20 January 2015

9 Hari di India (Bag-1)



“Kelilingi Dunia Selagi Muda!”, demikian suara yang selalu terngiang di telingaku setiap saat. Menghantui sekaligus menyemangati tiada putus bahwa melakukan perjalanan keliling dunia bukanlah “hil yang mustahal”, tentu saja selama kamu percaya dan memegang teguh satu mantra : Man Jadda wa Jadda[1] dan satu sikap : prasangka baik kepada Tuhan-mu. Finally, bersama “partner in crime”-ku yang baru, Yusuf Andriana, aku menemukan momentum untuk melakukan langkah pertama untuk menjejaki negeri di belahan bumi lainnya, mencari “kitab suci” ke Barat, demikian kata Sun Go Kong dalam serial Kera Sakti.

Ya, perjalanan ke India!

Perjalanan ini untuk menghadiri konferensi dunia tentang inovasi akar rumput (grassroots innovation, makhluk apa itu? nanti akan diceritakan lebih lengkap pada waktunya-pen), bertempat di Indian Isntitute of Management (IIM), kota Ahmedabad, Gujarat, India. Jantung gerakan inovasi akar rumput dunia dan pusat honey-bee network berada. Banyak cerita menarik tentang bagaimana proses kami mendapatkan kesempatan menghadiri konferensi ini, akan tetapi itu adalah kisah lain. Kita akan mulai saja bagaimana perjalanan dan pengalaman seru itu kami lalui. 

Sembilan hari di India. This is it.


Sabtu, 17 Januari 2015.

Kami berangkat dari Subang, Jawa Barat pukul 3 dini hari. Sengaja berangkat lebih awal karena kami harus bertemu seseorang untuk mengambil paspor terlebih dahulu sebelum ke bandara. Penerbangan kami sebenarnya pukul 11.45 siang. Namun karena ini penerbangan internasional, maka sebisa mungkin kami tidak terlambat. Jam 9 sudah sampi di Bandara, begitu target kami. Mungkin karena terlalu bersemangat, kami pun tiba di bandara Internasional Cengkareng pukul 8 pagi! It’s ok, hanya saja memang bisa mati gaya kalau menunggu sampai 3 jam lebih. Kami putuskan untuk menukar dulu sedikit uang rupiah yang kami bawa dengan membeli mata uang rupee. 

Beberapa money changer yang ada di bandara masih tutup. Kami bertanya pada salah satu petugas dan ia menyarankan untuk menukar uang di lantai bawah. “Biasanya sudah buka”, katanya. Kami pun menuju lift dan turun ke bawah. Kami lihat ada satu money changer yang buka, namun saat kaki ini menghampiri, seorang petugas satpam mendekat. “Mau tukar uang?” tanyanya. “Iya” jawabku. “Tukar apa? Jangan disitu, ia hanya beli tidak jual” sambungnya kepada kami yang mengatakan bahwa money changer yang akan kami tuju tidaklah menjual uang tetapi hanya membeli. Antara percaya dan tidak, akhirnya kami ikuti langkah petugas keamanan tersebut. Ditambah sedikit keyakinan “masak petugas keamanan berbohong?” 

jadi kemana mas nukarnya?” tanyaku pada satpam berperawakan kurus itu.
Sini aja mas” ia memberi isyarat agar kami mengikuti langkahnya. Aku dan Yusuf saling pandang. Aku tahu dia ragu, pun demikian Saya. Tapi memang tidak ada pilihan pagi itu, dari pada tidak bawa rupee sama sekali pasti akan lebih susah nantinya. Akhirnya kami putuskan untuk mengikuti satpam itu dari belakang menuju sebuah kios. “Ini mah lewat Calo Bro” bisikku pad Yusuf. “ya gimana lagi?” jawabnya.

Setelah sedikit berbincang soal kurs dan sebagainya, akhirnya kami sepakati bahwa kami akan menukar sejumlah Rp. 5.200.000,- dengan 20.000 rupee yang terdiri dari pecahan 1000 rupee. “Asli gak nih bro? Bisik yusuf padaku. “Mana gue tau, emang kita tahu mana yang asli dan palsu” jawabku cuek sambil berharap agar kami lebih tenang dengan transaksi tidak resmi tersebut. “bismillah saja lah”. Uang rupee bergambar Gandhi itu pun kami terima dan masukkan dalam amplop. Selanjutnya kami menuju sebuah restoran fast food kecil di bandara untuk membeli sarapan.

