23 March 2009

Eksploitasi Seksualitas Dunia Maya




Yanu Endar Prasetyo

Sarah dan Rahma Azhari baru saja menjadi saksi dalam uji materiil Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) (Sindo, 21/03/09). Empati saya yang paling mendasar dalam kasus keduanya – yang tubuhnya menjadi objek eksploitasi di internet – adalah perihal sulitnya menjelaskan persoalan itu kepada keluarga dan khususnya anak-anak mereka. Buka hanya para artis, tapi juga bagi siapapun yang pernah menjadi “korban” pronografi di internet, pasti menanggung beban sosial dan psikologis yang sangat berat. Mungkin saat inilah, dimulainya era baru kehidupan manusia yang merapatkan batas dunia maya (internet) dan dunia nyata, dengan segala paradok, ironi, dan efek-efeknya.

Kasus eksploitasi tubuh artis seperti yang dialami oleh Sarah dan Rahma itu, menunjukkan dua sisi mata uang kehadiran teknologi. Internet dengan segala kecanggihan yang dimiliki, dikenal sebagai dunia maya tanpa batas. Kemampuannya menghubungkan informasi apapun di seluruh belahan dunia, menjadi magnet bagi setiap penggunanya. Ditambah dengan kemudahan dan kemurahan akses, kesederhanaan mesin pencari – seperti google - yang menakjubkan, serta sifat egaliter-permisif yang dimilikinya, telah menampung kreativitas individu-individu dengan latar belakang apapun untuk menjadi pengguna dan penyumbang informasi di dunia reka ini secara aktif. Sekaligus, sisi positif yang mengandung kebebasan berekspresi itu, turut pula ditumpangi oleh kreativitas lain yang cenderung eksploitatif, merusak, dan merugikan. Keduanya hadir dan harus kita terima dan sikapi dengan cerdas.

Sementara itu, fakta menurunnya minat dan konsumsi publik terhadap media cetak serta peralihannya ke media online (internet), nampak makin kentara. Baru-baru ini, surat kabar-surat kabar di Amerika Serikat sudah rontok bak daun kering. Sebutlah media-media seperti Chicago tribune, The Los Angeles Times, The Rocky Mountain News, dan terakhir The Seattle Post-Intelligencer (Tempo, 22/03/09), semua gulung tikar. Makin besarnya jumlah pengguna internet di tanah air yang mencapai 25 juta users (Kompas, Maret 2009), menjadi fenomena yang mendukung proses peralihan tersebut. Belum lagi jika kita memasukkan mereka yang tergabung dalam situs-situs pertemanan seperti friendster dan facebook yang sekarang sedang booming, jumlahnya bisa lebih banyak lagi.

Diantara jutaan pengguna internet itu, diantaranya adalah anak-anak dan remaja. Kemajuan dan mungkin kecerdasan otak anak, membawa mereka begitu mudah untuk belajar dan mempelajari internet. Remaja dan anak-anak saat ini adalah generasi yang bisa dibilang “melek” teknologi. Hal ini mungkin juga akibat punahnya berbagai pemainan tradisional dan lenyapnnya ruang-ruang bermain di lingkungan sosial, kecintaan mereka beralih pada Play Station (PS), komputer, games online, dan tentu saja internet. Namun sayangnya, para orang tua generasi 21 ini, ternyata banyak yang gagap dan bahkan buta terhadap teknologi informasi mutakhir ini. Akibatnya, para remaja dan anak-anak ini tidak semuanya belajar internet dengan bimbingan orang tua atau pendidik yang memadai.

Padahal, di internet itu berseliweran jutaan informasi yang tidak semuanya penting bagi anak atau remaja. Bahkan, cenderung banyak informasi dan situs-situs “sampah” yang beracun bagi perkembangan psikis anak. Ironinya, hal-hal yang beracun – seperti pornografi – ini justru menarik bagi mereka yang mulai menginjak masa puber pertama. Dorongan seks, yang diawali dengan pengenalan fungsi organ seksual dan ketertarikan terhadap lawan jenis, ternyata membutuhkan aktivitas-aktivitas tertentu untuk menyalurkannya. Dorongan seks pada remaja ini sifatnya universal dan bukan saja titisan biologis, melainkan juga hasil belajar secara sosial (Horton & Hunt, 1991:148)

Lebih jauh lagi, di realitas nyata kehidupan keseharian kita, segala hal yang berbau porno dan seks, ternyata selalu dinilai lebih “lucu” dan menarik. Mulai dari film, komedi, program televisi, hingga pada percakapan dan humor sehari-hari. Para remaja dan anak yang sedang mencari jati diri ini pun belajar dari konstruksi nilai sosial masyarakat yang senantiasa tertarik dan penasaran pada hal-hal yang berbau seks ini. Bisa dibayangkan, jika kemudian segala objek porno yang dianggap lucu dan menarik tadi itu adalah ibu, kakak, atau anggota keluarga kita. Masihkah kita bisa tersenyum dan menikmatinya?

