24 November 2011

Musim Hajatan, Musim Berutang

Inilah Koran, Kamis 24 November 2011, Hal 8 (Aspirasi)


Oleh : Yanu Endar Prasetyo
(artikel versi lengkap)


Keluarga Mang Djaja (55 tahun) baru saja menyelenggarakan pesta hajatan pernikahan putrinya yang kedua. Putrinya itu berumur 18 tahun dan baru saja lulus SMK. Bagi Mang Djaja dan keluarga, menyelenggarakan pesta pernikahan merupakan sebuah kewajiban. Sebab, sesuai tradisi di Sunda – dan masyarakat Jawa – pada umumnya, pihak perempuan adalah tuan rumah utama dalam upacara pernikahan. Sedangkan pesta di keluarga laki-laki sifatnya opsional, boleh ada boleh tidak.

Dalam menyelenggarakan hajat tersebut, Mang Djaja dan keluarga telah terlibat dalam sistem gantangan” atau “gintingan. Menurut Mang Djaja, sistem gantangan ini belum lama masuk ke desanya. Pada waktu Mang Djaja masih kecil, sistem gantangan ini belum muncul, yang ada adalah tradisi nyumbang dan gotong royong biasa. Namun, dua puluh tahun terakhir, sejak kampung Cicadas mulai ramai oleh pendatang dari daerah utara Subang, tradisi gantangan ini mulai marak. Lambat laun, penduduk asli di kampung ini pun terbawa dalam sistem gantangan ini.

Sebagai sebuah keluarga yang “pas-pasan” secara ekonomi, Mang Djaja dapat menyelenggarakan pesta hajat pernikahan ini melalui modal bantuan dari saudara-saudaranya yang masih tinggal berdekatan di kampung itu juga. Dari modal pinjaman yang terkumpul, Mang Djaja mengundang 300-an orang. Menurutnya, undangan sebanyak itu termasuk kategori “kecil” untuk sebuah pesta pernikahan. Dibandingkan dengan tetangga atau keluarga lain yang biasanya menyebarkan lebih dari 500 undangan. Dengan modal yang ada Mang Djaja pun “hanya mampu menyewa organ tunggal sebagai hiburan dalam pesta. Mengingat, hiburan atau kesenian yang disewa ketika hajatan ini adalah simbol dari status sosial empunya hajat. Semakin meriah dan mewah hiburannya, maka semakin tinggi prestise keluarga tersebut.

Berbeda dengan Pak Djaja Menurut Pak Yayan (50 tahun) yang tinggal di desa Padamulya, Kec. Cipunagara, tradisi gantangan sudah ada sejak ia kecil. Tradisi gantangan ini semakin berkembang dan meluas sampai sekarang. Menurutnya, tradisi gantangan ini merupakan simbol “pengikat” dan tanda “gotong royong” sesama warga kampung. Jika ada diantara warga yang tidak ikut tradisi ini, maka tetangga yang lain akan enggan untuk menolong keluarga itu jika suatu saat mereka membutuhkan (membangun rumah, menikahkan anak, kematian, dll).

Tradisi Gantangan di desa Padamulya pada umumnya diselenggarakan ketika musim panen padi tiba. Mereka akan menunggu musim panen ini untuk “narik” gantangan, sehingga warga desa tidak akan kesulitan untuk menyumbang atau membayar hutang-hutang mereka. Berbeda dengan di desa lain yang mulai tidak mengenal waktu. Panen atau tidak panen mereka tetap saja menyelenggarakan gantangan. Seperti yang terjadi di desa Gembor, Kec. Pagaden, banyak yang sudah mulai menggunakan emas 3-5 gram sebagai bahan “simpanan gantangan”. Di desa lain malah ketika ada yang membangun rumah, maka tetangga sekitar ada yang menyumbangkan semen, pasir, bata, dan bahan bangunan lainnya yang nantinya dicatat oleh keduanya dan dianggap sebagai hutang piutang.

Banyak saudara Pak Yayan yang tinggal di desa Gembor itu sampai kehilangan harta benda dan sawahnya dikarenakan oleh hutang gantangan yang menumpuk. Biasanya mereka yang bangkrut adalah yang tidak memanfaatkan hasil gantangan ini untuk kegiatan produktif (membeli sawah/tanah) melainkan hanya untuk konsumsi, seperti membeli kendaraan baru. Sehingga ketika hutang mereka ditagih secara bersamaan dan dalam jumlah yang besar, mereka terpaksa menjual kembali barang-barang tersebut dengan harga yang lebih murah dibandingkan ketika mereka membelinya.

Desa Gmebor ini memang berbeda dengan Desa Padamulya. Di desa ini marak sekali lahan-lahan sawah yang dikonversi menjadi kolam ikan air tawar. Sementara di desa Padamulya masih didominasi oleh hamparan padi, Desa Gembor ini sudah hampir separuh lahan sawahnya berupa balong. Maraknya budidaya kolam air tenang (KAT) ini berarti juga mengindikasikan gejala tertentu.  Pertama, desa ini berarti sudah masuk ke dalam sebuah sistem ekonomi pasar yang terhubung jauh hingga ke luar daerahnya. Dalam konteks ini, maka para petani ikan di desa gembor ini telah secara langsung bersentuhan dengan dinamika pasar ikan di luar sana, utamanya soal fluktuasi harga ikan yang pada ujungnya akan menentukan nasib dan kesejahteraan mereka.