Sekitar pukul 10.30 kami check in ke dalam bandara dan menuju meja dimana maskapai kami akan membawa ke India. Rute kami adalah : Jakarta – New Delhi dengan transit terlebih dahulu di Kuala Lumpur, Malaysia. Sebenarnya bisa saja kami membeli tiket penerbangan langsung ke Ahmedabad (Jakarta-Singapura-Mumbay-Ahmedabad) dengan maskapai murah yang sama. Akan tetapi harga tiketnya mencapai Rp. 11.500.000,-/orang. Padahal seperti kita tahu uang kami sangat terbatas. Nah, jika kami memilih rute ke New Delhi, maka harga tiketnya hampir sama tetapi bisa untuk dua orang! Kita masih waras dan jelas memilih opsi kedua. “lagian kita bisa tahu juga seperti apa aslinya Delhi, Ibu Kota India yang sering ada di filmnya Shah Rukh Khan itu Bro”. Ungkapku sambil meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Asumsinya, sampai di New Delhi kita akan melanjutkan perjalanan menggunakan trasportasi darat seperti Railway, Bus, Taxi atau yang lainnya. “Banyak pilihan Bro menurut mbah Google!”. Demikian obrolan kami sehari sebelumnya ketika melakukan browsing semua informasi terkait transportasi di India. Sampai pada akhirnya nanti, melalui perjalanan ke India ini kami tahu bahwa mbah google memang kadang-kadang sok tahu L (peringatan : jangan percaya mentah-mentah terhadap semua yang kamu baca di internet, buatlah perbandingan dan alternatif sebanyak dan sedetail mungkin sebelum memulai perjalanan ke negara lain).

Sekitar pukul 11.40 WIB pesawat kami take off dan menuju Kuala Lumpur International Airport (KLIA), Malaysia. Sebelum berangkat tadi kami membeli terlebih dahulu souvenir khas Indonesia (Sunda) sebagai oleh-oleh bagi kolega baru yang akan kami temui dalam konferensi tersebut. Souvenir yang kami pilih adalah bolpoin dan gantungan kunci berupa patung wayang golek mini.  Apa pun bentuknya, souvenir ini penting. Perlu dicatat, jika kita memberikan suatu hadiah, meskipun kecil kepada kenalan baru kita, terutama foreigners, maka hal ini akan memberikan dampak yang sangat baik bagi hubungan dan relasi selanjutnya. Percayalah! 

Kembali ke lap top. So, penerbangan ini membutuhkan waktu yang cukup singkat, hanya sekitar 2 jam saja. Sampai di Bandara KLIA, kami langsung menunjukkan tiket pertama kami untuk diganti dengan tiket berikutnya menuju New Delhi. Meskipun ini penerbangan murah sederhana, kami mendapat pelayanan yang cukup baik. Kami tidak perlu mengambil bagasi karena otomatis dipindahkan ke pesawat berikutnya yang kami tumpangi, cukup praktis, bukan?

Sekitar 2 jam kami menunggu di KLIA untuk kemudian terbang ke Indira Gandhi Internatioanal Airport, New Delhi. Sempat juga bertemu dan bertanya pada seorang WNI yang sepertinya sudah sering bolak-balik India. Meskipun ia mengatakan tidak berani memberikan saran untuk perjalanan kami karena ia sendiri tidak hapal betul tentang India. Dia hanya datang dan sudah ada yang menjemput dan menemani selama disana. Tidak masalah, setidaknya banyak cerita darinya yang menambah gambaran kami tentang India.

Oh ya, melalui pesawat kedua yang kami tumpangi ini, barulah saya sadar kenapa penerbangan di Indonesia selalu dibilang buruk dan apa adanya. Ya, benar apa kata berita dan talkshow di TV itu bahwa industri penerbangan kita masih kalah jauh dengan di Luar negeri. Pesawat yang kami tumpangi ini jauh lebih nyaman dibanding sebelumnya, baik dari tempat duduk, pelayanan, fasilitas di dalam dan tentu saja makanan dan minuman yang diberikan di dalamnya.


Penerbangan kami menuju New Delhi ini dilengkapi dengan sekotak makanan vegetarian, air mineral dan beberapa makanan ringan. Menyenangkan! Namun sayangnya, kami harus beradaptasi terlebih dahulu dengan rasa makanan baru tersebut. Cita rasa india, kari bangeett. But it doesn’t matter, mungkin faktor lapar buktinya kami habiskan juga hingga tak tersisa.