Mungkin itulah perasaan dilematis yang menghinggapi korban eksploitasi seksual di internet seperti Sarah, Rahma Azhari, Dea Imut, serta korban-korban lainnya. Ketika foto telanjang mereka, baik yang sengaja maupun tidak, asli maupun rekayasa, disebarkan dan dengan mudah depelototi oleh jutaan pasang mata, maka yang terjadi adalah “pemerkosaan maya” yang dilakukan secara massal dan dalam jangka waktu yang mereka tidak tahu sampai kapan terus berlangsung? Lebih perih jika kemudian diantara jutaan pasang mata itu ada saudara, kerabat, atau anak-anak mereka. Tentu saja rasa malu tidak hanya menghinggapi korban, tapi juga anggota keluarga lainnya. Diejek, digunjing, dan direndahkan menjadi sanksi sosial yang akan mereka terima tanpa pembelaan.

Nampaknya, jika tidak ada intervensi yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, kasus-kasus eksploitasi tubuh dan seksual oleh pihak-pihak “kreatif” tapi tidak bertanggungjawab ini belum akan berakhir. Akan jatuh korban lebih banyak lagi di masa mendatang. Ada baiknya para orang tua di rumah, para pendidik di sekolah, para pemuka agama di tempat ibadah, seta para penegak hukum dan pemerintah ikut menanggulangi “kejahatan” dunia maya ini. Lebih-lebih pada mereka yang dengan sengaja mengeksploitasi seksualitas anak-anak. Termasuk, bagi mereka yang memang sengaja menjajakan kemolekan tubuh untuk difoto, direkam, dan berharap bisa mendulang rupiah, untuk lebih selektif memilih medianya. Sebab, dunia pornografi - dan prostitusi – ini memang telah merentang sepanjang jaman dan terbukti tidak pernah kehilangan penggemarnya. Dorongan seks manusia memang bukan untuk dilenyapkan, tetapi cukup dikendalikan.

Nah, cukup dewasa dan arif-kah bangsa kita mengendalikannya? Kita lihat saja.

15 March 2009

Petani Profesi Masa Depan



Yanu Endar Prasetyo

Dalam World Development Report tahun 2008 yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, tercantum agenda global untuk pertanian di Abad 21 (Laporan Pembangunan Dunia, 2008:376). Beberapa agenda pokok di dalamnya adalah : mengakhiri kelaparan dan kemiskinan, pemberantasan penyakit pendemis, menjaga kelestarian lingkungan, tantangan perubahan iklim dan keamanan pangan. Dalam satu kalimat sederhana, dunia internasional telah memandang bahwa pertanian saat ini dan masa mendatang merupakan bidang terpenting dalam menyelesaikan permasalahan global umat manusia. Akankah agenda pertanian itu dapat terwujud? Bagaimana peluang pertanian di Indonesia menghadapi tuntutan global itu?

Ironis. Jumlah manusia yang terus menerus bertambah, ternyata justru diikuti dengan makin menyempitnya lahan pertanian dan menurunnya jumlah orang yang berminat terjun menjadi petani. Kita paham, milyaran manusia di planet ini memerlukan makan sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Makanan sendiri merupakan hasil dari kegiatan pertanian dalam arti luas (production operations on the farm) yang meliputi tanaman pangan, hortikultura, obat-obatan, perkebunan, peternakan, perikanan laut dan air tawar, serta kehutanan (Saragih, 2001:2). Dengan peningkatan jumlah penduduk dunia, bagaimana pertanian yang makin sempit lahan dan sedikit tenaga kerja ini mampu memenuhi kebutuhan makan kita kelak?

Logika industrialisasi pada Abad 20 pernah menggiring kita pada satu gerakan kunci modernisasi yang disebut “intensifikasi pertanian”. Makna intensifikasi adalah upaya melipatgandakan hasil pertanian dari luasan tanah yang relatif sama atau tetap. Perkembangan teknologi menjadi instrumen utama pendukung gerakan intensifikasi pertanian ini. Dari sini kita mengenal istilah “Green Revolution” atau “Revolusi Hijau,” yang menjadi acuan kebijakan pertanian pada regim pemerintahan Orde Baru. Sejarah mencatat Indonesia memang pernah mencapai swasembada pangan pada masa kejayaan revolusi hijau ini. Namun, usaha pertanian yang mengandalkan teknologi benih, pupuk dan pestisida ini pada akhirnya menuai banyak kritik karena terbukti berakibat buruk terhadap lingkungan. Bioteknologi dan mekanisasi yang semula menjadi harapan dan dewa penyelamat pertanian, tiba-tiba berubah menjadi berwajah menakutkan bagi keberlanjutan kehidupan. Ketergantungan petani pada benih, pupuk, dan pestisida mengakibatkan eksploitasi terhadap petani-petani di negara dunia ketiga. Belum lagi soal keamanan pangan, pencemaran lingkungan, dan hama penyakit. Untuk kembali pada pertanian organik juga tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Sementara itu, abad 21 adalah era Globalisasi. Ia hadir dengan dua wajah sekaligus, sebagai ancaman dan peluang. Sebagai ancaman, globalisasi telah menyebarkan virus kehampaan ke seluruh dunia (globalization of nothing) (Ritzer, 2006). Dalam dunia pertanian, ancaman nyata dari globalisasai adalah punahnya keragaman (varietas) tanaman yang dianggap tidak memenuhi “standar” konsumsi global. Petani hanya akan menanam kentang yang dipesan oleh Mc Donald, beternak ayam untuk KFC, dan memelihara sayuran yang sesuai standar Supermarket atau perusahaan multinasional lain sebagai agen globaliasai. Bisa dibayangkan, jika bahan makanan yang orang makan dan pakaian yang orang kenakan di seluruh dunia ini sama, maka akan terjadi kepunahan massal dari jutaan varietas tanaman dan hewan yang ada.

