16 February 2015

Belajar Inovasi dari India

Inilah Koran, 16 Februari 2015
Oleh : Yanu Endar Prasetyo



Bulan Januari lalu kami baru saja mengikuti sebuah konferensi dunia tentang inovasi akar rumput di Ahmedabad, Gujarat India. Sebuah konferensi besar yang dihadiri oleh ilmuwan, mahasiswa dan aktivis yang berasal dari 25 negara dan diselenggaran di pusat nadi gerakan inovasi akar rumput yang dimotori oleh Honey Bee Network (HBN) dan National Innovation Foundation (NIF) India. Filosofi inovasi akar rumput ini bertumpu pada semangat Gandhian, dimana inovasi dilakukan untuk menyelesaikan masalah riil yang dihadapi (kemandirian), egalitarianisme, keterbukaan (open innovation), pembelaan kepada yang lemah (technology for humanity) serta keselarasan dan penghormatan pada alam (ecosentrism) nampak menonjol dan menjadi titik tekan dalam setiap produk dan wacana yang dimunculkan. Bagaimana India bisa demikian pesat dan menjadi pemimpin dalam melahirkan inovasi lokal yang berhasil dipasarkan secara global? Apa yang Bangsa kita bisa pelajari dari India?


Laku Gandhi-isme

Seperti diungkapkan sebelumnya, lahirnya Grassroots Innovation (GRI) ini tidak jauh dari pemikiran dan gerakan besar Mahatma Gandhi yang berhasil dielaborasi dan dikembangkan dalam isu kontemporer, khususnya inovasi teknologi dan kemiskinan. Kita melihat bagaimana para penerus ideologi Gandhi ini menitis menjadi para profesor, ilmuwan, peneliti, aktivis LSM, dosen dan bahkan mahasiswa-mahasiswa idealis yang pekerja keras. Tidak hanya sebagai wacana dan perdebatan, Gandhiisme ini sudah menjadi laku spiritual yang menyentuh dan membangkitkan. Kesederhanaan, kesahajaan, identitas yang kuat, efisiensi hingga kepercayaan diri yang tinggi demikian kuat dan menonjol.  
Jika biasanya inovasi teknologi ini selalu dipahami secara elitis, yaitu hasil karya para orang pintar, sarjana dan lembaga pendidikan/penelitian formal, maka GRI menolak mainstream tersebut dan mengatakan bahwa mereka yang tidak berpendidikan secara formal, tinggal di pelosok pedesaan, miskin dan tidak memiliki laboratorium juga memiliki inovasi yang layak untuk diperhitungkan. Dari ekosistem miskin-desa juga bisa lahir inovator kelas dunia. Memang inovasi mereka bukan untuk pengembangan sebuah industri manufaktur skala besar, tetapi kekuatan GRI adalah kemampuannya dalam mereplikasi dan menyelesaikan masalah riil sehari-hari yang dihadapi oleh sebuah komunitas, terutama yang berada di pelosok pedesaan.
Misalnya saja bagaimana mereka berupaya agar memanjat pohon kelapa bisa menjadi lebih aman dan dapat dilakukan oleh siapapun, lahir inovasi alat pemanjat pohon kelapa. Lalu ketika ternak mereka sakit dan jauh dari dokter hewan, mereka melestarikan ramuan herbal tradisional untuk dimanfaatkan. Bahkan yang lebih mendunia, mereka menciptakan koper praktis yang dilengkapi tempat duduk, tongkat khusus orang lumpuh untuk memudahkan naik turun tangga, perangkap nyamuk sederhana, pencetak kotoran sapi menjadi pot tanaman dan ribuan inovasi lainnya. Bukan hanya di bidang mekanisasi pertanian saja, melainkan juga inovasi alat-alat pembelajaran di bidang pendidikan juga berkembang dengan kreatifitas yang tak kalah tinggi. Alih-alih mengeluh dan menyalahkan pemerintah, justru mereka berlomba-lomba untuk tidak tergantung dari pihak di luar komunitasnya. Inilah daya dorong inovasi dan kreatifitas akar rumput itu bersumber.


