07 October 2012

Kaum Muda (Mau) Kemana?


Oleh : Yanu Endar Prasetyo

“…Didikan Barat superieur, karena ilmoenja teratoer dan techniknja tinggi. Terboekti djoega di Djepang jang mengambil didikan Barat oentoek pemoekoel Barat sendiri; terboekti djoega di Sovjet-Ruslang jang menjesoeaikan didikan Barat kepada toedjoean masjarakat sendiri…. Ilmoe mendidik pengetahoean dan pengetahoean mendjadi pangkal keberanian oentoek membantah apa jang salah dan menoentoet apa jang dipandang hak dan adil. Sebab itu, onderwijs jang sempurna mesti melahirkan kaoem revolutionair dalam tiap-tiap masjarakat jang pintjang kedudukannja. Ini adalah soeatoe hoekoem alam…”
(Mohammad Hatta, 1933)

Kutipan diatas merupakan salah satu bagian dari artikel Bung Hatta di majalah Daulat Ra’jat no 77 tertanggal 30 Oktober 1933. Artikel tersebut berjudul “Pemoeda Dalam Krisis”. Sebagaimana tulisan-tulisan Bung Hatta lainnya yang selalu menunjukkan kegelisahannya pada kondisi Bangsa, tulisan tersebut dengan gamblang menantang kaum intelektual muda Indonesia di masa itu untuk bangkit dari zona kemapanannya. Tantangan itu diuraikan dalam paragraf penutup tulisannya yang berbunyi :

“Semoeanja ini haroeslah menjadi pertimbangan kepada pemoeda Indonesia jang mendapat didikan Barat. Sebab itu, ‘pemoeda dalam krisis’ berarti pemoeda terpaksa mengambil kepoetoesan : maoekah kembali poelang ke masjarakat sendiri? Dan disini tidak ada entweder…oder! Tidak ada ini atau itu!”


Kegelisahan dan tantangan Bung Hatta diatas nampaknya masih begitu relevan dengan kondisi Bangsa Indonesia hari ini. “Krisis” dan dilema yang dihadapi kaum muda intelektual maupun kaum muda pada umumnya kurang lebih masih serupa. Dilema itu misalnya seputar pertarungan antara “idealisme” dan “pragmatisme” hidup yang harus dipilih ketika anak muda keluar dari bangku pendidikan. Ketika masih bergulat di dalam kampus, kaum muda dicekoki dan mencekoki dirinya dengan gagasan-gagasan besar tentang cara bernegara dan bermasyarakat yang ideal. Banyak diantaranya malah menceburkan diri menjadi aktivis perjuangan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Demonstrasi, mengkritik, menghujat, propaganda hingga pembentukan opini menjadi makanan sehari-hari. Namun, ketika mereka lulus dari menara gading, tak lagi terdengar suara-suara kritis dan pencerahan yang sebelumnya diteriakkan dengan lantang. Mereka yang berjuluk aktivis pun menghilang ditelan kenikmatan duduk dalam birokrasi, menjadi politisi, pengusaha atau pegawai negeri. Jika kurang beruntung, mereka pun menjual intelektualitas dan idealismenya menjadi makelar kasus, mafia peradilan, mafia proyek dan pekerjaan lainnya untuk menghilangkan status sebagai pengangguran. “Inilah realita hidup”, kata mereka kecut.

 Bukan hanya dilema pemuda aktivis pergerakan yang mewarnai “krisis” di negeri ini, dilema kaum muda intelektual yang belajar di luar negeri juga mungkin sama. Banyak pemuda indonesia yang genius, briliant dan cemerlang dalam ilmu pengetahuannya tetapi tak kunjung kembali ke negeri sendiri. Sebabnya klasik, “mereka tak dihargai di dalam negeri, tak difasilitasi, dan tak mendapat itu atau ini”. Entah apakah saling tuding ini akan menyelesaikan masalah, yang jelas kondisi semacam ini menyebabkan negeri kita semakin kekurangan inspirator perubahan. Mereka yang berbakat dan seharusnya mampu menjadi “kaum revolutionair” bagi rakyatnya, justru terlalu asyik dan enggan bangkit dari zona nyamannya. Pupus sudah harapan rakyat pada pribumi cerdas yang belajar di Luar Negeri ini, ternyata mereka lebih banyak mengejar kenyamanannya sendiri daripada mengambil resiko untuk memperbaiki kakacauan-kakacauan di negerinya.