Sebagai peluang, globalisasi mengisyaratkan bahwa hasil-hasil pertanian harus bebas mengalir ke seluruh dunia demi menghilangkan ancaman kelaparan. Ini menjadi kesempatan bagi negara agraris seperti indonesia, untuk menjadi pemain utama. Meskipun, dominasi negara-negara maju melalui badan perdagangan internasional seperti WTO masih saja melahirkan ketimpangan distribusi (maldistribution). Ketika negara berkembang, termasuk Indonesia, dilarang memproteksi dan memberikan subsidi penuh pada pertaniannya, negara maju justru sebaliknya. Itulah sebabnya, meskipun potensi pertanian negara berkembang lebih besar, tapi sistem tata perdagangan global telah menjadikan petani di negara berkembang tetap miskin dan terpuruk. Oleh karena itu, keberanian menteri pertanian RI menggelontorkan dana subsidi 17,5 triliun lebih untuk mendistribusikan pupuk bersubsidi secara langsung kepada kelompok tani di tahun 2009 ini, patut didukung sepenuhnya (Tempo, Februari 2009:143). Meskipun, pada implementasi dan distribusinya, harus terus kita pantau dan evaluasi bersama.

Jika negara baru-baru ini mengklaim telah berhasil swasembada beras – yang kemudian dikecilkan menjadi iklan politik – alangkah bijaknya jika kemudian diperdalam hingga pada peningkatan kesejahteraan petaninya. Arah pembangunan yang cenderung “meninggalkan” pertanian harus diluruskan. Industri-industri besar yang dibangun di republik ini, sebisa mungkin adalah industri yang mampu menyerap, mengolah, dan mengembangkan hasil-hasil pertanian dalam negeri. Sebab, negara saat ini tidak lagi bertanggungjawab atas ketahanan pangan rakyatnya sendiri, melainkan harus ikut menjaga ketersediaan pangan seluruh dunia. Ekspor pangan layaknya menjadi obsesi dan lambang kemakmuran suatu negara.

Kita juga tidak boleh dibodohi lagi dengan politik perdagangan internasional yang saat ini gencar menghembuskan isu kebutuhan biofuel bagi dunia. Kebutuhan bahan bakar dari hasil pertanian, seperti sawit dan jarak, jika tidak disikapi dengan bijak justru bisa menggoncang ketahanan pangan bangsa kita sendiri. Jika kita memfokuskan pada mengekspor bahan mentah untuk biofuel ini, maka kita akan tetap menjadi konsumen dan pasar bagi hasil akhirnya. Sebab, teknologi pengolahan bahan bakar nabati itu hanya akan dikuasai lagi oleh multinational corporate. Lagi-lagi kita akan dipaksa membeli kendaraan ramah lingkungan, bahan bakar yang renewable, dan produk-produk lainnya yang notabene bukan bangsa kita sendiri yang membuatnya. Sementara itu, hutan-hutan dan kesuburan tanah kita akan habis karena ramai-ramai ditanami jarak dan kelapa sawit.

Benang merah yang ingin digarisbawahi dari artikel pendek ini adalah bahwa pemenuhan kebutuhan dan ketersediaan pangan tetap menjadi prioritas nomor satu untuk keberlanjutan kehidupan planet ini. Keadilan dalam distribusi hasil pertanian di era globalisasi harus terus diupayakan untuk mengatasi kelaparan dan menjaga kesejahteraan negara-negara berkembang pengekspor bahan pangan. Siapapun yang menguasai pangan, selayaknya mampu memimpin dunia. Dengan demikian, pertanian merupakan lahan strategis bagi bangsa kita untuk berbicara banyak dalam percaturan ekonomi dan politik dunia di masa mendatang. Tapi itu semua tidak akan berhasil jikalau generasi muda masih memandang sebelah mata profesi petani dan terbius ilusi bekerja di sektor industri-kapitalis yang terbukti tak mampu bertahan dari badai krisis.