Sekitar pukul delapan malam waktu india, kami tiba di Indira Gandhi International Airport New Delhi. Bandara internasional yang nampaknya baru selesai dibangun dan berdiri megah. Beberapa yang dapat saya rasakan dari aroma bandara ini adalah pengamanan yang super ketat. Tentara india berdiri dan mondar-mandir di setiap sudut bandara mulai dari pintu masuk sampai keluar. Mereka menenteng senjata laras panjang dan bersikap sangat waspada. Demikian pula pemeriksaan pada detektor metal juga tidak kenal ampun. Kami harus mengeluarkan seluruh isi tas untuk memastikan setiap bawaan kami tidak melanggar aturan. Namun demikian, kondisi bandara yang sangat luas dan ruang tunggu yang cukup nyaman, pengamanan seperti itu tidak terlalu masalah. Justru masalah sebenarnya adalah ; bagaimana kami bisa tiba ke Ahmedabad?

Itu masalahnya. Dalam rencana kami, pilihan paling murah mudah untuk ke Ahmedabad menurut mbah google adalah by Train. Tapi sempat kami ke agen tiket untuk menanyakan tiket ke ahmedabad. Cukup mahal, sekitar 7000 rupee per orang. Bagaimana dengan Taxi atau rental mobil? Akan sangat mahal, lebih dari 16 jam perjalanan. Bus? Lebih murah, tetapi tidak menjamin sampai dengan selamat. Tidak semua orang lokal di India bisa berbahasa Inggris, bagaimana kalau kita tersesat? Dengan modal keyakinan bahwa kereta api di India lebih murah dan nyaman, maka kami langsung keluar dari bandara untuk menuju stasiun kereta api New Delhi menggunakan Subway yang terintegrasi dalam bandara.  “ Serasa di Jepang, Bro” kata Yusuf. Benar juga, ternyata India sudah jauh lebih maju nih dibanding negara kita, batinku. Ditambah dengan suhu saat itu yang berada dibawah 14 derajat Celcius, memang serasa di Negara sub tropis. Pada saat konferensi kami baru tahu bahwa Delhi dikenal memiliki cuaca yang ekstrim. Subway di Delhi hanya memiliki rute dari Airport menuju New Delhi yang melewati 5 titik pemberhentian. Harga tiketnya cukup murah, hanya 100 rupee sekali jalan. Kami merasa tenang dan gembira, jangan-jangan kereta ke Ahmedabad juga sangat nyaman seperti sekarang. Sayangnya, kami keliru!

You know why? Karena kita belum bertemu dengan The Real India. Sebuah negara dengan populasi manusia terbesar kedua di Dunia. Kita baru berada di pintu gerbangnya saja, belum menjejakkan kaki untuk masuk ke dalam rumah besar dan padat ini. Begitu kami keluar dari Subway dan menuju stasiun nasional Delhi, barulah kita betul-betul mencium, merasakan dan menghirup sesaknya udara kota ini dengan jubelan manusia. Ratusan Oto[2] berseliweran dan nge tem menunggu penumpang. Belum angkot, taxi, dan bus yang diam disalip sepeda dari kiri dan kanan. Suara klakson sambung menyambung tiada henti. Masuk di halaman stasiun kami lebih shock lagi. Bayangkan saja stasiun Gambir atau Senen sebelum “revolusi Jonan”, seperti itu kira-kira kondisinya dan lebih parah! Puluhan orang tidur sembarang di lantai, entah menanti pemberangkatan, gelandangan atau menunggu saudara mereka yang akan datang kami tidak tahu. Yang jelas pemandangan sangat kontras, di satu sisi ratusan orang sibuk wira-wiri dengan koper dan anak-anak mereka, di sisi lain, di lantai stasiun bergelimpangan manusia-manusia sedang tidur seolah sedang di kamar bintang 5. Dan di atas itu semua, masalah terbesarnya adalah : semua papan petunjuk keberangkatan, tiketing maupun kedatangan bertuliskan huruf Hindi. OMG, kami buta huruf!