Sodh Yatra dan “g to G”

Tentu semangat saja tidak cukup. India – melalui jejaring dan institusi seperti  HBN, Sristi, GIAN dan NIF - memiliki banyak konsep strategis dan teknik yang unik untuk menelusuri, mendata, mendokumentasikan, memvalidasi, melindungi dan mempromosikan inovasi akar rumput dari seluruh pelosok India. Perlu dicatat, mereka memulai ini sejak tiga puluh tahun yang lalu dan merasakan hasilnya secara pelan dan pasti saat ini. Bukan sebuah pekerjaan instan yang selalu kita jalankan di Indonesia. Sebuah konsistensi dan keberpihakan yang membutuhkan daya tahan sangat panjang. Tidak mungkin jika ini hanya sebuah proyek atau program sesaat. Ada spiritualitas dibalik itu yang membuatnya kuat. Saat ini, NIF telah memiliki 200.000 lebih data tentang ide, produk, invensi dan inovasi akar rumput dari seluruh india. Bagaimana mereka mendata dan menemukan para grassroots innovators tersebut?
Mereka memiliki beberapa aktivitas diantaranya Scouting and Documentation (SD) untuk pengumpulan data, kemudian Value Addition Research & Development (VARD) dimana inovasi yang ditemukan kemudian divalidasi secara ilmiah di laboratorium perguruan tinggi atau lembaga riset, setelah itu inovasi mereka dilindungi melalui program Intellectual Property Management (IPM), dibantu untuk dipasarkan dan dipromosikan melalui Business Development and Micro Venture Innovation Fund (BD&MVIF), dan pemasyarakatan non-komersial melalui Information Technology (IT) dan program Dissemination and Social Diffusion (DSD). Sungguh sebuah aktivitas hulu-hilir yang lengkap dan komprehensif. Dari sinilah kemudian program terbaru inovasi India dengan tagline “g to G” (grassroots to Global) diluncurkan dan bersiap-siap ekspansi ke seluruh dunia!
Dari semua pola pendataan itu, yang paling fenomenal dan menjadi ciri khas India adalah apa yang disebut sebagai Sodh Yatra (a journey of exploration). Sodh Yatra ini merupakan sebuah perjalanan ratusan kilometer yang dilakukan oleh sekelompok ilmuwan, peneliti, mahasiswa doktoral, mahasiswa dan masyarakat umum yang tertarik untuk berjalan kaki ke berbagai pelosok untuk menemukan dan mendata GRI sekaligus melakukan edukasi kepada penduduk desa yang ditemui. Mereka berjalan kaki, berinteraksi dan langsung menyaksikan berbagai permasalahan secara dekat dalam pengembaraan kolektif tersebut. Bulan ini Sodh Yatra ke-33 sedang dijalankan disana. Bukan hanya orang India, Sodh Yatra ini juga terbuka untuk orang luar yang berminat mengikuti.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? India memang telah jauh memimpin, namun bukan berarti kita tidak bisa mengejarnya. Dilihat dari aspek kekayaan biodiversity dan cultural diversity-nya Indonesia tidak kalah dengan India, bahkan mungkin lebih kaya dan menarik. Kita juga memiliki banyak generasi muda kreatif yang mendunia. Jika India memiliki Gandhiisme, kita juga memiliki Sukarnoisme yang kurang lebih memiliki ajaran dan mantra yang mirip (Trisakti). Kelembagaan inovasi? Kita juga memiliki perangkat inovasi yang bahkan lebih banyak dari india, sebutlah KIN, SINAS, SIDA, Balitbang, Posyantek, dan ratusan perguruan tinggi yang tersebar merata. Kita memiliki inisiatif-inisiatif komunitas anak muda yang juga tak kalah dahsyatnya seperti Gerakan Sejuta Data Budaya (GSDB) dan juga beragam lomba inovasi berbagai tingkat dan level yang tak terhitung jumlahnya. Lalu, masih kurang apa lagi untuk bergerak seperti India? Tak perlu habiskan banyak waktu untuk berdebat atau menjawab pertanyaan terakhir itu, mulailah bergerak sekarang juga, bersama-sama!


No comments:

Post a Comment