“Kelilingi Dunia Selagi Muda!”, demikian suara yang selalu terngiang
di telingaku setiap saat. Menghantui sekaligus menyemangati tiada putus bahwa
melakukan perjalanan keliling dunia bukanlah “hil yang mustahal”, tentu saja selama kamu percaya dan memegang
teguh satu mantra : Man Jadda wa Jadda[1]
dan satu sikap : prasangka baik kepada Tuhan-mu. Finally, bersama “partner in crime”-ku yang baru, Yusuf Andriana, aku menemukan
momentum untuk melakukan langkah pertama untuk menjejaki negeri di belahan bumi
lainnya, mencari “kitab suci” ke Barat, demikian kata Sun Go Kong dalam serial
Kera Sakti.
Ya, perjalanan ke India!
Perjalanan ini untuk menghadiri
konferensi dunia tentang inovasi akar rumput (grassroots innovation, makhluk apa itu? nanti akan diceritakan lebih lengkap pada waktunya-pen), bertempat di Indian Isntitute of Management (IIM), kota Ahmedabad,
Gujarat, India. Jantung gerakan inovasi akar rumput dunia dan pusat honey-bee network berada. Banyak cerita
menarik tentang bagaimana proses kami mendapatkan kesempatan menghadiri
konferensi ini, akan tetapi itu adalah kisah lain. Kita akan mulai saja
bagaimana perjalanan dan pengalaman seru itu kami lalui.
Sembilan hari di India. This is it.
Sabtu, 17
Januari 2015.
Kami
berangkat dari Subang, Jawa Barat pukul 3 dini hari. Sengaja berangkat lebih
awal karena kami harus bertemu seseorang untuk mengambil paspor terlebih dahulu
sebelum ke bandara. Penerbangan kami sebenarnya pukul 11.45 siang. Namun karena
ini penerbangan internasional, maka sebisa mungkin kami tidak terlambat. Jam 9
sudah sampi di Bandara, begitu target kami. Mungkin karena terlalu bersemangat,
kami pun tiba di bandara Internasional Cengkareng pukul 8 pagi! It’s ok, hanya saja memang bisa mati
gaya kalau menunggu sampai 3 jam lebih. Kami putuskan untuk menukar dulu sedikit
uang rupiah yang kami bawa dengan membeli mata uang rupee.
Beberapa money changer yang ada di bandara masih tutup. Kami bertanya pada
salah satu petugas dan ia menyarankan untuk menukar uang di lantai bawah. “Biasanya sudah buka”, katanya. Kami pun
menuju lift dan turun ke bawah. Kami lihat ada satu money changer yang buka, namun saat kaki ini menghampiri, seorang
petugas satpam mendekat. “Mau tukar uang?”
tanyanya. “Iya” jawabku. “Tukar apa? Jangan disitu, ia hanya beli
tidak jual” sambungnya kepada kami yang mengatakan bahwa money changer yang akan kami tuju
tidaklah menjual uang tetapi hanya membeli. Antara percaya dan tidak, akhirnya
kami ikuti langkah petugas keamanan tersebut. Ditambah sedikit keyakinan “masak
petugas keamanan berbohong?”
“jadi kemana mas nukarnya?” tanyaku pada satpam berperawakan kurus
itu.
“Sini aja mas” ia memberi isyarat agar kami mengikuti langkahnya.
Aku dan Yusuf saling pandang. Aku tahu dia ragu, pun demikian Saya. Tapi memang
tidak ada pilihan pagi itu, dari pada tidak bawa rupee sama sekali pasti akan
lebih susah nantinya. Akhirnya kami putuskan untuk mengikuti satpam itu dari
belakang menuju sebuah kios. “Ini mah
lewat Calo Bro” bisikku pad Yusuf. “ya
gimana lagi?” jawabnya.
Setelah sedikit berbincang soal
kurs dan sebagainya, akhirnya kami sepakati bahwa kami akan menukar sejumlah
Rp. 5.200.000,- dengan 20.000 rupee yang terdiri dari pecahan 1000 rupee. “Asli gak nih bro? Bisik yusuf padaku. “Mana gue tau, emang kita tahu mana yang
asli dan palsu” jawabku cuek sambil berharap agar kami lebih tenang dengan
transaksi tidak resmi tersebut. “bismillah
saja lah”. Uang rupee bergambar Gandhi itu pun kami terima dan masukkan
dalam amplop. Selanjutnya kami menuju sebuah restoran fast food kecil di bandara untuk membeli sarapan.