Jika intelektual muda aktivis dan mahasiswa luar negeri disibukkan dengan dilema semacam itu, maka lain lagi krisis yang dialami pemuda di perkotaan dan desa-desa Indonesia. Ketika remaja dan muda-mudi di kota dilanda kegalauan luar biasa atas identitas dan jati diri mereka, maka muda-mudi di desa terhimpit struktur ekonomi yang memaksa mereka terhempas di pojok-pojok pabrik garmen dan tekstil yang pengap dan terlempar menjadi pekerja-pekerja ilegal ke luar negeri. Teknologi informasi dan komunikasi yang digdaya bukannya menolong mereka keluar dari krisis, melainkan malah mengikat mereka lebih kuat dalam jeratan konsumerisme dan hedonisme. Jutaan kaum muda hidup tanpa tujuan yang jelas. Mereka menganggap lawan sebagai kawan, dan kawan sebagai lawan. Tengoklah para suporter bola yang sibuk baku hantam dengan kawan suporternya yang lain, pelajar yang tawuran dengan pelajar sekolah lain, hingga koruptor yang setiap hari adu arogansi dengan koruptor yang lain. Buntu.

  Sadar atau tidak, akal sehat kaum muda kita terus digerogoti setiap hari. Pendidikan yang seharusnya mencerahkan dan menyehatkan akal justru menjadi mesin-mesin pembunuh akal sehat setiap hari. Jika kawan-kawan PPI Belanda pulang kembali ke negeri tercinta ini, maka jangan kaget jika komersialisasi pendidikan itu tidak hanya terjadi di perguruan tinggi, melainkan sudah sampai tingkat pendidikan usia dini. Bukan hanya itu, anak-anak muda juga dibunuh akal sehatnya dengan praktek-praktek penipuan nurani setiap hari. Mereka dengan mudah dimobilisasi elit penguasa demi selembar rupiah dan sepiring nasi. Akal sehat mati karena terus menerus melakukan sesuatu yang sebenarnya kita tahu itu tidak benar. Hipokritisasi berjalan massif di negeri ini. Kata dan perbuatan seolah dua hal yang berlainan dan tak wajib disamakan.  Jika terus dibiarkan seperti ini, maka bukan mustahil kita bukan hanya sedang memproduksi sebuah negara gagal, melainkan juga generasi yang gagal.

Barangkali kita masih ingat dengan retorika dari Bung Karno yang termasyur itu, “berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku goncang dunia”. Pada kesempatan lain Proklamator kita itu juga pernah berkata “barang siapa dicintai pemuda hari ini, maka ia akan menggenggam masa depan”.  Betapa pemuda dimata Bung Karno dan Bung Hatta bernilai sangat strategis dan menjadi kunci mencapai kejayaan sebuah bangsa. Siapa yang mampu menunjukkan jalan bagi kaum muda ini, maka dialah yang berhak atas masa depan. Kaum muda kita tidak bisa dibiarkan mencari jalannya sendiri di tengah belantara ketidakpastian : tanpa ideologi, tanpa cita-cita, tanpa kepemimpinan yang kuat. Masa depan Indonesia harus mampu diimajinasikan secara kuat, jelas dan tegas oleh para pemimpin bangsa (dan para calon pemimpin masa depan). Jika memilih demokrasi, maka demokrasi seperti apa? Sejahtera seperti apa? Kebebasan seperi apa? Dan seterusnya. Dengan kemampuan menggambarkan tujuan perjuangan itu maka kaum muda ini akan lebih jelas perannya dalam memperbaiki kondisi bangsa saat ini.

Selain penguatan imajinasi kebangsaan yang dilakukan terus menerus, juga keteladanan dalam bersikap dan bertindak menjadi kebutuhan mendesak. Ikan busuk bukan dari ekornya, melainkan dari kepalanya. Jika pemimpin-pemimpin muda saat ini mau menjaga integritas dan kredibilitasnya ditengah krisis moral yang melanda negeri, maka bukan tidak mungkin asa perubahan ke arah lebih baik itu masih menyala. Kaum muda Indonesia adalah potensi yang siap digerakkan untuk perjuangan mencapai kejayaan bangsa, tinggal kemauan dari para intelektual, aktivis, dan pemimpin-pemimpin muda ini untuk menjadi inspirator dan teladan nyata bagi mereka. Kita membutuhkan lebih dari sepuluh pemuda untuk menjadi inspirasi untuk berprestasi, inspirasi dalam gerakan anti korupsi, inspirasi dalam penyelamatan bumi, inspirasi untuk kewirausahaan sosial, inspirasi dalam politik santun, dan inspirasi di berbagai bidang lainnya. Sialnya, kita tidak bisa menunggu inspirasi itu datang dari orang lain. Hanya ada satu pilihan : kita sendiri yang harus memulai.

No comments:

Post a Comment