 Tenang Bro, kita harus berbaur, tidak mencolok, santai dan tetap menatap ke depan alias nggak celingak celinguk” kataku kepada Yusuf yang nampak gelisah berjalan di belakangku. “Gile bro, kita nggak ngerti nih gimana caranya?” kata Yusuf. Betul, bolak balik kami dari antrian reservasi tiket satu ke yang lain. Tidak banyak yang bicara dalam bahasa Inggris. Setelah hampir satu jam tidak jelas kami harus ngapain dan tidak tahu harus mengisi apa dalam lembar pemesanan tiket (karena tidak tahu nama kereta dan jadwalnya) akhirnya kami menarik perhatian seorang Calo yang – mungkin satu-satunya – dengan penampilan sangat rapi, kulit putih, bahasa inggris yang cukup baik dan nampak menguasai liku dan sudut stasiun Delhi. Ia mendatangi kami pelan-pelan. “Where will you go, Sir?” He asked me. “Ahmedabad” I Answered. “Tomorrow is Sunday, there is no train to Ahmedabad, Sir” lanjutnya. “Do you have any suggestion for Us” tanyaku balik. Dia pura-pura berpikir sebentar. Lalu dia menawarkan agar kami membeli tiket di luar, dia akan memandu. Wah, perasaan kami langsung tidak enak. Dia menawarkan macam-macam, mulai tiket bus, mobil dan kereta. Kalau sampai kami ikuti dia, nampaknya kami akan terjebak. Meskipun penampilannya rapi, tapi sudah sejak tadi kulihat dia mondar-mandir mencari “mangsa”. Sejanak aku dan Yusuf saling pandang dan bicara dalam bahasa Jawa dan Sunda.
 
“wes, ngene wae bro, ketoke gak aman ki lek awake dhewe numpak kreto. Numpak pesawat wae, sing penting selamet. Mengko ngirit wae neng Gujarat yen duwite ora cukup”. 

“Sok, kitu we lah Bro, nu penting nyampe heula we Urang di Ahmedabad, lieur aing kiyeu carana mah” (maaf tidak ada terjemahan). 

Sorry Sir, thank you for your information but we’ll back to the air port and goes to Ahmedabad by airways. I’m not sure if we go by this train” kata kami padanya dengan broken style english hehe... Kami berusaha pergi tapi dia terus mengejar dan meyakinkan. Raut mukanya sudah mulai tidak puas dan berubah sedikit mengintimidasi. Oke, sepertinya akan berakhir tidak baik. Kami terus berjalan kembali ke Subway dan seperti dugaan kami, Ia terus mengikuti dari belakang. Sampai di tangga pinu masuk ia mencoba menghentikan langkah kami. Aku sarankan kepada Yusuf untuk memberikan saja dia rupee agar bisa lepas dengan baik-baik. Jitu! 

its work! Akhirnya kami berikan uang kepada Calo ganteng itu untuk segera meninggalkan kami mengucapkan terima kasih. Dia tersenyum puas, geleng-geleng dan menyalami kami. As simple like that.  Kami berjalan lega meski kehilangan 100 rupee karena tidak ada pecahan lain yang lebih kecil. Yang penting sudah bebas! Oh tidak, kami belum bebas, kalau keputusan meninggalkan stasiun New Delhi itu tidak kami buat, maka kami akan gagal kembali ke airport. Kenapa? Karena saat kami masuk dan membeli tiket, si penjaga bilang dengan logat indian-english yang khas sambil geleng-geleng : “you’re so lucky, this is the last train to the airport. Your decision was right, please go, hurry up”. 5 menit saja kami terlambat, kereta akan pergi. Meski kaki sudah pegal setengah mati, rasa ngantuk, tegang, dan gelisah bercampur aduk, kami masih merasa bersyukur diselamatkan dari ketidakpastian tengah malam di negeri antah berantah ini, syukur alhamdulillah.

Welcome back to the IGI Airport, Delhi ! Fiuhh....

(to be continue)





[1] Siapa yang bersungguh-sungguh maka dia akan berhasil
[2] Transportasi roda tiga seperti Bajai yang kita kenal di Indonesia.

4 comments:

  1. Allahu akbar, lama ga ketemu, udah main main ke India aja maaaaaaaaaas....

    Seru mas ceritanya. haha..

    ReplyDelete
  2. "Bus? Lebih murah, tetapi tidak menjamin sampai dengan selamat." haha. saya ngakak nih baca ini. emang bus disana parah parah pisan mas?

    ReplyDelete
    Replies
    1. itu dia, parah pisan euy, bisi teu bisa balik deui.. hahahaha.....

      Delete