Semua argumentasi di atas menegaskan bahwa petani adalah profesi masa depan. Dunia membutuhkan petani. Lalu, mengapa tidak kita penuhi panggilan itu?

13 March 2009

Wajah Mirip = Berjodoh ?



Mungkin judul di atas menjadi salah satu mitos dalam dunia perjodohan yang sering kita dengar. Biasanya di tengah obrolan atau rumpian sesama teman. Entah darimana munculnya anggapan tersebut, namun banyak juga yang kemudian percaya dan meyakininya. Pengalaman pribadi, ketika saya memperkenalkan pasangan kepada sahabat atau teman, pasti ada saja celetukan yang mengatakan, “eh, kalian mirip ya, pasti berjodoh”. Ada lagi yang saking maksanya mencari kemiripan, mengatakan bahwa, “tuh, hidung kalian mirip, pasti cocok dech..”. kemaren-kemaren, hal itu hanya terasa sebagai basa-basi penghangat perkenalan saja. Namun kemudian, saya tergelitik untuk mencari tahu, apakah mitos itu benar adanya?

Penasaran itu rupanya terus menghantui. Hingga tanpa sengaja, ketika saya berjalan-jalan di sebuah toko buku terkenal, mata saya tertambat pada sebuah DVD yang terjepit diantara barisan film-film yang ditaruh di atas keranjang. Di tengah tumpukan film tersebut, tertulis diskon 20%. Bukan papan diskon itu yang menarik minat saya. Melainkan judul film yang memikat pikiran saya, “secret of the sexes”. Kata-kata sex itulah yang sejujurnya mendorong kaki saya untuk menghampiri, dan membuat tangan saya dengan cekatan mengambilnya. Tanpa banyak berpikir, saya langsung membeli film tersebut, dan berharap segera menontonnya di rumah.

Sampai di rumah, tanpa membuang waktu lagi saya langsung memutar film tersebut. Sempat terbesit pikiran, saya akan mendapatkan banyak “pengetahuan” dari film itu. Namun ternyata, begitu prolog berjalan, ternyata film itu bukan film yang saya harapkan, melainkan sebuah fil dokumenter ilmiah. Sempat kecut dan kecewa. Namun saya biarkan saja film itu berjalan, sambil sesekali membaca teks bahasa Indonesia di bawahnya. Di tengah-tengah rasa kecewa telah membeli film itu, tiba-tiba dewi fortuna seperti datang menghampiri. Ternyata, film dokumenter tentang rahasia seks tersebut, menceritakan tentang sebuah riset ilmiah untuk menjawab apa saja faktor yang menyebabkan pria tertarik pada wanita, dan sebaliknya. Riset itu dilakukan oleh sebuah institut, dengan berbagai tenaga ahli (komputer, dokter, tata rias, psikolog, desainer, dll) terhadap 100 pria dan wanita yang belum menikah di London, Inggris.

Penelitian itu mencoba membuat simulasi, dengan mempertemukan secara acak dan langsung, setiap pria dengan setiap wanita. Mereka duduk berhadapan dengan sebuah meja dihadapannya. Dalam pertemuan yang dibatasi hanya 2 menit itu, mereka diminta untuk saling berkenalan secara singkat dan dengan cara yang bebas. Di akhir perkenalan itu, si pria atau wanita, saling memutar tombol skor yang ditaruh dibawah meja. Tombol skor itu sebagai penilaian ketertarikan peserta untuk menjadikan peserta di hadapannya sebagai pasangannya. Setelah semua saling bertemu dan memberi nilai, para ahli merangkum nilai tersebut.

Pada akhirnya, ditemukan nama-nama yang mendapatkan skor paling tinggi. Mereka dengan skor paling tinggi ini, berarti dinilai paling menarik dan ideal untuk dijadikan pasangan. Dan ternyata, kaum pria, baik yang tampan maupun biasa, lebih mendasarkan penilaiannnya dari kesempurnaan fisik, seperti wajah cantik, rambut hitam panjang, tubuh proporsional. Sementara, kaum perempuan lebih menilai pada sikap dan gaya pendekatan pria. Apakah asyik, sopan, nyambung, intelek, dan lain sebagainya. Mereka yang masuk kategori tidak menarik untuk dijadikan pasangan, rata-rata memang memiliki kekurangan dalam hal fisik, seperti terlalu gemuk, bermutu (bermuka tua), dan terlihat miskin. Singkat cerita, sebagian besar peserta memang menilai dari kesempurnaan fisik, namun tak satu pun peserta yang memimpikan pasangan idealnya adalah mereka yang berwajah mirip dengannya.

