Oleh : Yanu Endar Prasetyo
Bulan Januari
lalu kami baru saja mengikuti sebuah konferensi dunia tentang inovasi akar
rumput di Ahmedabad, Gujarat India. Sebuah konferensi besar yang dihadiri oleh
ilmuwan, mahasiswa dan aktivis yang berasal dari 25 negara dan diselenggaran di
pusat nadi gerakan inovasi akar rumput yang dimotori oleh Honey Bee Network (HBN) dan National
Innovation Foundation (NIF) India. Filosofi inovasi akar rumput ini
bertumpu pada semangat Gandhian, dimana inovasi dilakukan untuk menyelesaikan
masalah riil yang dihadapi (kemandirian), egalitarianisme, keterbukaan (open innovation), pembelaan kepada yang
lemah (technology for humanity) serta
keselarasan dan penghormatan pada alam (ecosentrism)
nampak menonjol dan menjadi titik tekan dalam setiap produk dan wacana yang dimunculkan.
Bagaimana India bisa demikian pesat dan menjadi pemimpin dalam melahirkan
inovasi lokal yang berhasil dipasarkan secara global? Apa yang Bangsa kita bisa
pelajari dari India?
Laku
Gandhi-isme
Seperti
diungkapkan sebelumnya, lahirnya Grassroots
Innovation (GRI) ini tidak jauh dari pemikiran dan gerakan besar Mahatma
Gandhi yang berhasil dielaborasi dan dikembangkan dalam isu kontemporer,
khususnya inovasi teknologi dan kemiskinan. Kita melihat bagaimana para penerus
ideologi Gandhi ini menitis menjadi para profesor, ilmuwan, peneliti, aktivis
LSM, dosen dan bahkan mahasiswa-mahasiswa idealis yang pekerja keras. Tidak
hanya sebagai wacana dan perdebatan, Gandhiisme ini sudah menjadi laku
spiritual yang menyentuh dan membangkitkan. Kesederhanaan, kesahajaan,
identitas yang kuat, efisiensi hingga kepercayaan diri yang tinggi demikian
kuat dan menonjol.
Jika biasanya
inovasi teknologi ini selalu dipahami secara elitis, yaitu hasil karya para
orang pintar, sarjana dan lembaga pendidikan/penelitian formal, maka GRI
menolak mainstream tersebut dan
mengatakan bahwa mereka yang tidak berpendidikan secara formal, tinggal di
pelosok pedesaan, miskin dan tidak memiliki laboratorium juga memiliki inovasi yang
layak untuk diperhitungkan. Dari ekosistem miskin-desa juga bisa lahir inovator
kelas dunia. Memang inovasi mereka bukan untuk pengembangan sebuah industri
manufaktur skala besar, tetapi kekuatan GRI adalah kemampuannya dalam
mereplikasi dan menyelesaikan masalah riil sehari-hari yang dihadapi oleh
sebuah komunitas, terutama yang berada di pelosok pedesaan.
Misalnya saja
bagaimana mereka berupaya agar memanjat pohon kelapa bisa menjadi lebih aman
dan dapat dilakukan oleh siapapun, lahir inovasi alat pemanjat pohon kelapa.
Lalu ketika ternak mereka sakit dan jauh dari dokter hewan, mereka melestarikan
ramuan herbal tradisional untuk dimanfaatkan. Bahkan yang lebih mendunia,
mereka menciptakan koper praktis yang dilengkapi tempat duduk, tongkat khusus
orang lumpuh untuk memudahkan naik turun tangga, perangkap nyamuk sederhana,
pencetak kotoran sapi menjadi pot tanaman dan ribuan inovasi lainnya. Bukan
hanya di bidang mekanisasi pertanian saja, melainkan juga inovasi alat-alat
pembelajaran di bidang pendidikan juga berkembang dengan kreatifitas yang tak
kalah tinggi. Alih-alih mengeluh dan menyalahkan pemerintah, justru mereka
berlomba-lomba untuk tidak tergantung dari pihak di luar komunitasnya. Inilah
daya dorong inovasi dan kreatifitas akar rumput itu bersumber.
