Artikel ini dimuat di Harian Pasundan Ekspres, Rabu, 22 Mei 2013
Oleh : Yanu Endar Prasetyo
''Kelak,
musuh terbesarmu bukanlah kaum penjajah atau imperialis asing, melainkan
bangsamu sendiri!'' Ungkapan
lama Bung Karno tersebut nampaknya semakin mendapatkan kebenarannya manakala
daftar jumlah anak bangsa yang bergelar koruptor semakin banyak.
Rentetan kasus korupsi yang melibatkan elit
pemimpin partai, kepala daerah, penegak hukum hingga aparatur tingkat rendah
menunjukkan betapa musuh terbesar negara ini justru adalah saudara sebangsa itu
sendiri. Jikalau penjajah atau bangsa asing yang kemudian merampas kekayaan
negeri ini, barangkali mudah untuk mengobarkan semangat nasionalisme untuk
mengusir mereka. Namun jika ternyata para pejabat, politisi, hingga penegak
hukum yang notabene saudara setanah
air yang mengemplang uang rakyat, pasti sulit membayangkan bagaimana
mengusirnya. Ibarat menepuk nyamuk di jidat sendiri. Nyamuk bisa mati namun
kepala pasti ikut sakit. Tidak banyak yang berani.
Korupsi, sekalipun untuk alasan dan tujuan
'mulia', pastilah tetap akan melukai rasa keadilan terhadap sesama. Sekalipun
kecil nilai yang diambil namun jika dilakukan secara kolektif-berjamaah dan
terus menerus, maka akan besar juga akibatnya. Apalagi jika korupsi dalam
jumlah besar, kemudian digunakan untuk hidup mewah dan bersenang-senang dengan
puluhan wanita, tentu akan memancing emosi siapapun rakyat yang melihatnya.
Tetapi emosi itu pada akhirnya hanya sebatas emosi dan umpatan-umpatan belaka.
Layaknya gosip infotainment yang
mudah datang cepat berlalu. Karena pada dasarnya, dalam kehidupan sehari-hari
kita begitu permisif terhadap korupsi!
Salah satu tanda betapa kita permisif terhadap
korupsi adalah manakala masyarakat masih menilai seseorang dari kekayaan materi
yang dimilikinya. Sekalipun kekayaan itu cenderung 'abnormal' dan tidak
proporsional, kita tidak memiliki tradisi untuk mencurigai, malahan justru
terus berlomba-lomba mempertontonkan jumlah materi sebagai simbol status
tertinggi. Lebih fatal lagi, orang - khususnya pejabat publik atau aparatur
negara - yang berpangkat biasa tetapi memiliki kekayaan luar biasa justru kita
labeli sebagai orang ''hebat''. Hebat karena bisa korupsi dan mengelabui sistem
tanpa tersentuh hukum. Pemandangan yang ironi.
Kondisi masyarakat yang demikian permisif dan anomie (kehilangan norma-norma) inilah
yang kemudian menyebabkan korupsi bak jamur di musim hujan. Mati satu, tumbuh
seribu. Satu kasus belum selesai, sudah muncul kasus baru. Lebih besar, lebih
sensasional. Century, wisma atlit, hambalang, suap impor daging sapi hingga
rekening gendut polisi nampaknya hanya sedikit dari drama sinetron kejar tayang
yang sedang diproduseri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sayang seribu
sayang, seperti kebanyakan drama sinetron di TV, tidak ada kasus korupsi besar
yang benar-benar tuntas sampai akarnya. Apakah KPK tebang pilih? Sejarah yang
akan mencatat dan menjawabnya.
Selain kasus korupsi besar yang sering tidak
tuntas (nampak mudah dilokalisir), penyebab korupsi makin mengakar dan
membudaya adalah sistem pendidikan yang - diakui atau tidak - cenderung
koruptif. Salah satu yang paling menonjol adalah kehadiran ujian nasional (UN)
yang secara tidak langsung mengajarkan mental tidak jujur pada peserta didik,
pendidik dan penyelenggara pendidikan. Ketidakjujuran itulah basis dari
perilaku korupsi. Bahayanya, ternyata nilai inilah yang diajarkan - disadari
atau tidak - lewat sistem pendidikan kita.
Bukan hanya sistem pendidikan di sekolah, dalam
lingkungan keluarga tak jarang nilai-nilai koruptif juga tersosialisasi. Tanpa
sengaja anak sering melihat dan meniru praktik kebohongan dan gratifikasi yang
dilakukan orang tuanya. Hal kecil seperti suap - meski bentuk halusnya disebut
ucapan terima kasih - masih banyak dilakukan ketika mengurus hal-hal kecil
kepada RT, RW, lurah hingga kecamatan. Calo pun lahir dari proses-proses
transaksional semacam ini. Korupsi jadi melembaga, bukan karena diminta, tetapi
masyarakat yang memaksa untuk mendapatkan jalan pintas lebih cepat dan tidak
repot. Ditambah dengan gaya hidup konsumtif dan hedonis, menjadi pendorong
perilaku koruptif di masa mendatang.
Korupsi lalu menjadi lingkaran setan tanpa ujung.
Di satu sisi kita getir dan malu menyandang gelar bangsa subur korupsi, namun
di sisi lain kita melanggengkannya setiap hari. Di satu pihak kita marah para
elit korupsi gila-gilaan, namun di dalam hati kita berucap ''oh, beruntung sekali koruptor itu..seandainya
aku yang menjadi dia..''. Koruptor tidak pernah benar-benar kita hukum,
justru kita sanjung dan segani. Bahkan di penjara mereka mendapat sel dan
perlakuan istimewa. Barangkali, korupsi dapat berkurang signifikan di negeri
ini jika cara pandang dan perlakuan kita pada koruptor berubah. Menegakkan
sanksi sosial - dalam arti sebenarnya – mungkin bisa menjadi alternatif untuk
membuat jera para koruptor. Jangan biarkan koruptor tertawa lepas tanpa rasa
berdosa!
keren kang!
ReplyDelete