Selain itu, para ahli mencoba membuktikan, apakah pasangan pria dan wanita yang memiliki sruktur wajah yang mirip, memiliki kemungkinan untuk berjodoh. Mereka mencoba mencari peluang dari seratus peserta itu yang memiliki kemiripan struktur wajahnya. Akhirnya, ditemukan lima pasangan. Kelima pasangan itu kemudian dilibatkan ke dalam sebuah kencan selama beberapa hari, yang diikuti oleh kamera tersembunyi. Dan hasilnya, ternyata kemiripan wajah tidak serta merta menjadikan dua orang beda jenis ini menjadi cocok sebagai pasangan. Bahkan kencan mereka, ada yang justru berakhir dengan tidak mengenakkan. Ternyata ada faktor lain yang lebih berperan, yaitu sifat dan sikap.

Hal ini dapat dimengerti, sebab, setelah kenal lama dan makin mendalam, maka seseorang akan terbongkar sifat dan perangai sebenarnya. Dari sinilah kemudian, faktor-faktor fisikal, yang di awal tadi menentukan ketertarikan, menjadi penentu hubungan yang nomor sekian. Sebab, ketika seseorang ingin menjalani komitmen dengan orang lain dalam jangka waktu yang panjang (untuk menikah misalnya), maka pertimbangan sifat dan sikap, menjadi yang utama (selain kemapanan ekonomi). Semua sudah paham, bahwa kecantikan badaniah, pasti akan luntur ditelan waktu dan usia. Sehingga, jika hubungan itu untuk serius, maka pertimbangan fisik, apalagi kemiripan wajah, menjadi semakin tidak dominan atau penting. Para ahli itu pun, akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa belum ada bukti ilmiah yang kuat bahwa pasangan yang memiliki kemiripan wajah, otomatis berjodoh!

Kita tentu bebas berpendapat soal ini. Saya pribadi lebih senang jika kemiripan di sini, tidak direduksi pada wajah atau fisik semata. Namun, memaknai kemripan jodoh ini dengan cara pandang bahwa , jodoh kita adalah cerminan diri kita. Sebagai cermin (datar), tentu ia tidak pernah berbohong. Ia akan menampakkan dan melaporkan apapun yang kita hadapkan kepadanya. Cermin juga siap mengoreksi kekuarangan yang ada pada diri kita setiap saat. Karena cermin itu jujur, maka kita bisa membawa cermin itu kemanapun kita pergi. Kita juga tak ragu untuk berbagi hal yang privat dan rahasia dihadapannya. Dan jika orang yang bercermin itu jujur, maka melalui cermin itu ia akan terus belajar untuk menerima, memahami, dan memutuskan secara bijaksana. Kita perlu insyaf, bahwasanya apa yang ditampilkan oleh cermin, sesungguhnya adalah penampilan kita juga. Baik buruk perilaku pasangan, sejatinya adalah cerminan diri kita sendiri.

Tidak perlu khawatir jika calon pasangan kita nggak ada mirip-miripnya dengan kita. Bukankah, yang lebih penting adalah anak-anak kita memiliki wajah yang mirip dengan orang tuanya? Sebab, kalau sampai tidak mirip, apa kata dunia ? (hayoo..anak siapakah itu? :)

06 March 2009

Problem Agen Pemberdayaan (Inventor) Pertanian



Tulisan saya beberapa lalu (27/02/09) di blog ini - yang juga saya kirim ke detik.com - dimuat hari ini (jum'at, 6 Maret 2009)di halaman suara pembaca-opini anda. Semoga bermanfaat buat pembaca setia detik.com.

sedikit catatan, foto saya yang ikut terpampang sebenarnya terlalu "formal", kurang sreg dengan harapan saya. tapi itu karena detik.com hanya bisa memuat foto dengan besar file 10 kb, dan -malangnya- saya belum punya file foto yang lain. tapi untungnya dasinya miring...hehehe


Yanu Endar Prasetyo - suaraPembaca


Jakarta - Sekurang-kurangnya ada lima problem umum yang biasa dialami oleh para agen penggerak (baca: inventor) kegiatan pemberdayaan masyarakat di lapangan. Khususnya bagi mereka yang bergerak dan bekerja bersama komunitas petani di pedesaan. Mulai dari para pengumpul data (enumerator), mahasiswa, pegiat LSM, penyuluh lapangan, birokrat, provider technology, aktivis corporate social responsibility (CSR), hingga peneliti dari lembaga litbang berpengalaman sekali pun.

Masalah dari sisi para inventor tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Mulai dari persoalan "sederhana" seperti kesulitan dalam menyamakan persepsi, minimnya penghayatan kultural-historis, hingga cara pandang terhadap keberhasilan yang keliru.

Problem umum pertama adalah minimnya data based kondisi awal komunitas. Biasanya, ruang lingkup kegiatan pemberdayaan yang dilakukan ada pada level komunitas lokal, seperti dusun, desa, atau kecamatan.

Seringkali ditemui di lapangan pemetaan kondisi awal dilakukan seadanya. Seperti hanya menggunakan data sekunder dari monografi desa atau kelurahan. Padahal, jika mau sedikit menelusur, banyak angka-angka dari data desa yang kurang mencerminkan keadaan sebenarnya.

