Oleh : yanu endar prasetyo
Tujuan Negara ini
didirikan adalah untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk didalamnya melindungi warga negara
dari dampak buruk bencana.
Menganggap bencana
sebagai takdir dan harus diterima begitu saja adalah cara pandang lama. Sebuah
pemahaman yang harus diluruskan karena mendorong manusia untuk cenderung pasrah
berpangku tangan. Bencana memang disebut takdir dalam pengertian setelah
bencana itu terjadi. Namun sebelum bencana itu nyata-nyata hadir, maka manusia
dengan segenap pengetahuanya dapat mengukur berbagai resiko yang mungkin akan
diderita. Dengan syarat, kita mau mengenal, mengakrabi dan bersahabat dengan bencana itu sendiri.
Dengan pemahaman
baru semacam itu, maka berbagai bentuk bencana, baik alam maupun sosial,
hendaklah dilihat sebagai bagian integral dari resiko hidup di daerah rawan
bencana seperti di Nusantara ini. Oleh karena itu, penanganan terhadap bencana
tidak cukup hanya dengan tanggap darurat dan pemulihan pasca bencana saja,
malainkan harus lebih menekankan pada upaya-upaya Pengurangan Resiko Bencana (PRB), yakni edukasi diri
dan lingkungan terhadap berbagai gejala serta dampak bencana yang mungkin akan
terjadi. Sebab, bak siklus sejarah, bencana pun sangat mungkin terjadi berulang.
Seperti
dikatakan para ahli, bahwasanya bumi nusantara ini bukan saja menyimpan potensi
alam yang tiada tandingnya, melainkan juga tertanam didalamnya ranjau-ranjau
bencana yang beragam dan dapat meledak sewaktu-waktu, mulai dari letusan gunung
berapi, gempa bumi, longsor, tsunami, banjir, rob, kekeringan, kebakaran hutan,
dan lain sebagainya. Bahkan seperti yang belakangan dilansir oleh berbagai
media, bumi pertiwi ini juga tak luput dari bencana sosial yang tak kalah pelik
seperti kemiskinan, tawuran antar pelajar, diskriminasi, kekerasan dan intoleransi atas nama etnis, agama maupun golongan yang
cenderung tumbuh subur ditengah kebhinekaan negeri ini. Ironisnya, penanganan
pemerintah seringkali lebih banyak bersifat reaktif – seringkali malah
terlambat dan kewalahan – daripada preventif.
Sesuai dengan UU
No 24
Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, ditegaskan dalam
pasal 8 c bahwa pemerintah daerah memiliki tanggung jawab dalam PRB ini dan
harus mensinkronkan PRB ini dengan program-program pembangunan di daerahnya. Sudahkah
ini dijalankan dengan serius ? Pemerintah memang telah
memiliki badan khusus penanggulangan bencana yang disebut Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat pusat dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di level provinsi, kota dan
kabupaten. Badan ini merupakan “metamorfosis” dari Satlak-Satlak bencana yang sebelumnya ada. Namun sayangnya,
kehadiran BPBD ini justru sering disikapi sebagai “penanggung jawab tunggal” dalam hal
penanggulangan bencana. Padahal, tidak mungkin PRB ini ditangani sendirian. Karena PRB ini menyangkut pada
upaya-upaya penguatan kapasitas seluruh elemen masyarakat dalam menyikapi
bencana. PRB adalah agenda yang harus dihayati dan melekat dalam setiap misi
serta kegiatan SKPD-SKPD lainnya. Format sosialisasi PRB tentu tidak cukup,
harus ada upaya penyadaran yang lebih massif dan berjangka panjang.
Beberapa hal penting yang harus dijalankan
oleh pemerintah daerah dalam rangka PRB ini antara lain, pertama, membangun sinergi dengan seluruh pemangku kepentingan PRB,
seperti seluruh SKPD, Damkar, SAR, PMI, RS, LSM, Lembaga pendidikan, hingga
tokoh-tokoh masyarakat untuk mengarusutamakan berbagai kegiatan PRB. Pemda
tentu dapat membuat dan memperkuat berbagai regulasi terkait kewajiban
koordinasi dan sinergi multipihak ini agar jelas pembagian tupoksi dan
efektifitasnya. Kedua, meningkatkan
akuntabilitas kinerja BPBD, baik dari sisi pemanfaatan anggaran, pembinaan
aparatur, pengelolaan basis data serta informasi kebencanaan teknologi, dan
transparansi dalam implementasi program.
Ketiga, ini yang paling
penting, adalah mendorong kegiatan PRB yang partisipatif. Mendorong PRB
berbasis komunitas dengan mempertahankan dan memodifikasi berbagai kearifan
lokal harus terus dibangun. Daya-tangkal dan daya-pulih masyarakat dari bencana
harus diperkuat dengan memperluas wawasan tata ruang mulai dari level Rukun
Tetangga (RT) hingga level kota/kabupaten. Informasi dan data kebencanaan harus
masuk dan dapat diakses oleh seluruh lapisan, sehingga partisipasi masyarakat
dalam PRB ini benar-benar berjalan efektif dan berkelanjutan. Demikianlah
mengapa PRB ini sangat penting, sebab keselamatan rakyat harus menjadi hukum
tertinggi, salus populi suprema lex esto!
No comments:
Post a Comment