Kedua, implikasi dari masuknya petani ke dalam sebuah sistem pasar komoditas tertentu secara sadar atau tidak telah membawa alam berpikir “komersil” semakin dominan dalam kehidupan sosial mereka. Diperolehnya Cash money dan panen yang lebih cepat dan lebih sering (dibandingkan dengan budidaya padi) membuat “waktu” menjadi “lebih berharga” dari sebelumnya. Mereka berlomba dengan waktu untuk mengejar “musim” dan “permintaan pasar” sedemikian rupa hingga perlahan petani mulai “kekurangan waktu” untuk kegiatan-kegiatan bersama warga lainnya. Petani ikan jauh “lebih sibuk” dibandingkan dengan petani konvensional (padi dan kebun). Pada konteks masyarakat seperti inilah kemudian komersialisasi ekonomi nampak lebih nyata dan komersialisasi sosial pun juga merajalela.

Di desa Gembor ini, hajat gantangan sudah semakin ekstrim. Tidak mengenal waktu dan bahkan merambah hingga penggunaan momen kematian (non-siklus bahagia) seseorang untuk dijadikan wahana gantangan (menarik simpanan). “bahkan sekarang mungkin sudah bukan gantangan (10 Liter beras) lagi, tapi sudah kuintalan (> 100 kg beras)” cetus Danur, salah seorang warga desa Gembor. “Bahkan saya masih ingat”, lanjutnya, “jika waktu kecil dulu masih ada beras yang memang “diberikan” dan “beras dan dihutangkan”, maka sekarang semua sudah dianggap menjadi “hutang”. Menurut Danur, gantangan ini telah dijadikan sebagai ajang “bisnis”. Banyak fenomena orang yang tidak punya modal sekalipun dapat menyelenggarakan hajat dengan mengandalkan “simpanan” dari tetangga sekitarnya. Jika dulu orang datang membawa beras dengan dijinjing atau digendong, maka sekarang sudah memakai motor dengan karung-karung beras dibelakangnya.

Gantangan ini akan dilakukan seseorang ketika dia “membutuhkan uang”. Misalnya, ketika seseorang ingin memperbaiki rumah tetapi tidak punya uang, maka ia tinggal menuliskan undangan “gantangan” di atas bungkung sabun colek atau teh lalu dibagikan kepada tetangga, kerabat dan teman-teman desanya. Dalam waktu singkat, bahan-bahan makanan maupun bangunan yang ia butuhkan akan segera terkumpul. Tentu saja itu semua akan dicatat menjadi hutangnya. Dalam kondisi semacam ini, maka penulis melihat bahwa sistem gantangan ini dapat menjadi semacam “asuransi informal” atau “bank simpan pinjam kolektif” yang dapat diandalkan oleh masyarakat di pedesaan Subang. Ketika seseorang atau rumah tangga membutuhkan, maka sistem sosial yang ada di desa itu mampu “menopang” kebutuhannya tersebut. Sekarang masalahnya, seberapa ringan atau berat “beban pengembalian” yang harus ditanggung oleh rumah tangga pelaku gantangan ini? Mengingat orang lain juga memiliki kebutuhan yang sama. Di sisi lain, mengecilnya sumber daya produktif di pedesaan juga akan berpengaruh kepada kesejahteraan masing-masing keluarga.

Dilihat dari sudut pandang para pelaku, terlibat dalam tradisi gantangan semacam ini bisa untung, impas, atau rugi. Disebut untung jika simpanan sudah banyak, sehingga waktu ditarik lebih terasa besarnya. Disebut impas jika modal untuk hajat diperoleh dari pinjaman, maka hasil gantangan-nya akan digunakan untuk membayar kembali hutang-hutangnya tersebut. Disebut rugi jika setelah hajat, datang undangan narik dari orang lain yang datang secara bersamaan dengan jumlah yang besar. Tanah dan rumah pun bisa terjual dalam kondisi seperti ini. Tidak ada yang berani menghindar atau menunda dari kewajiban timbal balik dalam sistem gantangan ini. Sebab, jika tidak membayar ia akan ditagih dan didatangi langsung oleh empunya hajat. Persis seperti yang dialami oleh Ai’ dan suaminya, pasangan pengantin baru dari Kecamatan Compreng.

Hari-hari ini, Ai’ dan suami serta orang tuanya sedang “kebajiran undangan”. Dalam seminggu bisa ada 4 undangan “narik” dari tetangga, yang nilainya (beras dan uang) rata-rata Rp.600.000-Rp.1.000.000,-/undangan. “Pusing” kata Ai’. Tetapi itu wajib dikembalikan. Gantangan ini memang enak ketika menerimanya, tetapi berat ketika mengembalikannya lagi. Menurut Aan, setiap orang di desanya, baik kaya maupun miskin juga terlibat dalam tradisi ini. Betapapun memberatkan, mereka tetap harus mengembalikan hutang-hutang mereka. Selain uang dan beras, kue-kue (opak dan rangginang) juga dicatat sebagai hutang dan harus dikembalikan sesuai jumlah yang pernah diterimanya. Setiap orang tidak akan lupa berapa jumlah hutang atau simpanan mereka, karena semuanya dicatat dengan rapi di dalam buku gantangan. 

No comments:

Post a Comment