Semisal, sumbangan potensi peternakan, perikanan, pertanian padi, dan sebagainya. Seringkali petugas desa hanya menuliskan angka produktivitas yang paling kecil. Padahal, potensi atau pun hasil dari sektor itu sebenarnya lebih besar dari yang tertulis.

Hal ini bisa terjadi karena petugas dan warga desa belum sepenuhnya mengerti urgensi pendataan potensi desa tersebut. Akibatnya, bagi yang benar-benar ingin program kegiatan pemberdayaan-nya tepat sasaran, harus mengumpulkan data sendiri untuk menyusun peta potensi desa tersebut. Pada titik inilah lahir dua atau lebih data tentang komunitas yang sama dan terkadang membingungkan.

Problem umum kedua adalah lemah dalam pencatatan (record) perkembangan. Manajemen dalam proses kegiatan pemberdayaan maupun transfer teknologi pedesaan adalah persoalan tersendiri.

Setiap tahapan perkembangan harus diperhatikan dengan seksama. Sebab, keberhasilan atau kegagalan suatu kegiatan pemberdayaan, semisal dalam introduksi teknologi, tidak bisa hanya dilihat dari hasil akhir secara kuantitatif, melainkan juga harus dari sisi dinamika proses yang terjadi.

Dalam proses kegiatan inilah kita dapat menggambarkan perkembangan atau perubahan pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan tindakan (practice) para petani. Kebiasaan sebuah program, apalagi jika penyelenggara kegiatan berlokasi jauh di luar desa tersebut atau di pusat (Jakarta), hanya melaksanakan evaluasi tahunan. Padahal, jika terbatas waktu dan tenaga, dapat disiasati dengan melatih agen setempat untuk menjadi pencatat setiap perkembangan yang terjadi dari waktu ke waktu secara detail.

Ketiga, salah dalam menafsirkan sikap petani. Di beberapa wilayah pedesaan kita, banyak petani yang masih bersikap mendua. Mereka selalu bilang, "iya, bagus" di depan petugas lapangan atau penyuluh pertanian pemerintah. Padahal, mereka telah memiliki bangunan persepsi sendiri atas teknologi atau program yang ditawarkan tersebut.

Ada istilah, "petani percaya orangnya dulu, baru kemudian percaya pada sesuatu yang dibawanya". Kadangkala, para inventor tertipu dengan statemen awal positif para petani tersebut. Lupa, bahwa di balik itu kita harus melihat apakah pernyataan "ya, bagus" itu tadi diikuti dengan partisipasi aktif atau tidak di belakangnya.

Selain itu, ada sebuah sikap manusiawi dari petani bahwa mereka cenderung tidak mau rugi (safety first) dan berorientasi pada rupiah. Apalagi, mereka yang menjadikan lahan pertanian sebagai satu-satunya tumpuan ekonomi keluarga, akan sangat sulit untuk diajak berinovasi yang sifatnya coba-coba (spekulatif).

Keempat, lupa bahwa profit/peningkatan pendapatan tidak selalu terkait dengan
kesejahteraan. Hampir setiap kegiatan pemberdayaan masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan. Para inventor, biasanya cenderung mereduksi kesejahteraan hanya pada peningkatan pendapatan (income) maupun keterampilan (skill).

Setelah terjadi inovasi dan pendapatan petani meningkat program dianggap berhasil dan sukses. Padahal banyak kasus menunjukkan bahwa ketika pendapatan naik maka kemungkinan sikap konsumtif pun meningkat. Ketika sebelumnya petani hanya mendapat untung ratusan ribu, ketika tiba-tiba mendapat uang jutaan rupiah, mereka lepas kontrol.

Seringkali, keuntungan itu bukan untuk memenuhi prioritas kebutuhan dasarnya, seperti pendidikan, kesehatan, atau untuk keberlanjutan usaha, melainkan untuk belanja-belanja konsumsi belaka. Dengan demikian, capaian kesejahteraan yang diimpikan dari setiap kegiatan pemberdayaan masyarakat, perlu diperluas hingga penyadaran prioritas dan pendampingan pasca keberhasilan peningkatan pendapatan.

Kelima, membangun kelembagaan dalam kelompok tani tidak pernah mudah. Selain peningkatan pendapatan, pembentukan kelompok petani biasanya menjadi indikator keberhasilan yang lain. Entah mengapa, seperti sudah ada suatu konsensus diam-diam, bahwa pembentukan kelompok merupakan resep jitu untuk pemberdayaan. Padahal, belum tentu demikian.

Ada beberapa tipologi masyarakat pertanian yang memang cocok dikelompokkan, dan ada yang tidak. Bahkan, kecenderungan kelompok-kelompok yang dibentuk, hanyalah untuk kepentingan sesaat, seperti menampung program bantuan pemerintah.

