Sebuah perkawinan luar biasa
berlangsung sudah. Putra orang nomor satu di negeri ini mempersunting putri
orang nomor satu dari salah satu partai besar yang sekaligus adalah menteri koordinator
perekonomian RI. Peristiwa bahagia ini tentu saja menyedot banyak perhatian.
Selain karena melibatkan nama-nama besar, juga karena terlalu sayang untuk dilewatkan
begitu saja. Membayangkan pernikahan dua keluarga pembesar negeri itu, laksana
penyatuan dua buah kerajaan di masa lalu. Sebuah dinasti keluarga baru telah
terbentuk.
Mau tidak mau, suka tidak
suka, tindakan seorang politisi akan selalu dianggap sebagai manuver. Politisi
tidak akan pernah bebas dari politik itu sendiri. Maka wajar jika kemudian
banyak tanggapan berbau politis dari publik itu sendiri. Ada yang menganggapnya
sebagai “perkawinan politik”, dimana penyatuan dua keluarga besar pemimpin
tertinggi partai politik akan menyeret pula gerbong besar di belakang mereka.
Baik gerbong kepentingan maupun tujuan politik keduanya. Toh hampir bisa dikatakan pemimpin mereka telah tinggal dalam “satu rumah”.
Terlepas dari spekulasi
semacam itu, yang menggelitik penulis adalah penggunaan istilah perkawinan
politik itu sendiri. Jika kita telaah, perkawinan politik bermakna politik-nya
yang dikawinkan. Jika politik diartikan sebagai gagasan dan cara orang mencapai
tujuan-tujuannya, maka perkawinan politik berarti penyatuan dua gagasan, cara
dan tujuan yang berbeda ke dalam sebuah ikatan komitmen untuk saling bersatu,
mengasihi dan melindungi satu sama lain. Jika makna perkawinan (dalam) politik
ini memang demikian, maka salah satu contoh yang tepat adalah seperti yang pernah
digagas oleh Bung Karno di masa lalu.
Bung Karno muda pernah
mengawinkan tiga haluan politik yang berbeda, yaitu Marxisme, Islamisme dan
Nasionalisme. Perkawinan ketiga ideologi politik yang saling bertentangan itu
pun ternyata dapat beliau ikat dalam janji komitmen untuk bersama-sama
memperjuangkan kemerdekaan bangsa terlebih dahulu, sebelum sibuk dengan urusan
lain yang dianggapnya lebih kecil. Sampai di usia senja, Bung Karno masih setia
dan berkomitmen dengan ide perkawinannya itu, malah Ia mempertegasnya dalam
jargon NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Terlepas dari langgeng
tidaknya perkawinan politik tersebut, yang jelas seperti itulah contoh sebuah
perkawinan politik, yaitu mengikat dua atau lebih haluan politik yang berbeda (bahkan
bertentangan) ke dalam satu komitmen dan tujuan bersama.
Apakah perkawinan dua keluarga
pembesar negeri kita kemarin adalah bentuk perkawinan politik? atau itu hanyalah
“politik perkawinan”? Artinya, perkawinannya yang dipolitisasi. Politik (dalam)
perkawinan bermakna masing-masing pihak menggunakan caranya sendiri-sendiri
untuk mencapai tujuannya. Seperti halnya mahligai perkawinan orang biasa, suami
berpolitik terhadap istri dan istri berpolitik terhadap suami. Mungkin saja
tujuan berpolitik suami-istri itu baik, yaitu untuk menjaga keharmonisan dan
kelanggengan rumah tangga mereka. Akan tetapi, bisa jadi pula mereka berpolitik
kotor, alias menghalalkan segala cara untuk menjaga citra dan menutupi
perselingkuhan atau kejahatan di belakang pasangannya melalui kebohongan yang
disusun secara indah dan sistematis. Tapi entahlah, bukan kapasitas orang kecil
seperti kita untuk mengorek-ngorek motivasi perkawinan keluarga pembesar
negeri. Yang penting bagi kita adalah bisa membedakan mana perkawinan politik
dan mana politik perkawinan. Itu saja.
Hal ini penting karena
dinamika politik yang riuh rendah di negeri ini sebenarnya secara substansi
sepi dari gagasan politik itu sendiri. Tidak jelas lagi apa perbedaan platform satu partai dengan partai
lainnya, kecuali beda warna baju dan benderanya saja. Partai politik kita
miskin gagasan – dan identitas – sehingga hampir tidak perlu dikawin-kawinkan,
toh “jenis kelamin”-nya sama saja. Sekalipun penggunaan asas tunggal Pancasila
telah dicabut, tetap saja “asas” mereka sama, yaitu berjuang demi sebesar-besar
kemakmuran kelompoknya sendiri! Ideologi mereka sama, yaitu hedonisme dan
kroni-isme. Kalaupun mereka mengaku-aku berkoalisi atau saling berkomitmen, itu
hanyalah koalisi kepentingan dan komitmen jangka pendek belaka. Manuver-manuver
partai itu tidak lebih hanyalah politik dalam perkawinan belaka. Jika ada
kesempatan untuk menyalip, maka mereka pun tak segan untuk saling telikung. Begitulah
politik, tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Menikah untuk bercerai,
bercerai untuk rujuk, begitu seterusnya.
