Oleh : Yanu Endar Prasetyo
Sosiolog Pedesaan LIPI
Salah satu janji
kerja Menteri Pertanian dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK ialah ingin mencapai
swasembada pangan dalam 3 tahun ke depan, khususnya pada tiga komoditas pangan
utama yaitu padi (meningkat 3,9%), jagung (meningkat 4,5%) dan kedelai (meningkat
30,25%) serta peningkatan produksi gula (1,64%) dan daging (0,52 juta ton).
Apakah target ini realistis atau utopis? Mengingat kondisi pertanian dalam
negeri kita yang masih remuk dan compang-camping. Jangankan mengukur dari
tingkat kesejahteraan petani, melihat infrastruktur dasar pertanian seperti
irigasi saja sudah puluhan tahun tidak pernah tersentuh perbaikan. Tercatat 52%
saluran irigasi tersier rusak. Belum masalah bibit, pupuk, alsintan dan SDM
pertanian yang tidak pernah tuntas. Namun disisi lain memang aneh jika
Indonesia tidak mampu berswasembada pangan, mengingat pertanian adalah jantung
ekonomi rakyat selama puluhan bahkan ratusan tahun. Pasti ada yang salah dalam
pengelolaan sumber daya pertanian di negeri ini.
Pertanian itu
sendiri sudah diakui memberikan kontribusi nyata dan memiliki peran yang sangat
strategis. Bahkan ada ungkapan terkenal, jika kita ingin menguasai suatu
bangsa, maka kuasailah sumber-sumber pangannya. Karena dengan mengontrol sumber
pangan (dan juga energi), maka kita bisa mengontrol pula manusianya. Pangan itu
sendiri bersumber dari usaha pertanian, apa pun bentuknya. Di darat maupun di
laut. Menurut data dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (2014),
sektor pertanian tercatat sebagai penyedia 87% bahan baku untuk industri kecil
dan menengah, penyumbang 14,44% PDB, penghasil devisa negara sebesar US$ 23,14
M, penyerap 38,9% dari total tenaga kerja di Indonesia dan masih menjadi sumber
utama (70%) pendapatan rumah tangga pedesaan kita. Bahkan di era perubahan
iklim saat ini, sektor pertanian juga berperan menurunkan emisi gas rumah kaca
sebesar 8 juta ton.
Menimbang nilai
strategis sektor pertanian tersebut, tentu saja pemerintah harus menempatkan
prioritas secara jeli dan tepat tanpa mengabaikan kompleksitas persoalan di
lapangan. Namun kita justru melihat empat sasaran strategi pembangunan
pertanian 2015-2019 yang disusun oleh kementrian pertanian yang menempatkan
ketahanan pangan pokok pada urutan pertama dan peningkatan kesejahteraan petani
pada urutan terakhir. Tentu saja pemerintah dapat beralasan bahwa keempat
sasaran tersebut (meningkatnya ketahanan pangan, meningkatnya ekspor dan
substitusi impor produk pertanian, meningkatnya ketersediaan bahan baku
bio-industri dan bio-energi dan meningkatnya kesejahteraan petani) akan
dilakukan secara simultan dan paralel. Namun menjadi pertanyaan mendasar
mengapa justru penyedia pangan (petani) tidak menjadi concern utama pemerintah?
Logika
sederhananya adalah bagaimana mungkin semua target peningkatan produktivitas
itu tercapai manakala petani dan keluarganya justru ramai-ramai meninggalkan
sektor pertanian dan beralih pada usaha non-pertanian karena dinilai kurang
menjanjikan? Insentif seperti apa yang diberikan oleh negara kepada para petani
kita yang usianya rata-rata diatas 50 tahun? Ditambah, kecenderungan utama saat
ini di lapangan adalah jumlah buruh tani jauh lebih besar dibandingkan dengan
jumlah petani pemilik lahan. Artinya, struktur penguasaan lahan pertanian sudah
demikian timpang karena sedikit petani (dan investor) menguasai banyak lahan,
sementara banyak petani bekerja di lahan yang sempit. Hanya cukup untuk hidup
hari ini. Petani tanpa lahan ibarat tanaman tanpa akar, ia tidak bisa tumbuh
dan menghidupi dirinya sendiri. Tidak ada kedaulatan (pangan dan pertanian)
tanpa penguasaan dan kepemilikan lahan yang berpihak pada petani.
Bukan hanya
petani, tetapi juga penyuluh pertanian yang selama ini memiliki peran sentral
dalam pendampingan dan pembelajaran non formal bagi petani juga tidak
mendapatkan prioritas. Tujuh puluh persen (70%) petani kita hanya lulusan
Sekolah Dasar (SD). Maka keberadaan penyuluh mutlak diperlukan. Tetapi, kondisi
penyuluh pertanian saat ini bisa dibilang memprihatinkan. Dari total 61.124
orang penyuluh yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) hanya 27.476 orang,
sisanya berstatus Tenaga Harian Lepas (THL) dan Penyuluh Swadaya. Rasio
penempatan penyuluh di desa/kelurahan (PNS dan THL) sebanyak 32.299 (41%) dari
79.313 desa/kelurahan (Kemendagri 2014), sehingga saat ini satu orang penyuluh
membina 2 sampai 3 desa/kelurahan. Bagaimana mungkin efektif? Parahnya, pada tahun
2014 – 2018 jumlah penyuluh PNS yang akan pensiun sebanyak 13.973 (49 %) padahal
di sisi lain pemerintah melakukan kebijakan moratorium PNS. Barcermin dengan
kondisi ini, bagaimana kita bisa optimis target swasembada pangan bisa tercapai
dalam 3 tahun?
Tetap saja
persoalan dasar tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu oleh pemerintah,
yaitu : struktur penguasaan lahan bagi petani yang lebih merata dan peningkatan
kuantitas (rekruitmen) dan kapasitas penyuluh sebagai partner utama petani di
lapangan. Terobosan lain yang dapat dilakukan adalah dengan merevitalisasi
kelembagaan petani dan merangkul organisasi-organisasi petani agar memiliki
peran yang lebih kuat, baik dalam layanan penyuluhan desa (swadaya) maupun
dalam mendampingi perjuangan petani untuk mendapatkan hak-haknya. Jika selama
ini banyak organisasi dan serikat petani yang “melawan” negara ketika melakukan
advokasi terhadap petani, maka sudah saatnya bagi kabinet kerja Jokowi-JK yang
katanya pro-rakyat ini untuk merangkul mereka dan menjadikannya bagian dari
solusi-solusi penguatan sektor pertanian. Bagaimanapun juga, organisasi petani
ini mampu untuk didorong untuk berperan menjadi motivator, katalisator,
dinamisator dan fasilitator dalam pembangunan desa pada umumnya dan khususnya
sektor pertanian.
No comments:
Post a Comment