10 December 2014

Petani, Penyuluh dan Swasembada

Oleh : Yanu Endar Prasetyo
Sosiolog Pedesaan LIPI


Salah satu janji kerja Menteri Pertanian dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK ialah ingin mencapai swasembada pangan dalam 3 tahun ke depan, khususnya pada tiga komoditas pangan utama yaitu padi (meningkat 3,9%), jagung (meningkat 4,5%) dan kedelai (meningkat 30,25%) serta peningkatan produksi gula (1,64%) dan daging (0,52 juta ton). Apakah target ini realistis atau utopis? Mengingat kondisi pertanian dalam negeri kita yang masih remuk dan compang-camping. Jangankan mengukur dari tingkat kesejahteraan petani, melihat infrastruktur dasar pertanian seperti irigasi saja sudah puluhan tahun tidak pernah tersentuh perbaikan. Tercatat 52% saluran irigasi tersier rusak. Belum masalah bibit, pupuk, alsintan dan SDM pertanian yang tidak pernah tuntas. Namun disisi lain memang aneh jika Indonesia tidak mampu berswasembada pangan, mengingat pertanian adalah jantung ekonomi rakyat selama puluhan bahkan ratusan tahun. Pasti ada yang salah dalam pengelolaan sumber daya pertanian di negeri ini.

Pertanian itu sendiri sudah diakui memberikan kontribusi nyata dan memiliki peran yang sangat strategis. Bahkan ada ungkapan terkenal, jika kita ingin menguasai suatu bangsa, maka kuasailah sumber-sumber pangannya. Karena dengan mengontrol sumber pangan (dan juga energi), maka kita bisa mengontrol pula manusianya. Pangan itu sendiri bersumber dari usaha pertanian, apa pun bentuknya. Di darat maupun di laut. Menurut data dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (2014), sektor pertanian tercatat sebagai penyedia 87% bahan baku untuk industri kecil dan menengah, penyumbang 14,44% PDB, penghasil devisa negara sebesar US$ 23,14 M, penyerap 38,9% dari total tenaga kerja di Indonesia dan masih menjadi sumber utama (70%) pendapatan rumah tangga pedesaan kita. Bahkan di era perubahan iklim saat ini, sektor pertanian juga berperan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 8 juta ton.
Menimbang nilai strategis sektor pertanian tersebut, tentu saja pemerintah harus menempatkan prioritas secara jeli dan tepat tanpa mengabaikan kompleksitas persoalan di lapangan. Namun kita justru melihat empat sasaran strategi pembangunan pertanian 2015-2019 yang disusun oleh kementrian pertanian yang menempatkan ketahanan pangan pokok pada urutan pertama dan peningkatan kesejahteraan petani pada urutan terakhir. Tentu saja pemerintah dapat beralasan bahwa keempat sasaran tersebut (meningkatnya ketahanan pangan, meningkatnya ekspor dan substitusi impor produk pertanian, meningkatnya ketersediaan bahan baku bio-industri dan bio-energi dan meningkatnya kesejahteraan petani) akan dilakukan secara simultan dan paralel. Namun menjadi pertanyaan mendasar mengapa justru penyedia pangan (petani) tidak menjadi concern utama pemerintah?
Logika sederhananya adalah bagaimana mungkin semua target peningkatan produktivitas itu tercapai manakala petani dan keluarganya justru ramai-ramai meninggalkan sektor pertanian dan beralih pada usaha non-pertanian karena dinilai kurang menjanjikan? Insentif seperti apa yang diberikan oleh negara kepada para petani kita yang usianya rata-rata diatas 50 tahun? Ditambah, kecenderungan utama saat ini di lapangan adalah jumlah buruh tani jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah petani pemilik lahan. Artinya, struktur penguasaan lahan pertanian sudah demikian timpang karena sedikit petani (dan investor) menguasai banyak lahan, sementara banyak petani bekerja di lahan yang sempit. Hanya cukup untuk hidup hari ini. Petani tanpa lahan ibarat tanaman tanpa akar, ia tidak bisa tumbuh dan menghidupi dirinya sendiri. Tidak ada kedaulatan (pangan dan pertanian) tanpa penguasaan dan kepemilikan lahan yang berpihak pada petani.
Bukan hanya petani, tetapi juga penyuluh pertanian yang selama ini memiliki peran sentral dalam pendampingan dan pembelajaran non formal bagi petani juga tidak mendapatkan prioritas. Tujuh puluh persen (70%) petani kita hanya lulusan Sekolah Dasar (SD). Maka keberadaan penyuluh mutlak diperlukan. Tetapi, kondisi penyuluh pertanian saat ini bisa dibilang memprihatinkan. Dari total 61.124 orang penyuluh yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) hanya 27.476 orang, sisanya berstatus Tenaga Harian Lepas (THL) dan Penyuluh Swadaya. Rasio penempatan penyuluh di desa/kelurahan (PNS dan THL) sebanyak 32.299 (41%) dari 79.313 desa/kelurahan (Kemendagri 2014), sehingga saat ini satu orang penyuluh membina 2 sampai 3 desa/kelurahan. Bagaimana mungkin efektif? Parahnya, pada tahun 2014 – 2018 jumlah penyuluh PNS yang akan pensiun sebanyak 13.973 (49 %) padahal di sisi lain pemerintah melakukan kebijakan moratorium PNS. Barcermin dengan kondisi ini, bagaimana kita bisa optimis target swasembada pangan bisa tercapai dalam 3 tahun?
Tetap saja persoalan dasar tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu oleh pemerintah, yaitu : struktur penguasaan lahan bagi petani yang lebih merata dan peningkatan kuantitas (rekruitmen) dan kapasitas penyuluh sebagai partner utama petani di lapangan. Terobosan lain yang dapat dilakukan adalah dengan merevitalisasi kelembagaan petani dan merangkul organisasi-organisasi petani agar memiliki peran yang lebih kuat, baik dalam layanan penyuluhan desa (swadaya) maupun dalam mendampingi perjuangan petani untuk mendapatkan hak-haknya. Jika selama ini banyak organisasi dan serikat petani yang “melawan” negara ketika melakukan advokasi terhadap petani, maka sudah saatnya bagi kabinet kerja Jokowi-JK yang katanya pro-rakyat ini untuk merangkul mereka dan menjadikannya bagian dari solusi-solusi penguatan sektor pertanian. Bagaimanapun juga, organisasi petani ini mampu untuk didorong untuk berperan menjadi motivator, katalisator, dinamisator dan fasilitator dalam pembangunan desa pada umumnya dan khususnya sektor pertanian.  



No comments:

Post a Comment