Setelah program selesai, kelompok pun bubar. Hal ini nampak makin jelas, ketika kita melihat banyak program pemberdayaan masyarakat yang ternyata berbaju sama: bantuan modal bergulir. Para inventor seyogyanya tidak hanya puas setelah berhasil membentuk sejumlah kelompok, tetapi juga perlu menjalankan suatu strategi pendampingan yang benar-benar mampu meningkatkan kapasitas kelompok dan individu-individu di dalamnya.

Di luar kelima problema di atas tentu saja masih banyak masalah lain yang menjadi
pengalaman berarti bagi setiap inventor. Cara mengatasi setiap masalah pun bermacam-macam. Tergantung konteks siapa dan di mana kegiatan ini dijalankan.

Di samping itu setiap kegiatan bertema pemberdayaan sejatinya adalah "seni" dalam panggung besar yang disebut rekayasa sosial (social engineering). Subyek dan penikmat hasil dari kegiatan itu sejatinya adalah masyarakat (dalam hal ini petani)
itu sendiri. Inventor hanyalah katalisator dan fasilitator belaka.

Sebagai pengemban misi mulia diperlukan moralitas yang berpihak dan konsisten pada prinsip kepedulian sosial dan kemanusiaan dalam diri setiap inventor. Terlepas dari segala problema lapangan itu kegiatan pemberdayaan adalah salah satu cara agar keadilan sosial, sebagai salah satu dari tujuan bangsa ini, bisa dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat.

Yanu Endar Prasetyo
Peneliti Sosiologi Terapan di Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna (B2PTTG)-LIPI Subang.

Bahasa, Logika, dan Tafsir Agama




Oleh Yanu Endar Prasetyo



Yang tersirat dan tersurat

Memaknai sebuah kata, sama artinya dengan berlayar mengarungi kekayaan bahasa yang begitu melimpah. Maksud sesungguhnya dari sebuah kata atau kalimat, seringkali harus dicari dalam konteks kebudayaan manakah bahasa itu lahir atau digunakan? Sebab, makna dari setiap kata atau kalimat yang diucapkan lawan bicara kita, tidak selalu sama persis dengan makna harfiah kata tersebut. Bingung?

Begini ilustrasinya, suatu hari Joko mengajak pacarnya, Siti, untuk nonton konser musik di lapangan kota. Kemudian Siti membalas ajakan Joko dengan berkata, “Maaf Aku Capek Banget”. Secara otomatis, si Joko atau kita yang mendengar jawaban itu, akan mengartikan bahwa “Siti tidak mau untuk nonton konser”. Padahal, Siti tidak bilang bahwa dia tidak mau menonton konser. Makna dari apa yang dikatakan (harfiah) dengan makna yang ditangkap (maksud sebenarnya) ternyata berbeda. Artinya, jawaban Siti dengan mengatakan “capek banget” merupakan cara tidak langsung untuk mengungkapkan sebuah penolakan. Contoh lain, Dodi menyebut Nia sebagai “penyuka buku”. Kita akan maklum dan spontan mengartikan maksud Dodi sebenarnya adalah “Nia suka/rajin membaca”.

Itulah kondisi bahasa ketika masuk dalam dunia percakapan. Meskipun diakui, memang tidak selalu terjadi perbedaan arti seperti itu dalam seluruh proses percakapan. Makna suka membaca itu juga kemungkinan tidak tunggal. Bisa saja kita mengatakan bahwa Nia memang tidak suka membaca dan benar-benar menyukai buku karena dia seorang penjual buku dan mendapatkan keuntungan dari bisnis buku. Dengan demikian, konteks budaya atau sejarah tertentu menjadi penting untuk dipahami sebelum memaknai suatu ucapan.

Lebih penting dari semua itu adalah prinsip pertama dalam memaknai secara logis adalah kita harus membiasakan “mengartikan kalimat menurut makna harfiahnya, bukan makna percakapan/pergaulannya”. Dalam konteks resmi atau ilmiah, hal ini menjadi penekanan. Kebenaran sebuah bahasa adalah apabila kata yang diucapkan sama artinya dengan yang dimaksudkan. Sehingga, jika terjadi perdebatan atau perselisihan terhadap sesuatu - misalnya dalam hal menjalankan perintah, kontrak kerja, tulisan dll - maka kita bisa kembali pada makna harfiahnya. Sebab, jika kita berdebat tentang makna yang implisit atau tersirat, maka kita akan menemui perbedaan persepsi dan perdebatan tafsir yang tidak ada titik temunya.

Tafsir dan Konflik

Dari problem antara makna bahasa yang tersirat dan tersurat itu, kita akan memahami mengapa di kehidupan kita ini begitu banyak perdebatan atau pertentangan yang tak kunjung usai. Perbedaan pendapat itu kemudian dilanggengkan oleh munculnya golongan-golongan atau kelompok-kelompok fanatik yang terus bertengkar. Contoh nyata adalah lahirnya beragam sekte/aliran meskipun dalam satu payung agama yang sama. Jika mereka mau diam dan berdamai tidak masalah. Tapi, umumya mereka lebih gemar untuk saling hujat dan gugat.