Sekitar
pukul 10.30 kami check in ke dalam bandara dan menuju meja dimana maskapai kami
akan membawa ke India. Rute kami adalah : Jakarta – New Delhi dengan transit
terlebih dahulu di Kuala Lumpur, Malaysia. Sebenarnya bisa saja kami membeli
tiket penerbangan langsung ke Ahmedabad (Jakarta-Singapura-Mumbay-Ahmedabad)
dengan maskapai murah yang sama. Akan tetapi harga tiketnya mencapai Rp.
11.500.000,-/orang. Padahal seperti kita tahu uang kami sangat terbatas.
Nah, jika kami memilih rute ke New
Delhi, maka harga tiketnya hampir sama tetapi bisa untuk dua orang! Kita masih
waras dan jelas memilih opsi kedua. “lagian
kita bisa tahu juga seperti apa aslinya Delhi, Ibu Kota India yang sering ada
di filmnya Shah Rukh Khan itu Bro”. Ungkapku sambil meyakinkan diri bahwa
semua akan baik-baik saja. Asumsinya, sampai di New Delhi kita akan melanjutkan
perjalanan menggunakan trasportasi darat seperti Railway, Bus, Taxi atau yang
lainnya. “Banyak pilihan Bro menurut mbah
Google!”. Demikian obrolan kami sehari sebelumnya ketika melakukan browsing semua informasi terkait
transportasi di India. Sampai pada akhirnya nanti, melalui perjalanan ke India
ini kami tahu bahwa mbah google memang kadang-kadang sok tahu L (peringatan : jangan
percaya mentah-mentah terhadap semua yang kamu baca di internet, buatlah
perbandingan dan alternatif sebanyak dan sedetail mungkin sebelum memulai
perjalanan ke negara lain).
Sekitar
pukul 11.40 WIB pesawat kami take off dan menuju Kuala Lumpur International
Airport (KLIA), Malaysia. Sebelum berangkat tadi kami membeli terlebih dahulu
souvenir khas Indonesia (Sunda) sebagai oleh-oleh bagi kolega baru yang akan
kami temui dalam konferensi tersebut. Souvenir yang kami pilih adalah bolpoin
dan gantungan kunci berupa patung wayang golek mini. Apa pun bentuknya, souvenir ini penting. Perlu
dicatat, jika kita memberikan suatu hadiah, meskipun kecil kepada kenalan baru
kita, terutama foreigners, maka hal
ini akan memberikan dampak yang sangat baik bagi hubungan dan relasi
selanjutnya. Percayalah!
Kembali ke lap top. So, penerbangan ini
membutuhkan waktu yang cukup singkat, hanya sekitar 2 jam saja. Sampai di
Bandara KLIA, kami langsung menunjukkan tiket pertama kami untuk diganti dengan
tiket berikutnya menuju New Delhi. Meskipun ini penerbangan murah sederhana,
kami mendapat pelayanan yang cukup baik. Kami tidak perlu mengambil bagasi
karena otomatis dipindahkan ke pesawat berikutnya yang kami tumpangi, cukup
praktis, bukan?
Sekitar
2 jam kami menunggu di KLIA untuk kemudian terbang ke Indira Gandhi
Internatioanal Airport, New Delhi. Sempat juga bertemu dan bertanya pada seorang
WNI yang sepertinya sudah sering bolak-balik India. Meskipun ia mengatakan
tidak berani memberikan saran untuk perjalanan kami karena ia sendiri tidak
hapal betul tentang India. Dia hanya datang dan sudah ada yang menjemput dan
menemani selama disana. Tidak masalah, setidaknya banyak cerita darinya yang
menambah gambaran kami tentang India.
Oh ya, melalui pesawat kedua yang
kami tumpangi ini, barulah saya sadar kenapa penerbangan di Indonesia selalu
dibilang buruk dan apa adanya. Ya, benar apa kata berita dan talkshow di TV itu
bahwa industri penerbangan kita masih kalah jauh dengan di Luar negeri. Pesawat
yang kami tumpangi ini jauh lebih nyaman dibanding sebelumnya, baik dari tempat
duduk, pelayanan, fasilitas di dalam dan tentu saja makanan dan minuman yang
diberikan di dalamnya.
