24 January 2019

Radikal


Oleh: Yanu Prasetyo

Ada sebuah teori terkenal dalam kajian ilmu politik. Namanya “The Overton Window”. Diambil dari nama penemunya, Joseph P. Overton. Teori ini membahas bagaimana sebuah gagasan, isu, ideologi, atau yang paling teknis sebuah “kebijakan” bisa diterima atau ditolak oleh publik. Pada jamannya (Abad 20), teori ini sederhana dan banyak benarnya. Digambarkan dengan sebuah garis kontinum dari kiri ke kanan, atau atas ke bawah. Sama saja. Di kedua ujung garis itu, ada kondisi atau pandangan yang saling berlawanan. Ambil contoh, ideologi “kiri” (komunisme) versus ideologi “kanan” (neoliberalisme). “More Freedom” versus “Less Freedom”. “Demokrasi” versus “Khilafah”. Nah, ditengah-tengah garis kontinum itu ada yang disebut sebagai kondisi atau “jendela normal”. Tidak terlalu kiri dan tidak terlalu kanan. Bebas, tapi ada batasan-batasan. Kondisi “normal” inilah yang oleh penguasa suatu negara akan terus dipertahankan sebagai arus utama. Mainstream. Apa pun diluar jendela normal, akan dianggap sebagai radikal atau “unthinkable”.


Bagaimana teori ini bisa banyak benarnya? Lihatlah bagaimana proses pemerintah atau legislatif di banyak negara di dunia ini dalam mengambil kebijakan: Kompromi. Mencari jalan tengah. Akomodir kiri kanan. Menjaga keseimbangan. Menuruti apa yang menjadi eskpektasi publik luas. Dengan kata lain: cari aman dan hindari gejolak yang tidak perlu. Sangat sedikit kebijakan “radikal” yang bisa dihasilkan oleh pemerintah. Sebab, para politisi itu kebanyakan tunduk pada opini publik. Pemimpin yang ingin tetap duduk di kursi kekuasaan, tentu tidak mau menjauhi apalagi melangkahi ekspektasi publik. Kalau bisa mendekati atau bahkan sesuai ekspektasi. Supaya Ia tetap terpilih lagi. Akibatnya, gagasan-gagasan yang terlalu ke-“kiri” atau ke-“kanan” menjadi sulit diterima. Kebijakan yang di tengah-tengah lah yang paling disukai.

Tetapi yang disebut dengan “tengah-tengah” ini sifatnya dinamis. Bukan statis. Selalu ada aktor atau kelompok yang ingin menyeretnya agak ke kanan atau agak ke kiri. Kuat-kuatan. Kelompok pro LGBT, misalnya, akan mencoba mendorong garis normal itu ke kiri dengan melemparkan isu radikal seperti “gay marriage”. Begitu wacana ini dilemparkan, maka garis tengah akan goyah. Semakin digosok isu ini, maka muncul kontroversi. Orang pun menjadi makin sering mendengar argumen kenapa pernikahan sejenis itu bukan masalah. Jika kelompok anti perkawinan sesama jenis tidak kuat dalam beropini atau beradu argumentasi, maka ide yang semula radikal ini lama-lama menjadi diterima. Pun contoh gagasan “Islam Nusantara” misalnya. Adalah upaya kelompok di garis tengah menarik kembali wacana yang dianggap “terlalu kanan” itu. Maka muncullah cap radikal pada ide khilafah. Dan seterusnya.

(Lanjutkan saja pada contoh lainnya, maka teori ini akan terasa banyak benarnya).

Nah, kini, apakah teori ini masih relevan? Nampaknya tidak lagi. Sejak internet dan media sosial menjadi gelombang bebas tanpa kendali, maka banyak gagasan radikal bermunculan. Tsunami informasi dimana-mana. Banyak pandangan dan bahkan perilaku yang dulu dianggap “tidak normal”, kini menjadi “biasa” atau “normal”. Donald Trump di AS, adalah contoh pemimpin negara yang setiap saat menunjukkan perilaku yang “unthinkable” ini. Orang AS tidak pernah membayangkan bisa memiliki presiden yang perilakunya seperti sekarang. Bandingkan saja dengan presiden-presiden sebelumnya. Jauh sekali. Trump pun dianggap sukses menggeser jendela “normalnya” seorang presiden AS semakin ke “kanan”. Lalu menormalkan apa-apa yang semula adalah “kontroversi” menjadi: “ah, biasa itu. Namanya juga Donald Trump”. Anggapan bahwa presiden harus sopan, intelek, bermuka manis, dan lain-lain menjadi hilang. Ada wajah normal baru yang berkebalikan.

Dengan kekuatan internet dan informasi yang semakin “blur” inilah, maka jendela Overton tidak lagi sempit, melainkan semakin melebar ke kanan dan ke kiri. Perbincangan publik tidak lagi menyangkut yang normal-normal, namun juga yang radikal-radikal. Positifnya, orang semakin berani mengungkapkan gagasan yang unthinkable dibanding sebelumnya. Negatifnya, dunia terasa semakin sulit untuk dimengerti. Serba membingungkan. Jangankan orang biasa, ilmuwan dan akademisi pun kewalahan dalam menjelaskan apa yang sedang terjadi. Di era tanpa jendela overton ini, ada sebagian yang merayakannya dengan gembira. Namun, ada pula yang gelisah setengah mati akibat kahilangan kondisi “normal”. Maka jangan heran, jika ada tokoh politik atau pemimpin yang mencoba “menormalkan” situasi – misalnya dengan membakar habis buku-buku kiri (komunisme, sosialisme, dkk) atau membakar bendera khilafah –akan malu ditertawakan. Mereka yang begitu masih hidup di era jendela overton yang masih sempit itu. Padahal, jendela itu kini telah hilang seiring robohnya sekat-sekat informasi diantara kita.

Jadi, supaya tidak frustasi dan gila, tidak ada pilihan lain. Biasakan diri dengan pertarungan ide-ide “radikal” tersebut. Apa pun dan dimana pun itu.




No comments:

Post a Comment