Sodh
Yatra dan “g to G”
Tentu semangat
saja tidak cukup. India – melalui jejaring dan institusi seperti HBN, Sristi, GIAN dan NIF - memiliki banyak
konsep strategis dan teknik yang unik untuk menelusuri, mendata,
mendokumentasikan, memvalidasi, melindungi dan mempromosikan inovasi akar
rumput dari seluruh pelosok India. Perlu dicatat, mereka memulai ini sejak tiga
puluh tahun yang lalu dan merasakan hasilnya secara pelan dan pasti saat ini.
Bukan sebuah pekerjaan instan yang selalu kita jalankan di Indonesia. Sebuah
konsistensi dan keberpihakan yang membutuhkan daya tahan sangat panjang. Tidak
mungkin jika ini hanya sebuah proyek atau program sesaat. Ada spiritualitas
dibalik itu yang membuatnya kuat. Saat ini, NIF telah memiliki 200.000 lebih
data tentang ide, produk, invensi dan inovasi akar rumput dari seluruh india.
Bagaimana mereka mendata dan menemukan para grassroots
innovators tersebut?
Mereka
memiliki beberapa aktivitas diantaranya Scouting
and Documentation (SD) untuk pengumpulan data, kemudian Value Addition Research & Development (VARD)
dimana inovasi yang ditemukan kemudian divalidasi secara ilmiah di laboratorium
perguruan tinggi atau lembaga riset, setelah itu inovasi mereka dilindungi
melalui program Intellectual Property
Management (IPM), dibantu untuk dipasarkan dan dipromosikan melalui Business Development and Micro Venture
Innovation Fund (BD&MVIF), dan pemasyarakatan non-komersial melalui Information Technology (IT) dan program Dissemination and Social Diffusion (DSD). Sungguh sebuah aktivitas hulu-hilir yang lengkap dan komprehensif. Dari
sinilah kemudian program terbaru inovasi India dengan tagline “g to G” (grassroots to Global) diluncurkan dan
bersiap-siap ekspansi ke seluruh dunia!
Dari semua pola pendataan itu, yang paling fenomenal dan menjadi ciri
khas India adalah apa yang disebut sebagai Sodh
Yatra (a journey of exploration).
Sodh Yatra ini merupakan sebuah
perjalanan ratusan kilometer yang dilakukan oleh sekelompok ilmuwan, peneliti,
mahasiswa doktoral, mahasiswa dan masyarakat umum yang tertarik untuk berjalan
kaki ke berbagai pelosok untuk menemukan dan mendata GRI sekaligus melakukan
edukasi kepada penduduk desa yang ditemui. Mereka berjalan kaki, berinteraksi
dan langsung menyaksikan berbagai permasalahan secara dekat dalam pengembaraan
kolektif tersebut. Bulan ini Sodh Yatra
ke-33 sedang dijalankan disana. Bukan hanya orang India, Sodh Yatra ini juga terbuka untuk orang luar yang berminat
mengikuti.
Lalu,
bagaimana dengan Indonesia? India memang telah jauh memimpin, namun bukan
berarti kita tidak bisa mengejarnya. Dilihat dari aspek kekayaan biodiversity dan cultural diversity-nya Indonesia tidak kalah dengan India, bahkan
mungkin lebih kaya dan menarik. Kita juga memiliki banyak generasi muda kreatif
yang mendunia. Jika India memiliki Gandhiisme, kita juga memiliki Sukarnoisme
yang kurang lebih memiliki ajaran dan mantra yang mirip (Trisakti). Kelembagaan
inovasi? Kita juga memiliki perangkat inovasi yang bahkan lebih banyak dari
india, sebutlah KIN, SINAS, SIDA, Balitbang, Posyantek, dan ratusan perguruan
tinggi yang tersebar merata. Kita memiliki inisiatif-inisiatif komunitas anak
muda yang juga tak kalah dahsyatnya seperti Gerakan Sejuta Data Budaya (GSDB)
dan juga beragam lomba inovasi berbagai tingkat dan level yang tak terhitung
jumlahnya. Lalu, masih kurang apa lagi untuk bergerak seperti India? Tak perlu
habiskan banyak waktu untuk berdebat atau menjawab pertanyaan terakhir itu, mulailah
bergerak sekarang juga, bersama-sama!
No comments:
Post a Comment