Oleh : Yanu Endar Prasetyo
Beberapa hari yang lalu (8/4),
Cita Institut telah merilis hasil survei tentang popularitas dan elektabilitas
calon-calon dalam pilkada kabupaten Subang tahun 2013. Survei tersebut
menunjukkan bahwa persentase tertinggi dalam hal popularitas dan elektabilitas
dari 24 nama kandidat yang disurvei masih didominasi oleh nama-nama politisi
''lama'' dan sedang berkuasa, seperti Ojang Sohandi, Atin Supriatin dan Imas
Aryumningsih. Beberapa nama kandidat
baru seperti Asep R Dimyati, Agus Masykur Rosyadi, Ade Suhaya, Nina Nurhayati,
Ma'mur Sutisna, dan lain-lain nampaknya masih harus berjuang cukup keras untuk
mengejar popularitas ketiga calon sebelumnya, karena mereka masih berada pada
kisaran popularitas dibawah 10 persen.
Terlepas dari hasil itu, yang
justru lebih menarik bagi saya adalah bagaimana publik menyikapi hasil survei
tersebut. Ada tiga sikap utama yang lahir dari diskusi publik pada saat
sosialisasi hasil survei ini, pertama adalah mereka yang pro dan memberikan
apresiasi positif terhadap hasil survei. Golongan pertama ini adalah mereka
yang berasal dari parpol, kandidat dan tim suksesnya. Mereka menganggap bahwa
hasil survei ini bisa menjadi barometer dalam mengukur kekuatan diri sekaligus
lawannya. Lahirnya hasil survei dari lembaga independen non partisan seperti
Cita Institut dianggap turut mewarnai dan membangun dinamika politik lokal
Subang yang positif.
Golongan kedua adalah mereka yang
kontra, skeptis, meragukan dan cenderung tidak mempercayai manfaat suatu
publikasi hasil survei politik. Tuduhan bahwa lembaga survei menjadi agen
politik kelompok tertentu pun mengemuka. Bahkan, sosialisasi hasil survei calon
semacam ini dianggap sebagai upaya penggiringan opini publik. Tentu saja
menjadi hak setiap orang untuk berpendapat. Masing-masing harus saling
menghormati karena semua bertolak pada perspektif yang digunakan. Dalam dunia
politik yang penuh instrik, sudah barang tentu cara pandang konspiratif semacam
ini dapat dimaklumi, karena apapun - termasuk yang disebut berbasis ilmiah -
terbukti dapat ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan kelompok tertentu.
Golongan ketiga adalah mereka
yang lebih arif dan objektif. Mereka golongan yang mampu memaknai hasil survei
secara kritis dan konstruktif. Mereka menimbang secara seimbang, baik dari
sudut pandang metodologis, empiris maupun teoritis. Golongan ini cenderung
menunggu hasil survei pembanding lainnya sebelum bersikap percaya atau tidak,
menerima atau menolak. Bagi kelompok ini, yang terpenting bukan hanya hasil
surveinya, tetapi bagaimana memastikan bahwa hasil survei tersebut
menguntungkan bagi publik pemilih secara luas. Dengan kata lain, menjauhkan
pemilih dari ''membeli kucing dalam karung''. Sebab, hasil survei yang baik
selalu bercerita dengan lengkap. Ia tidak melulu soal popularitas atau
elektabilitas, lebih dari itu adalah menjadi media bagi publik untuk
menyampaikan aspirasi dan kriteria-kriteria ideal mereka terhadap calon maupun
parpol yang sedang bertarung merebut hati dan simpati rakyat pemilihnya.
Alergi Hasil Survei
layaknya sebuah pemikiran, hasil
survei hanya bisa dilawan dengan hasil survei lainnya. Buku dilawan dengan
buku, bukan dengan membakar buku yang dianggap bertentangan secara ideologis.
Oleh karena itu, ketika ada pihak-pihak yang ragu, tidak percaya dan bahkan
mencurigai hasil survei, maka sebaiknya ''melawannya'' dengan data-data ilmiah
dari survei tandingan lainnya yang dianggap lebih memiliki integritas.
Memang, banyak sudah contoh hasil
survei politik yang gagal memprediksi hasil pilkada, seperti kasus pilkada DKI
jakarta dan Jawa Barat kemarin. Hemat penulis, justru kegagalan prediksi ini
membuktikan bahwa hasil survei tidak serta merta mampu menggiring opini maupun
pilihan publik. Survei juga terbukti bukan satu-satunya parameter keberhasilan
atau jaminan kemenangan bagi kandidat, tetapi kerja-kerja nyata mereka akan
jauh dapat memberikan efek positif bagi perjuangan mereka. Dengan demikian,
jangan pernah alergi terhadap hasil survei. Jadikan itu justru sebagai landasan
dalam pengambilan strategi dan kebijakan politik yang lebih bermakna. Pada
akhirnya nanti, masyarakat yang akan mencatat dan menghadiahi seluruh kerja
keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas Anda sebagai pemimpin di tengah-tengah
masyarakat. Sekali lagi, cerdas-cerdaslah dalam memilih dan dipilih.
Yanu Endar Prasetyo
sosiolog pedesaan LIPI
ooh pa ma'mur nyalon juga tho.. aku banyak ketinggalan berita subang. hehe
ReplyDeletekang, aku boleh minta FB/CPnya? aku juga dari subang, blogger juga. boleh dong ngobrol2..
alamat FB-ku tinggal klik di logo fb di pojok kanan atas blog ini Syifa :) wah, senang sekali kalau bisa ngobrol2, jadi bisa belajar lebih banyak dari kamu...makasih yaaa :)
ReplyDeletesalam.
Semoga Pemimpin Subang ke depan, bisa lebih baik dan amanah.
ReplyDeleteamiiin...semoga :D
ReplyDeleteGreatt blog
ReplyDelete