06 February 2012

Titik Nadir Partai Politik


Artikel ini dimuat di Harian Inilah Koran, edisi Senin, 6 Februari 2012, hal Aspirasi (8)

Oleh : Yanu Endar Prasetyo

Kritik dan kecaman yang membanjiri DPR belakangan ini secara tidak langsung juga merupakan tamparan keras bagai partai politik (Parpol) di Indonesia. Gaya hidup mewah, pemborosan anggaran hingga indikasi korupsi yang melilit politisi yang duduk di DPR dan DPRD seakan melengkapi ambruknya integritas wakil rakyat yang notabene dicetak dan dikader oleh Parpol tersebut. Bukan sekarang saja, hampir setiap tahun sejak reformasi digulirkan, gedung wakil rakyat tidak pernah sepi dari berbagai skandal yang menggaduhkan ruang publik. Tindakan asusila, pornografi, kinerja buruk, jual beli peraturan dan anggaran, tidur dan membolos ketika rapat, hingga politik uang dalam pemilihan pejabat publik silih berganti menjadi headline di media.

Rapuh dan keroposnya pendidikan etika politik di setiap tubuh Parpol turut memberi andil dari bobroknya wajah para wakil rakyat. Akar dari buruknya sistem di Parpol kita hari ini tidak lain dan tidak bukan adalah akibat dari monetisasi dan komersialisasi politik yang kebablasan. Ideologi perjuangan, kedekatan dengan rakyat dan visi misi partai menjadi tinggal pemanis bibir belaka, karena sejatinya mereka hanya berlomba untuk menumpang hidup dan mengeruk keuntungan melalui Parpol. Bekerja untuk kepentingan rakyat? ah, emang gue pikirin. Ketika Parpol telah terbeli oleh uang, maka drama politik selanjutnya adalah penggerogotan pada sumber-sumber keuangan negara dan hancurnya sistem tata kelola pemerintahan kita. Ini bukan hipotesa, tetapi memang sudah nyata terjadi seperti sekarang ini.

Parpol yang seharusnya menjadi lokomotif perubahan, ternyata justru menjadi benalu pembangunan. Melalui aktor-aktor yang mereka bidani dan dudukkan pada posisi strategis, mereka justru menjarah uang rakyat. Anggaran yang seharusnya bermanfaat untuk kepentingan publik malah menjadi bancakan Parpol di Badan Anggaran. Parpol yang seharusnya memberikan pendidikan politik yang santun dan bermartabat, justru mempertontonkan saling lempar tanggung jawab ketika terjadi masalah. Dalam hal renovasi gedung DPR misalnya, tidak ada seorang pun yang secara jantan berdiri di depan untuk bertanggungjawab. Sebaliknya, yang terjadi adalah main tuding, main lapor dan saling mencuci tangan. Pantas saja jika masyarakat semakin geli, geram dan bahkan marah melihat tingkah laku DPR yang – meminjam istilah Gus Dur – masih seperti Taman Kanak-Kanak (TK) itu.

Ini adalah alarm keras bagi Parpol untuk membenahi diri. Jika proses rekruitmen, pendidikan, sosialisasi dan pencitraan politik dibiarkan seperti sekarang, maka jangan harap konsolidasi politik di tahun 2014 atau tahun-tahun berikutnya akan terwujud. Sebaliknya, kekecewaan dan kemarahan publik justru yang akan terakumulasi dan bisa meledak menjadi gejolak sosial yang tak terkendali. Jika demokrasi diibaratkan bangunan rumah, maka partai politik adalah salah satu pilar penyangganya. Manakala pilar itu keropos dan ambruk dimakan rayap-rayap dan tikus-tikus korup, maka mimpi demokrasi membawa kesejahteraan dan kemajuan itu hanyalah ilusi belaka. Sebagai penentu dan pembuat aturan main politik, kunci perubahan tentu saja masih ada di tangan Parpol itu sendiri, bukan yang lain.

No comments:

Post a Comment