Oleh : Yanu Endar Prasetyo
Daya
saing suatu bangsa memang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti pendidikan,
kesehatan, ketenagakerjaan, insfrastruktur dan lain sebagainya. Namun salah
satu faktor kunci yang tidak dapat dilupakan dalam upaya peningkatan daya saing
tersebut adalah tingkat inovasi suatu bangsa. Salah satu penanda tingkat
inovasi ini biasanya diukur dari seberapa banyak penerapan paten di suatu
negara. Sebagai contoh, tahun 2008, Jepang menghasilkan paten terbanyak dengan
mencapai lebih dari 500 ribu aplikasi paten. Hal ini tentu berbanding lurus
dengan Anggaran RnD (Research and
Development) yang disediakan negeri itu yang mencapai sekitar US$ 144
miliar. Dibawah Jepang adalah Amerika Serikat dengan jumlah paten lebih dari
400 ribu aplikasi dengan total anggaran RnD lebih dari US$ 400 miliar USD.
Bandingkan dengan Indonesia yang hanya memiliki anggaran RnD US$ 0,72 miliar
dan hanya menghasilkan aplikasi paten sebanyak 23 buah saja. Angka ini jauh
tertinggal dibanding dengan negara tetangga Malaysia yang menghasilkan 1.312
paten, dengan anggaran RnD US$ 2,3 miliar, ataupun Thailand sebanyak 986
aplikasi paten, dengan anggaran RnD US$ 1,46 miliar.
Situasi diatas kemudian diperburuk dengan kondisi
bangsa secara umum yang masih terbelenggu oleh permasalahan mendasar seperti
korupsi, inefisiensi anggaran, hambatan birokrasi, dan pesatnya peningkatan
golongan kelompok kelas menengah yang tidak diimbangi oleh pembangunan
infrastruktur dan fasilitas umum lainnya. Wajar jika kemudian World Economic Forum (WEF) memangkas
peringkat daya saing Indonesia (global
competitiveness index/GCI) dari posisi 46 (2011) menjadi posisi 50 (2012) dari
144 negara. Peringkat daya saing ini sangat penting di mata investor, sehingga
penurunan daya saing biasanya akan diikuti oleh penurunan investasi. Bahkan
selama tiga tahun terakhir, skor GCI Indonesia stagnan pada angka 4,4 (skor
1-7). Daya saing institusi, infrastruktur, efisiensi pasar tenaga kerja, dan
kesiapan teknologi Indonesia tercatat memiliki nilai rendah yaitu di bawah
angka 4.
Inovasi Akar Rumput
Minimnya anggaran RnD memang masih menjadi masalah
sentral dalam pengembangan inovasi secara nasional. Dana riset dan pengembangan
Indonesia adalah 0,15% dari PDB, jauh di bawah Jepang sebesar 3,5% dan India
1,5%, dan bahkan Malaysia sebesar 0,5%. Namun, apakah dengan kondisi semacam
ini apakah pengembangan inovasi harus terhambat? Sebenarnya Indonesia harus
belajar dari beberapa negara maju yang telah berhasil menjalin dan menerapkan
kerja sama segitiga (triple helix/ABG)
antara Akademisi (Academic), Bisnis (Bussiness) dan Pemerintah (Government) dengan sangat kuat. Bahkan
di negara maju, 80% dana riset berasal dari swasta. Dengan demikian pembiayaan
riset tidak melulu dari pemerintah karena pihak industri ataupun swasta di
beberapa negara, seperti Amerika Serikat, ikut berkontribusi yang cukup besar
dalam menunjang riset universitas dan institusi penelitian.
Disamping itu, peningkatan daya saing bangsa
sebenarnya juga dapat dilakukan dengan mendorong inovasi dari akar rumput (grassroots innovation/GRI). Inovasi akar
rumput atau GRI ini masih belum dikembangkan secara optimal. Jangankan untuk
dikembangkan, penelusuran dan pendokumentasiannya pun belum dilakukan secara
terstrutur dan sistematis. GRI ini memang “istimewa”, sebab karakteristiknya
berbeda dengan inovasi teknologi biasanya. GRI merupakan inovasi yang asli
milik masyarakat. Penemuannya tidaklah dari hasil pendanaan pemerintah maupun
swasta, melainkan dari pengetahuan, kearifan dan kecerdasan masyarakat
pemiliknya. Sebagai contoh, bagaimana para petani kita selama berabad-abad dan
turun temurun telah mampu memuliakan benih padi, jagung dan tanaman lainnya
secara mandiri. Sayangnya, inovasi mereka itu pun harus kandas justru oleh
berbagai peraturan dan kesepakatan yang dibuat oleh negara yang seharusnya
melindungi dan mendorong inovasi tersebut.
Selain dalam proses budidaya, banyak GRI juga muncul
dalam aktivitas pasca panen dan industri kreatif lainnya yang dimiliki oleh
masyarakat. Disamping batik, angklung, dan rendang yang telah mendapat
pengakuan UNESCO sebagai warisan budaya nusantara, tentunya masih banyak
jajanan, kuliner dan inovasi kreatif lainnya yang bisa diangkat untuk lebih
memperkenalkan Indonesia dimata dunia. Gerakan pendataan kekayaan inovasi akar
rumput yang sistematis dengan ditambah kepedulian ABG untuk turut bersinergi
tentu akan menjadi motor penggerak daya saing bangsa yang luar biasa. Institusi
paling cocok mengembangkan inovasi akar rumput dan menampung uluran tangan ABG
itu tentu saja adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang kita tahu
jumlahnya mencapi 55,2 juta unit dan mampu menyerap 97% tenaga kerja. Pada
akhirnya, misi peningkatan daya saing bangsa ini bukan hanya pada peningkatan
angka-angka pertumbuhan ekonomi dan peringkat daya saing belaka, melainkan juga
memberikan manfaat nyata bagi para penemu dan pemiliknya, yaitu bangsa
indonesia itu sendiri. Relevan dengan GRI yang banyak berada di pedesaan, maka
yang nanti akan mendapat lebih banyak manfaat seharusnya adalah masyarakat
pedesaan, yang notabene masih menjadi sarang kemiskinan di negeri ini.
Penulis; Staf Peneliti di Balai Besar Pengembangan Teknologi
Tepat Guna-LIPI
No comments:
Post a Comment