Penerbangan kami menuju New Delhi
ini dilengkapi dengan sekotak makanan vegetarian, air mineral dan beberapa
makanan ringan. Menyenangkan! Namun sayangnya, kami harus beradaptasi terlebih
dahulu dengan rasa makanan baru tersebut. Cita rasa india, kari bangeett. But it doesn’t matter, mungkin faktor
lapar buktinya kami habiskan juga hingga tak tersisa.
Sekitar
pukul delapan malam waktu india, kami tiba di Indira Gandhi International
Airport New Delhi. Bandara internasional yang nampaknya baru selesai dibangun
dan berdiri megah. Beberapa yang dapat saya rasakan dari aroma bandara ini
adalah pengamanan yang super ketat. Tentara india berdiri dan mondar-mandir di
setiap sudut bandara mulai dari pintu masuk sampai keluar. Mereka menenteng
senjata laras panjang dan bersikap sangat waspada. Demikian pula pemeriksaan
pada detektor metal juga tidak kenal ampun. Kami harus mengeluarkan seluruh isi
tas untuk memastikan setiap bawaan kami tidak melanggar aturan. Namun demikian,
kondisi bandara yang sangat luas dan ruang tunggu yang cukup nyaman, pengamanan
seperti itu tidak terlalu masalah. Justru masalah sebenarnya adalah ; bagaimana
kami bisa tiba ke Ahmedabad?
Itu masalahnya. Dalam rencana
kami, pilihan paling murah mudah untuk ke Ahmedabad menurut mbah google
adalah by Train. Tapi sempat kami ke agen tiket untuk menanyakan tiket ke
ahmedabad. Cukup mahal, sekitar 7000 rupee per orang. Bagaimana dengan Taxi
atau rental mobil? Akan sangat mahal, lebih dari 16 jam perjalanan. Bus? Lebih
murah, tetapi tidak menjamin sampai dengan selamat. Tidak semua orang lokal di
India bisa berbahasa Inggris, bagaimana kalau kita tersesat? Dengan modal
keyakinan bahwa kereta api di India lebih murah dan nyaman, maka kami
langsung keluar dari bandara untuk menuju stasiun kereta api New Delhi
menggunakan Subway yang terintegrasi
dalam bandara. “ Serasa di Jepang, Bro” kata Yusuf. Benar juga, ternyata India
sudah jauh lebih maju nih dibanding negara kita, batinku. Ditambah dengan suhu
saat itu yang berada dibawah 14 derajat Celcius, memang serasa di Negara sub tropis.
Pada saat konferensi kami baru tahu bahwa Delhi dikenal memiliki cuaca yang
ekstrim. Subway di Delhi hanya memiliki rute dari Airport menuju New Delhi yang
melewati 5 titik pemberhentian. Harga tiketnya cukup murah, hanya 100 rupee
sekali jalan. Kami merasa tenang dan gembira, jangan-jangan kereta ke Ahmedabad
juga sangat nyaman seperti sekarang. Sayangnya, kami keliru!
You know why? Karena kita belum bertemu dengan The Real India. Sebuah negara dengan populasi manusia terbesar
kedua di Dunia. Kita baru berada di pintu gerbangnya saja, belum menjejakkan
kaki untuk masuk ke dalam rumah besar dan padat ini. Begitu kami keluar dari
Subway dan menuju stasiun nasional Delhi, barulah kita betul-betul mencium,
merasakan dan menghirup sesaknya udara kota ini dengan jubelan manusia. Ratusan
Oto[2]
berseliweran dan nge tem menunggu penumpang. Belum angkot, taxi, dan bus yang
diam disalip sepeda dari kiri dan kanan. Suara klakson sambung menyambung tiada
henti. Masuk di halaman stasiun kami lebih shock
lagi. Bayangkan saja stasiun Gambir atau Senen sebelum “revolusi Jonan”,
seperti itu kira-kira kondisinya dan lebih parah! Puluhan orang tidur sembarang
di lantai, entah menanti pemberangkatan, gelandangan atau menunggu saudara
mereka yang akan datang kami tidak tahu. Yang jelas pemandangan sangat kontras,
di satu sisi ratusan orang sibuk wira-wiri dengan koper dan anak-anak mereka,
di sisi lain, di lantai stasiun bergelimpangan manusia-manusia sedang tidur
seolah sedang di kamar bintang 5. Dan di atas itu semua, masalah terbesarnya
adalah : semua papan petunjuk keberangkatan, tiketing maupun kedatangan bertuliskan
huruf Hindi. OMG, kami buta huruf!
