakan sosial-politik utk menghilangkan kelas/kasta dalam masyarakat (common=umum, komunal)..jadi tujuan komunisme adalah masyarakat tanpa kelas, sama rata sama rasa.... Komunisme bukan gerakan keagamaan/anti keagamaan sama sekali.
    Anda pasti belum pernah baca teori komunisme bung..makanya pengertiannya sempit sekali..persis spt yg didengung2kan orde baru bahwa komunisme anti tuhan. Komunisme beda banget dengan atheisme bung....
    mrbayoo@yahoo.com

    ReplyDelete