04 November 2012

Inovasi Untuk Daya Saing Bangsa


Oleh : Yanu Endar Prasetyo

            Daya saing suatu bangsa memang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, insfrastruktur dan lain sebagainya. Namun salah satu faktor kunci yang tidak dapat dilupakan dalam upaya peningkatan daya saing tersebut adalah tingkat inovasi suatu bangsa. Salah satu penanda tingkat inovasi ini biasanya diukur dari seberapa banyak penerapan paten di suatu negara. Sebagai contoh, tahun 2008, Jepang menghasilkan paten terbanyak dengan mencapai lebih dari 500 ribu aplikasi paten. Hal ini tentu berbanding lurus dengan Anggaran RnD (Research and Development) yang disediakan negeri itu yang mencapai sekitar US$ 144 miliar. Dibawah Jepang adalah Amerika Serikat dengan jumlah paten lebih dari 400 ribu aplikasi dengan total anggaran RnD lebih dari US$ 400 miliar USD. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya memiliki anggaran RnD US$ 0,72 miliar dan hanya menghasilkan aplikasi paten sebanyak 23 buah saja. Angka ini jauh tertinggal dibanding dengan negara tetangga Malaysia yang menghasilkan 1.312 paten, dengan anggaran RnD US$ 2,3 miliar, ataupun Thailand sebanyak 986 aplikasi paten, dengan anggaran RnD US$ 1,46 miliar.

Situasi diatas kemudian diperburuk dengan kondisi bangsa secara umum yang masih terbelenggu oleh permasalahan mendasar seperti korupsi, inefisiensi anggaran, hambatan birokrasi, dan pesatnya peningkatan golongan kelompok kelas menengah yang tidak diimbangi oleh pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum lainnya. Wajar jika kemudian World Economic Forum (WEF) memangkas peringkat daya saing Indonesia (global competitiveness index/GCI) dari posisi 46 (2011) menjadi posisi 50 (2012) dari 144 negara. Peringkat daya saing ini sangat penting di mata investor, sehingga penurunan daya saing biasanya akan diikuti oleh penurunan investasi. Bahkan selama tiga tahun terakhir, skor GCI Indonesia stagnan pada angka 4,4 (skor 1-7). Daya saing institusi, infrastruktur, efisiensi pasar tenaga kerja, dan kesiapan teknologi Indonesia tercatat memiliki nilai rendah yaitu di bawah angka 4. 

Inovasi Akar Rumput
Minimnya anggaran RnD memang masih menjadi masalah sentral dalam pengembangan inovasi secara nasional. Dana riset dan pengembangan Indonesia adalah 0,15% dari PDB, jauh di bawah Jepang sebesar 3,5% dan India 1,5%, dan bahkan Malaysia sebesar 0,5%. Namun, apakah dengan kondisi semacam ini apakah pengembangan inovasi harus terhambat? Sebenarnya Indonesia harus belajar dari beberapa negara maju yang telah berhasil menjalin dan menerapkan kerja sama segitiga (triple helix/ABG) antara Akademisi (Academic), Bisnis (Bussiness) dan Pemerintah (Government) dengan sangat kuat. Bahkan di negara maju, 80% dana riset berasal dari swasta. Dengan demikian pembiayaan riset tidak melulu dari pemerintah karena pihak industri ataupun swasta di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, ikut berkontribusi yang cukup besar dalam menunjang riset universitas dan institusi penelitian.

Disamping itu, peningkatan daya saing bangsa sebenarnya juga dapat dilakukan dengan mendorong inovasi dari akar rumput (grassroots innovation/GRI). Inovasi akar rumput atau GRI ini masih belum dikembangkan secara optimal. Jangankan untuk dikembangkan, penelusuran dan pendokumentasiannya pun belum dilakukan secara terstrutur dan sistematis. GRI ini memang “istimewa”, sebab karakteristiknya berbeda dengan inovasi teknologi biasanya. GRI merupakan inovasi yang asli milik masyarakat. Penemuannya tidaklah dari hasil pendanaan pemerintah maupun swasta, melainkan dari pengetahuan, kearifan dan kecerdasan masyarakat pemiliknya. Sebagai contoh, bagaimana para petani kita selama berabad-abad dan turun temurun telah mampu memuliakan benih padi, jagung dan tanaman lainnya secara mandiri. Sayangnya, inovasi mereka itu pun harus kandas justru oleh berbagai peraturan dan kesepakatan yang dibuat oleh negara yang seharusnya melindungi dan mendorong inovasi tersebut.

Selain dalam proses budidaya, banyak GRI juga muncul dalam aktivitas pasca panen dan industri kreatif lainnya yang dimiliki oleh masyarakat. Disamping batik, angklung, dan rendang yang telah mendapat pengakuan UNESCO sebagai warisan budaya nusantara, tentunya masih banyak jajanan, kuliner dan inovasi kreatif lainnya yang bisa diangkat untuk lebih memperkenalkan Indonesia dimata dunia. Gerakan pendataan kekayaan inovasi akar rumput yang sistematis dengan ditambah kepedulian ABG untuk turut bersinergi tentu akan menjadi motor penggerak daya saing bangsa yang luar biasa. Institusi paling cocok mengembangkan inovasi akar rumput dan menampung uluran tangan ABG itu tentu saja adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang kita tahu jumlahnya mencapi 55,2 juta unit dan mampu menyerap 97% tenaga kerja. Pada akhirnya, misi peningkatan daya saing bangsa ini bukan hanya pada peningkatan angka-angka pertumbuhan ekonomi dan peringkat daya saing belaka, melainkan juga memberikan manfaat nyata bagi para penemu dan pemiliknya, yaitu bangsa indonesia itu sendiri. Relevan dengan GRI yang banyak berada di pedesaan, maka yang nanti akan mendapat lebih banyak manfaat seharusnya adalah masyarakat pedesaan, yang notabene masih menjadi sarang kemiskinan di negeri ini.      

Penulis;  Staf Peneliti di Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna-LIPI


No comments:

Post a Comment