“Tenang Bro, kita harus berbaur, tidak mencolok, santai dan tetap
menatap ke depan alias nggak celingak celinguk” kataku kepada Yusuf yang
nampak gelisah berjalan di belakangku. “Gile
bro, kita nggak ngerti nih gimana caranya?” kata Yusuf. Betul, bolak balik
kami dari antrian reservasi tiket satu ke yang lain. Tidak banyak yang bicara
dalam bahasa Inggris. Setelah hampir satu jam tidak jelas kami harus ngapain
dan tidak tahu harus mengisi apa dalam lembar pemesanan tiket (karena tidak
tahu nama kereta dan jadwalnya) akhirnya kami menarik perhatian seorang Calo
yang – mungkin satu-satunya – dengan penampilan sangat rapi, kulit putih,
bahasa inggris yang cukup baik dan nampak menguasai liku dan sudut stasiun
Delhi. Ia mendatangi kami
pelan-pelan. “Where will you go, Sir?” He
asked me. “Ahmedabad” I Answered. “Tomorrow
is Sunday, there is no train to Ahmedabad, Sir” lanjutnya. “Do you have any suggestion for Us”
tanyaku balik. Dia pura-pura berpikir sebentar. Lalu dia menawarkan agar
kami membeli tiket di luar, dia akan memandu. Wah, perasaan kami langsung tidak
enak. Dia menawarkan macam-macam, mulai tiket bus, mobil dan kereta. Kalau
sampai kami ikuti dia, nampaknya kami akan terjebak. Meskipun penampilannya
rapi, tapi sudah sejak tadi kulihat dia mondar-mandir mencari “mangsa”. Sejanak
aku dan Yusuf saling pandang dan bicara dalam bahasa Jawa dan Sunda.
“wes, ngene wae bro, ketoke gak aman ki lek awake dhewe numpak
kreto. Numpak pesawat wae, sing penting selamet. Mengko ngirit wae neng Gujarat
yen duwite ora cukup”.
“Sok, kitu we
lah Bro, nu penting nyampe heula we Urang di Ahmedabad, lieur aing kiyeu carana
mah” (maaf tidak ada terjemahan).
“Sorry
Sir, thank you for your information but we’ll back to the air port and goes to
Ahmedabad by airways. I’m not sure if we go by this train” kata kami
padanya dengan broken style english hehe... Kami berusaha pergi tapi dia terus mengejar dan meyakinkan. Raut
mukanya sudah mulai tidak puas dan berubah sedikit mengintimidasi. Oke,
sepertinya akan berakhir tidak baik. Kami terus berjalan kembali ke Subway dan
seperti dugaan kami, Ia terus mengikuti dari belakang. Sampai di tangga pinu masuk ia mencoba menghentikan langkah kami.
Aku sarankan kepada Yusuf untuk memberikan saja dia rupee agar bisa lepas
dengan baik-baik. Jitu!
its work! Akhirnya kami berikan uang kepada Calo ganteng itu
untuk segera meninggalkan kami mengucapkan terima kasih. Dia tersenyum
puas, geleng-geleng dan menyalami kami. As simple like
that. Kami berjalan lega meski kehilangan
100 rupee karena tidak ada pecahan lain yang lebih kecil. Yang penting sudah
bebas! Oh tidak, kami belum bebas, kalau keputusan meninggalkan stasiun New
Delhi itu tidak kami buat, maka kami akan gagal kembali ke airport. Kenapa?
Karena saat kami masuk dan membeli tiket, si penjaga bilang dengan logat
indian-english yang khas sambil geleng-geleng : “you’re so lucky, this is the last train to the airport. Your decision
was right, please go, hurry up”. 5 menit saja kami terlambat, kereta akan
pergi. Meski kaki sudah pegal setengah mati, rasa ngantuk, tegang, dan gelisah
bercampur aduk, kami masih merasa bersyukur diselamatkan dari ketidakpastian tengah
malam di negeri antah berantah ini, syukur alhamdulillah.
Welcome back to the IGI Airport, Delhi ! Fiuhh....
(to be continue)
Allahu akbar, lama ga ketemu, udah main main ke India aja maaaaaaaaaas....
ReplyDeleteSeru mas ceritanya. haha..
hehehe.....thanks mas bro!
Delete"Bus? Lebih murah, tetapi tidak menjamin sampai dengan selamat." haha. saya ngakak nih baca ini. emang bus disana parah parah pisan mas?
ReplyDeleteitu dia, parah pisan euy, bisi teu bisa balik deui.. hahahaha.....
Delete