Oleh : Yanu Endar Prasetyo
“…Didikan Barat
superieur, karena ilmoenja teratoer dan techniknja tinggi. Terboekti djoega di
Djepang jang mengambil didikan Barat oentoek pemoekoel Barat sendiri; terboekti
djoega di Sovjet-Ruslang jang menjesoeaikan didikan Barat kepada toedjoean
masjarakat sendiri…. Ilmoe mendidik pengetahoean dan pengetahoean mendjadi
pangkal keberanian oentoek membantah apa jang salah dan menoentoet apa jang
dipandang hak dan adil. Sebab itu, onderwijs jang sempurna mesti melahirkan
kaoem revolutionair dalam tiap-tiap masjarakat jang pintjang kedudukannja. Ini
adalah soeatoe hoekoem alam…”
(Mohammad Hatta,
1933)
Kutipan diatas
merupakan salah satu bagian dari artikel Bung Hatta di majalah Daulat Ra’jat no
77 tertanggal 30 Oktober 1933. Artikel tersebut berjudul “Pemoeda Dalam Krisis”. Sebagaimana tulisan-tulisan Bung Hatta lainnya
yang selalu menunjukkan kegelisahannya pada kondisi Bangsa, tulisan tersebut
dengan gamblang menantang kaum intelektual muda Indonesia di masa itu untuk
bangkit dari zona kemapanannya. Tantangan itu diuraikan dalam paragraf penutup
tulisannya yang berbunyi :
“Semoeanja ini
haroeslah menjadi pertimbangan kepada pemoeda Indonesia jang mendapat didikan
Barat. Sebab itu, ‘pemoeda dalam krisis’ berarti pemoeda terpaksa mengambil
kepoetoesan : maoekah kembali poelang ke masjarakat sendiri? Dan disini tidak ada
entweder…oder! Tidak ada ini atau itu!”
Kegelisahan dan
tantangan Bung Hatta diatas nampaknya masih begitu relevan dengan kondisi
Bangsa Indonesia hari ini. “Krisis” dan dilema yang dihadapi kaum muda
intelektual maupun kaum muda pada umumnya kurang lebih masih serupa. Dilema itu
misalnya seputar pertarungan antara “idealisme” dan “pragmatisme” hidup yang
harus dipilih ketika anak muda keluar dari bangku pendidikan. Ketika masih
bergulat di dalam kampus, kaum muda dicekoki dan mencekoki dirinya dengan gagasan-gagasan
besar tentang cara bernegara dan bermasyarakat yang ideal. Banyak diantaranya
malah menceburkan diri menjadi aktivis perjuangan dengan mengatasnamakan
kepentingan rakyat. Demonstrasi, mengkritik, menghujat, propaganda hingga
pembentukan opini menjadi makanan sehari-hari. Namun, ketika mereka lulus dari
menara gading, tak lagi terdengar suara-suara kritis dan pencerahan yang
sebelumnya diteriakkan dengan lantang. Mereka yang berjuluk aktivis pun
menghilang ditelan kenikmatan duduk dalam birokrasi, menjadi politisi,
pengusaha atau pegawai negeri. Jika kurang beruntung, mereka pun menjual
intelektualitas dan idealismenya menjadi makelar kasus, mafia peradilan, mafia
proyek dan pekerjaan lainnya untuk menghilangkan status sebagai pengangguran. “Inilah realita hidup”, kata mereka
kecut.
Bukan hanya dilema pemuda aktivis pergerakan yang
mewarnai “krisis” di negeri ini, dilema kaum muda intelektual yang belajar di
luar negeri juga mungkin sama. Banyak pemuda indonesia yang genius, briliant
dan cemerlang dalam ilmu pengetahuannya tetapi tak kunjung kembali ke negeri
sendiri. Sebabnya klasik, “mereka tak
dihargai di dalam negeri, tak difasilitasi, dan tak mendapat itu atau ini”.
Entah apakah saling tuding ini akan menyelesaikan masalah, yang jelas kondisi
semacam ini menyebabkan negeri kita semakin kekurangan inspirator perubahan.
Mereka yang berbakat dan seharusnya mampu menjadi “kaum revolutionair” bagi rakyatnya, justru terlalu asyik dan enggan
bangkit dari zona nyamannya. Pupus sudah harapan rakyat pada pribumi cerdas
yang belajar di Luar Negeri ini, ternyata mereka lebih banyak mengejar
kenyamanannya sendiri daripada mengambil resiko untuk memperbaiki
kakacauan-kakacauan di negerinya.
Jika intelektual
muda aktivis dan mahasiswa luar negeri disibukkan dengan dilema semacam itu,
maka lain lagi krisis yang dialami pemuda di perkotaan dan desa-desa Indonesia.
