28 May 2013

Opini : Menimbang Peluang Atin-Nina

Artikel ini dimuat di harian Pasundan Ekspres, 28 Mei 2013


Oleh : Yanu Endar Prasetyo


Salah satu pasangan calon Bupati yang sudah mendeklarasikan dan mendaftarkan diri akan maju dalam Pilkada Subang adalah Atin Supriatin dan Nina Nurhayati Hidayat. Atin Supriatin adalah kader PDI Perjuangan yang sekaligus menjabat ketua DPRD Kabupaten Subang. Sedangkan Nina Nurhayati tak lain adalah istri mantan Bupati Subang, Eep Hidayat.

Ada beberapa hal yang menarik untuk dikupas terkait dengan pasangan ini, pertama adalah fakta bahwa keduanya perempuan. Faktor sepasang perempuan maju ke dalam Pilkada seperti ini mungkin baru pertama kali dalam sejarah pesta demokrasi di kabupaten Subang. Menjadi menarik mengingat sampai dengan pemilu presiden terakhir, ketika Megawati menjadi penantang SBY pada pemilu 2009 yang lalu, isu negatif terhadap pemimpin perempuan selalu dimainkan untuk menjegal kandidat perempuan. Posisi perempuan menjadi orang nomor satu di daerah di Indonesia ini juga masih sangat kecil, salah satunya adalah akibat doktrin bahwa perempuan tidak cocok menjadi imam atau pemimpin. Doktrin ini cukup dominan dalam rezim patriarkhi yang menjadi mainstream dalam komunitas muslim selama berabad-abad.

Namun demikian, perubahan cara pandang yang dianggap bias gender ini mulai nampak terjadi. Banyak perlawanan - terutama dari aktivis perempuan dan kaum feminis - yang terus menerus menyuarakan penolakan terhadap subordinasi dan marginalisasi perempuan, khususnya di ruang publik dan politik. Hasilnya positif. Resistensi masyarakat muslim (awam) terhadap pemimpin perempuan semakin menipis.

Terakhir, dalam Pilgub Jabar yang lalu, kandidat cagub perempuan Rieke Diah Pitaloka mampu menjadi penantang terkuat dari petahana dan menempati posisi kedua dengan perolehan 5.714.997 suara dari total 20.115.423 suara sah. Rieke adalah politisi perempuan - yang bahkan jauh dari simbol-simbol keagamaan, seperti jilbab - tetapi ternyata mampu diterima dan merebut hati pemilih Jawa Barat yang mayoritas muslim, meskipun basis kemenangan Rieke adalah di daerah Pantura seperti Karawang, Cirebon, Bekasi, Majalengka dan Subang yang memang cenderung lebih heterogen.

Dalam konteks politik Subang, kompetisi kandidat laki-laki dan perempuan nampaknya juga mulai seimbang. Hasil survei Cita Institut maret lalu menunjukkan peluang kandidat laki-laki dan perempuan sama besar, ditunjukkan dengan jawaban netral yang tinggi (47.19%) manakala ditanyakan apakah pemimpin atau kepala daerah harus seoarang laki-laki? Senada dengan hal itu, nama kandidat yang memiliki tingkat popularitas tertinggi setelah Ojang sohandi adalah tiga orang 'srikandi' alias perempuan, yaitu Imas Aryumningsih (52.81%), Atin Supriatin (42,98%) dan Nina Nurhayati (20,22%). Jika suara hasil survei Atin - Nina dijumlahkan, maka total tingkat popularitas pasangan Atin-Nina adalah 63,2%. Artinya, pasangan Atin-Nina ini berpeluang menjadi penantang terkuat bagi Bupati Ojang jika dia maju kembali dalam Pilkada 8 september 2013 nanti.

Jalur Perseorangan

Hal menarik kedua adalah Atin-Nina tidak maju dari partai politik, dalam hal ini PDIP, tetapi justru melalui jalur perseorangan atau independen. Barangkali dinamika politik di Internal PDIP Subang - yang merupakan partai terbesar di Kab. Subang – telah memaksa Atin-Nina untuk melakukan manuver politik demikian. Andai saja pasangan ini nanti lolos dari verivikasi faktual KPU dan bertarung dengan kandidat dari partai lainnya, peluang mereka masih cukup besar. Asalkan pasangan Atin-Nina harus dapat memanfaatkan isu ketidakpercayaan publik terhadap partai untuk meningkatkan elektabilitasnya. Seperti pembaca pahami, berbagai pemberitaan negatif dan terus menerus terhadap kasus-kasus korupsi yang menempa partai-partai diakui atau tidak terus menggerus kepercayaan publik terhadap parpol.

Hanya saja, pasangan ini juga harus berhati-hati mengeksplorasi isu Figur vs Partai ini, sebab mereka pun - dalam rekam jejak sejarah politiknya - sangat dekat dengan rezim sebelumnya yang dilengserkan karena terjerat kasus korupsi. Jadi, sekalipun publik pemilih Subang 51,69% lebih cenderung memilih figur daripada partai, tidak berarti mudah untuk menjadi figur pilihan rakyat Subang tersebut. Selain itu, tanpa mesin politik partai, maka ongkos politik dalam mobilisasi massa harus disiapkan dengan serius, karena loyalitas dan militansi terhadap figur juga tidak mungkin diciptakan dalam sehari semalam. Dimanapun, pasangan independen harus mampu menonjolkan kualitas pribadi mereka yang memang berbeda dengan kandidat yang diusung parpol.

Jika Atin-Nina tidak mampu mengartikulasikan isu-isu publik dan pencitraan ini dengan baik, maka mereka hanya akan dibaca sebagai rezim lama yang berganti kendaraan. Hanya sekedar melepas baju kepartaian. Tanpa menawarkan perubahan atau hal baru akan sulit menantang petahana. Atau barangkali mungkin ini adalah salah satu strategi dan desain politik PDIP yang ambisius, bahwa siapapun pemenang Pilkada nanti, baik dari jalur partai ataupun perseorangan, kursi Subang 1 tetaplah milik kader PDI Perjuangan? kita tunggu saja.

1 comment:

  1. Siapapun bupatinya masyarakat di bagian utara gak bakal kebagian hasilnya, karena kami hanya sempilan dari subang yg di lihat jika da pemilihan, tapi setelah jadi dan duduk kami hanya kotoran kucing yg gak bakal di urus betul betul..., pamanukan, patok, ciasem, blanakan, pabuaran, purwadadi dan sekitarnya siap memisahkan diri.

    ReplyDelete