Terakhir - dan paling penting - perkawinan itu sesuatu yang sifatnya
suci, sakral dan berdurasi panjang. Ia dibangun diatas pondasi cinta,
kesetiaan, kejujuran dan saling menerima kekurangan. Perkawinan yang hanya
dilandasi oleh nafsu, harta dan kekuasaan jelas tidak akan bertahan lama. Kita
semua tentu senang melihat keluarga pembesar negeri hidup rukun dan bahagia.
Lebih senang lagi jika kebahagiaan yang dirasakan oleh para pembesar negeri itu
juga menetes ke bawah, ke kolong-kolong jembatan, ke lorong-lorong gang kumuh,
hingga ke ujung pelosok negeri. Tempat dimana jutaan anak negeri yang miskin ikut
terharu, berdoa dan bergembira menyambut perkawinan putra-putri pembesar
negeri. Semoga dari pasangan pembesar negeri ini kelak lahir pemimpin-pemimpin
yang paham benar bahwa tujuannya berpolitik adalah untuk mensejahterakan
seluruh kaumnya tanpa kecuali
"NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme)"
ReplyDeletemenurut saya enggak bisa dikawinkan karena inti dari komunisme sendiri adalah TIDAK BERTUHAN.Tidak sejalan dengan agama yang bertuhan.Kalau di Indonesia mungkin bisa (itupun masih carut-marut.Untung Bung Karno dekat sama Ulama yang takut sama Allah kalau tidak.Wassalam negeri ini)
This comment has been removed by a blog administrator.
DeleteBenar sekali bahwa komunisme dan agama (islam) itu saling bertentangan, namun dalam kacamata Bung Karno muda, keduanya merupakan arus ideologi politik yang paling dominan dalam melawan penjajah Belanda kala itu. Belanda dianggap sebagai kapitalis-imperialis oleh golongan Marxis, dan dianggap kristen-misionaris bagi golongan Islam (Tempo, 2010:4). Pada titik ini Bung Karno dengan Jenius berusaha “menjembatani” dan “mengawinkan” dua ideologi ini (plus nasionalisme) untuk bersatu dalam perjuangan meraih kemerdekaan. Bung karno - seperti yang tertuang dalam bukunya “Di Bawah Bendera Revolusi I” - sama sekali tidak bermaksud menyatukan cara berkeTuhanan atau tidak-berketuhanan mereka, melainkan menyatukan tujuan-tujuan politik mereka yaitu mendapatkan kemerdekaan.
ReplyDeleteNamun apakah mereka tidak bisa disatukan? Ya,memang, terbukti ketika masa setelah kemerdekaan dimana masing-masing golongan (partai politik) berhaluan komunisme, islam dan nasionalis justru saling bersaing dan menjatuhkan satu sama lain. Di atas keprihatinan itu, bung karno berusaha mengulang kembali gagasannya di kala muda melalui jargon “revolusi belum selesai” dan “Nasakom” di ujung kejayaannya, namun terbukti gagal.
Catatan :
Bung Karno memiliki gagasan seperti itu karena sejak sekolah di HBS (Hogere Burger School) Surabaya, bung karno sudah berkenalan dan menyerap gagasan politik dari beragam aliran. Disana ia tinggal di rumah HOS Cokroaminoto, tokoh Sarekat Islam. Disana ia belajar dari H. Agus Salim seorang tokoh militan Islam. Disana juga ia belajar dari tokoh-tokoh sosialis-kiri seperti Alimin, Muso, Dharsono. Ia juga berkenalan dengan tokoh Marxis seperti H. Sneevliet, Adolf Baars dan C. Hartogh (Kasenda, 2010:16). Disinilah pendidikan dan sosialisasi politik pertama Sukarno yang kemudian mempengaruhi pandangan-pandangan politiknya kelak.
salam.
Y.E.P
Anda salah bung...komunisme pada dasarnya tidak ada kaitannya dg masalah teologis (ketuhanan). Komunisme adalah gerakan sosial-politik utk menghilangkan kelas/kasta dalam masyarakat (common=umum, komunal)..jadi tujuan komunisme adalah masyarakat tanpa kelas, sama rata sama rasa.... Komunisme bukan gerakan keagamaan/anti keagamaan sama sekali.
ReplyDeleteAnda pasti belum pernah baca teori komunisme bung..makanya pengertiannya sempit sekali..persis spt yg didengung2kan orde baru bahwa komunisme anti tuhan. Komunisme beda banget dengan atheisme bung....
mrbayoo@yahoo.com