Ketika remaja dan muda-mudi di kota dilanda kegalauan luar biasa atas identitas
dan jati diri mereka, maka muda-mudi di desa terhimpit struktur ekonomi yang
memaksa mereka terhempas di pojok-pojok pabrik garmen dan tekstil yang pengap
dan terlempar menjadi pekerja-pekerja ilegal ke luar negeri. Teknologi
informasi dan komunikasi yang digdaya bukannya menolong mereka keluar dari
krisis, melainkan malah mengikat mereka lebih kuat dalam jeratan konsumerisme
dan hedonisme. Jutaan kaum muda hidup tanpa tujuan yang jelas. Mereka
menganggap lawan sebagai kawan, dan kawan sebagai lawan. Tengoklah para
suporter bola yang sibuk baku hantam dengan kawan suporternya yang lain,
pelajar yang tawuran dengan pelajar sekolah lain, hingga koruptor yang setiap
hari adu arogansi dengan koruptor yang lain. Buntu.
Sadar
atau tidak, akal sehat kaum muda kita terus digerogoti setiap hari. Pendidikan
yang seharusnya mencerahkan dan menyehatkan akal justru menjadi mesin-mesin
pembunuh akal sehat setiap hari. Jika kawan-kawan PPI Belanda pulang kembali ke
negeri tercinta ini, maka jangan kaget jika komersialisasi pendidikan itu tidak
hanya terjadi di perguruan tinggi, melainkan sudah sampai tingkat pendidikan
usia dini. Bukan hanya itu, anak-anak muda juga dibunuh akal sehatnya dengan
praktek-praktek penipuan nurani setiap hari. Mereka dengan mudah dimobilisasi elit
penguasa demi selembar rupiah dan sepiring nasi. Akal sehat mati karena terus
menerus melakukan sesuatu yang sebenarnya kita tahu itu tidak benar.
Hipokritisasi berjalan massif di negeri ini. Kata dan perbuatan seolah dua hal
yang berlainan dan tak wajib disamakan.
Jika terus dibiarkan seperti ini, maka bukan mustahil kita bukan hanya
sedang memproduksi sebuah negara gagal, melainkan juga generasi yang gagal.
Barangkali kita
masih ingat dengan retorika dari Bung Karno yang termasyur itu, “berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku
goncang dunia”. Pada kesempatan lain Proklamator kita itu juga pernah
berkata “barang siapa dicintai pemuda hari
ini, maka ia akan menggenggam masa depan”.
Betapa pemuda dimata Bung Karno dan Bung Hatta bernilai sangat strategis
dan menjadi kunci mencapai kejayaan sebuah bangsa. Siapa yang mampu menunjukkan
jalan bagi kaum muda ini, maka dialah yang berhak atas masa depan. Kaum muda
kita tidak bisa dibiarkan mencari jalannya sendiri di tengah belantara
ketidakpastian : tanpa ideologi, tanpa cita-cita, tanpa kepemimpinan yang kuat.
Masa depan Indonesia harus mampu diimajinasikan secara kuat, jelas dan tegas
oleh para pemimpin bangsa (dan para calon pemimpin masa depan). Jika memilih
demokrasi, maka demokrasi seperti apa? Sejahtera seperti apa? Kebebasan seperi
apa? Dan seterusnya. Dengan kemampuan menggambarkan tujuan perjuangan itu maka
kaum muda ini akan lebih jelas perannya dalam memperbaiki kondisi bangsa saat
ini.
Selain penguatan
imajinasi kebangsaan yang dilakukan terus menerus, juga keteladanan dalam
bersikap dan bertindak menjadi kebutuhan mendesak. Ikan busuk bukan dari
ekornya, melainkan dari kepalanya. Jika pemimpin-pemimpin muda saat ini mau
menjaga integritas dan kredibilitasnya ditengah krisis moral yang melanda
negeri, maka bukan tidak mungkin asa perubahan ke arah lebih baik itu masih
menyala. Kaum muda Indonesia adalah potensi yang siap digerakkan untuk
perjuangan mencapai kejayaan bangsa, tinggal kemauan dari para intelektual,
aktivis, dan pemimpin-pemimpin muda ini untuk menjadi inspirator dan teladan
nyata bagi mereka. Kita membutuhkan lebih dari sepuluh pemuda untuk menjadi
inspirasi untuk berprestasi, inspirasi dalam gerakan anti korupsi, inspirasi
dalam penyelamatan bumi, inspirasi untuk kewirausahaan sosial, inspirasi dalam
politik santun, dan inspirasi di berbagai bidang lainnya. Sialnya, kita tidak
bisa menunggu inspirasi itu datang dari orang lain. Hanya ada satu pilihan :
kita sendiri yang harus memulai.
No comments:
Post a Comment