10 April 2013

Opini : Kala Survei Bicara


Oleh : Yanu Endar Prasetyo

Beberapa hari yang lalu (8/4), Cita Institut telah merilis hasil survei tentang popularitas dan elektabilitas calon-calon dalam pilkada kabupaten Subang tahun 2013. Survei tersebut menunjukkan bahwa persentase tertinggi dalam hal popularitas dan elektabilitas dari 24 nama kandidat yang disurvei masih didominasi oleh nama-nama politisi ''lama'' dan sedang berkuasa, seperti Ojang Sohandi, Atin Supriatin dan Imas Aryumningsih.  Beberapa nama kandidat baru seperti Asep R Dimyati, Agus Masykur Rosyadi, Ade Suhaya, Nina Nurhayati, Ma'mur Sutisna, dan lain-lain nampaknya masih harus berjuang cukup keras untuk mengejar popularitas ketiga calon sebelumnya, karena mereka masih berada pada kisaran popularitas dibawah 10 persen.

Terlepas dari hasil itu, yang justru lebih menarik bagi saya adalah bagaimana publik menyikapi hasil survei tersebut. Ada tiga sikap utama yang lahir dari diskusi publik pada saat sosialisasi hasil survei ini, pertama adalah mereka yang pro dan memberikan apresiasi positif terhadap hasil survei. Golongan pertama ini adalah mereka yang berasal dari parpol, kandidat dan tim suksesnya. Mereka menganggap bahwa hasil survei ini bisa menjadi barometer dalam mengukur kekuatan diri sekaligus lawannya. Lahirnya hasil survei dari lembaga independen non partisan seperti Cita Institut dianggap turut mewarnai dan membangun dinamika politik lokal Subang yang positif.


Golongan kedua adalah mereka yang kontra, skeptis, meragukan dan cenderung tidak mempercayai manfaat suatu publikasi hasil survei politik. Tuduhan bahwa lembaga survei menjadi agen politik kelompok tertentu pun mengemuka. Bahkan, sosialisasi hasil survei calon semacam ini dianggap sebagai upaya penggiringan opini publik. Tentu saja menjadi hak setiap orang untuk berpendapat. Masing-masing harus saling menghormati karena semua bertolak pada perspektif yang digunakan. Dalam dunia politik yang penuh instrik, sudah barang tentu cara pandang konspiratif semacam ini dapat dimaklumi, karena apapun - termasuk yang disebut berbasis ilmiah - terbukti dapat ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan kelompok tertentu.

Golongan ketiga adalah mereka yang lebih arif dan objektif. Mereka golongan yang mampu memaknai hasil survei secara kritis dan konstruktif. Mereka menimbang secara seimbang, baik dari sudut pandang metodologis, empiris maupun teoritis. Golongan ini cenderung menunggu hasil survei pembanding lainnya sebelum bersikap percaya atau tidak, menerima atau menolak. Bagi kelompok ini, yang terpenting bukan hanya hasil surveinya, tetapi bagaimana memastikan bahwa hasil survei tersebut menguntungkan bagi publik pemilih secara luas. Dengan kata lain, menjauhkan pemilih dari ''membeli kucing dalam karung''. Sebab, hasil survei yang baik selalu bercerita dengan lengkap. Ia tidak melulu soal popularitas atau elektabilitas, lebih dari itu adalah menjadi media bagi publik untuk menyampaikan aspirasi dan kriteria-kriteria ideal mereka terhadap calon maupun parpol yang sedang bertarung merebut hati dan simpati rakyat pemilihnya.

Alergi Hasil Survei

layaknya sebuah pemikiran, hasil survei hanya bisa dilawan dengan hasil survei lainnya. Buku dilawan dengan buku, bukan dengan membakar buku yang dianggap bertentangan secara ideologis. Oleh karena itu, ketika ada pihak-pihak yang ragu, tidak percaya dan bahkan mencurigai hasil survei, maka sebaiknya ''melawannya'' dengan data-data ilmiah dari survei tandingan lainnya yang dianggap lebih memiliki integritas.

Memang, banyak sudah contoh hasil survei politik yang gagal memprediksi hasil pilkada, seperti kasus pilkada DKI jakarta dan Jawa Barat kemarin. Hemat penulis, justru kegagalan prediksi ini membuktikan bahwa hasil survei tidak serta merta mampu menggiring opini maupun pilihan publik. Survei juga terbukti bukan satu-satunya parameter keberhasilan atau jaminan kemenangan bagi kandidat, tetapi kerja-kerja nyata mereka akan jauh dapat memberikan efek positif bagi perjuangan mereka. Dengan demikian, jangan pernah alergi terhadap hasil survei. Jadikan itu justru sebagai landasan dalam pengambilan strategi dan kebijakan politik yang lebih bermakna. Pada akhirnya nanti, masyarakat yang akan mencatat dan menghadiahi seluruh kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas Anda sebagai pemimpin di tengah-tengah masyarakat. Sekali lagi, cerdas-cerdaslah dalam memilih dan dipilih.

Yanu Endar Prasetyo
sosiolog pedesaan LIPI

5 comments:

  1. ooh pa ma'mur nyalon juga tho.. aku banyak ketinggalan berita subang. hehe
    kang, aku boleh minta FB/CPnya? aku juga dari subang, blogger juga. boleh dong ngobrol2..

    ReplyDelete
  2. alamat FB-ku tinggal klik di logo fb di pojok kanan atas blog ini Syifa :) wah, senang sekali kalau bisa ngobrol2, jadi bisa belajar lebih banyak dari kamu...makasih yaaa :)

    salam.

    ReplyDelete
  3. Semoga Pemimpin Subang ke depan, bisa lebih baik dan amanah.

    ReplyDelete