27 January 2012

Pengemis dan Sosialisasi Kemiskinan

Artikel ini dimuat di Harian Inilah Koran, Edisi Jumat 27 Januari 2012, halaman Aspirasi (8)

Oleh : Yanu Endar Prasetyo


Fenomena makin merebaknya pengemis di bawah umur benar-benar membuat gelisah. Saya prihatin dari dua sisi sekaligus, pertama dari makin beragamnya penyebab mereka turun ke jalan dan kedua dari dampak pembiaran (baik oleh pemerintah maupun masyarakat sendiri) terhadap fenomena ini yang sungguh sangat dahsyat dimasa mendatang. Dilihat dari aspek penyebab bertambahnya pengemis di bawah umur, nampaknya tidak lagi hanya sekedar desakan ekonomi, tetapi sudah menunjukkan indikasi kebudayaan kemiskinan yang semakin akut. Jika dahulu kita hanya melihat pengemis difabel atau lansia, maka fenomena hari ini menunjukkan sebuah potret “keluarga utuh” yang turun ke jalan. Mereka terdiri dari perempuan (sambil menggendong bayi, entah bayi sendiri, orang lain atau justru korban perdagangan manusia), anak-anak di bawah usia 15 tahun, difabel, dan lansia.


Kebudayaan kemiskinan disini dipahami sebagai sebuah proses dimana kemiskinan telah disosialisasikan sejak dini dan menjadi gaya hidup. Bahayanya, budaya kemiskinan ini tidak hanya diajarkan dan diwariskan dalam kondisi keterpaksaan belaka, tetapi sudah menjadi strategi bertahan hidup. Baik oleh suatu rumah tangga tertentu dan bahkan oleh komunitas. Sungguh mengerikan ketika mengemis dan turun ke jalan ini menjadi pilihan profesi dan pendidikan sejak dini. Satu atau bahkan dua generasi penerus Indonesia akan menjadi generasi yang hilang (the lost generation). jauh lebih berbahaya dari kehilangan lahan pertanian produktif yang digusur secara sistemik oleh mesin-mesin pembangunan.

Kebudayaan kemiskinan yang disosialisasikan sejak dini dari orang tua kepada anak-anak ini, sekalipun kemudian berhasil diselamatkan, tetap akan menyisakan pengaruh psikologis dan sosiologis yang bersifat jangka panjang. Dunia jalanan yang memberikan kebebasan penuh dan “hukum rimba” itu akan membuat anak-anak kita memiliki cara pandang berbeda terhadap dunia. Norma dan nilai-nilai jalanan tentu akan melekat erat dan mempengaruhi kepribadian mereka kelak ketika dewasa. Sungguh tidak bisa dibayangkan kini ribuan anak-anak telah terlilit langsung dalam lingkaran budaya kemiskinan ini. Bukan orang lain, tetapi mungkin orang tua dan komunitasnya sendiri yang menjerumuskan mereka.

Jaminan Sosial

Barangkali sudah terlalu kompleks persoalan pengemis dan kemiskinan kita hari ini. Diperlukan kajian yang lebih mendalam dari sisi jumlah, pola, mobilitas dan sebab-musabab meningkatnya pengemis di bawah umur. Pemecahan umumnya adalah dengan mengobati segala penyebab orang turun ke jalan. Konstitusi kita (pasal 34 ayat 2) sebenarnya telah mengamanatkan agar negara menyelenggarakan jaminan sosial bagi setiap warga negaranya. Ketika orang kehilangan kesempatan untuk bekerja, maka sistem perlindungan dan jaminan sosial itu seharusnya yang menjadi katup penyelamat mereka agar tidak turun ke jalan. Terlebih, ketika sistem kekerabatan dan sistem sosial lainnya tidak lagi mampu mengatasi goncangan ekonomi rumah tangga. Negara harus turun tangan dengan menyusun sistem perlindungan/jaminan sosial yang adil bagi setiap warga negara. Sebelum semuanya terlambat. 

Penulis Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB Bogor

1 comment:

  1. Pemerintah harus bertangung jawab menyelesaikan kemiskinan yg terjadi negara Indonesia.

    ReplyDelete