Umat beragama, umumnya mempelajari dan meyakini agamanya melalui perantara “kitab suci”. Kitab suci ini merupakan sabda Tuhan yang sudah dibukukan (dikodifikasi). Sedangkan kita tahu, kitab suci umumnya tertulis dalam satu bahasa lokal kaum tertentu, seperti Ibrani, Arab, India, China, dan lain sebagainya. Dari sini, lahirlah ahli-ahli tafsir kitab suci, yang kemudian dianggap memiliki otoritas dalam menginterpretasi ayat-ayat suci tersebut.

Apa yang terjadi kemudian? logika sederhananya, ahli tafsir yang bijaksana seharusnya mengembalikan makna setiap ayat suci kepada makna harfiahnya. Namun, yang terjadi kemudian adalah banyak ahli-ahli tafsir agama (mungkin juga para penganutnya) di dunia ini, yang tidak puas jika hanya menerima makna tersirat dari sebuah ayat. Mungkin dianggap kurang “dramatis”. Sebab, agama atau sabda Tuhan, dianggap jauh melampaui logika bahasa. Anehnya lagi, kemudian muncul hukum baru bahwa “Apa yang tertulis dalam kitab suci tidak boleh dimaknai secara mentah-mentah (harfiah)”. Inilah titik berangkat konflik dari tafsir. Ketika pengambilan makna tidak lagi menggunakan makna tersurat (dengan alasan terlalu dangkal dan tidak kontekstual dengan jaman) maka yang ditemui adalah perdebatan tanpa ujung. Perkelahian yang tidak rasional. Dan perang yang – jika ditelusuri alasan pembenarannya – mungkin sangat menggelikan.

Tapi pertanyaan kritisnya, apakah jika tafsir kitab suci agama “kembali” pada makna bahasa tersurat (literal meaning) semua permasalahan yang ada akan selesai? Sepertinya tidak dan kemungkinannya teramat kecil. Alasannya, agama sudah bukan lagi sekedar soal hubungan privat antara individu dan Tuhannya. Agama lebih dari soal ibadah. Agama sudah memiliki pengaruh yang kuat dalam dimensi kehidupan manusia saat ini. Agama dibawa oleh penganut agama itu ke dalam seluruh ruang kehidupannya. Akibatnya, agama tidak hanya berkembang di tempat ibadah saja, tetapi juga di kantor, sekolah, bank, dunia pemerintahan, perdagangan, dan lain-lain. Dimanapun manusia beragama itu ada, maka agama juga eksis. Tersirat (sebagai nilai, simbol) maupun tersurat (tindakan).

Mungkin, jika tafsir agama hanya berpegang pada makna harfiah dari setiap kalimat dalam kitab suci, sepertinya kitab suci tidak akan mampu menjawab segala masalah manusia kontemporer. Bisa-bisa, kitab suci akan menjadi “teman curhat” manusia yang paling kolot. Itu artinya, agama menjadi ketinggalan jaman dan tidak berfungsi lagi bagi kehidupan. Jadi, apakah “tafsir kitab suci yang kontekstual” memang lebih dibutuhkan dan menguntungkan bagi umat beragama?

Yah, (terkadang) tafsir kitab suci Agama memang tidak selalu logis dan rasional. Bagaimana menurut anda?

05 March 2009

Seni Berpikir Kritis




Oleh Yanu Endar Prasetyo

Seperti kebanyakan orang pahami, kebiasaan berpikir kritis seringkali berkonotasi negatif. Kritis kerapkali diartikan “melawan” argumentasi yang ada, atau “keluar” dari arus pemikiran umum. Terkadang, Kita menyebut orang yang “vokal” atau suka protes dan berteriak lantang menentang sesuatu, sebagai “orang yang kritis”. Apapun yang dipikirkan dan dilontarkan oleh orang-orang itu, oleh banyak orang lalu disebut sebagai “kritik”.

Kritik, yang semula hasil pemikiran itu, kemudian tersampaikan ke hadapan publik dalam berbagai bentuknya. Ada yang berupa lirik, lagu, film, drama, orasi, pidato, dan lain sebagainya. Kritik yang dimaksudkan sebagai manifestasi protes, rasa benci, melawan atau meluruskan sesuatu itu, tak jarang mendapatkan “kritik” lagi dari otoritas yang lain. Mengkritik sebuah kritik. Kritik-meng-kritik ini berlangsung terus menerus tanpa batas yang dapat kita gambarkan secara jelas. Mungkin itulah yang dimaksud dengan dialektika (Berger & Luckman, 1990:xix), gaya berpikir kontradiksi, sebuah siklus dari tesis-antitesis-sintesis/tesis baru-antitesis-dst. Yang jelas, dunia per-kritikan ini telah melahirkan banyak “profesi” baru, seperti kritikus film, kritikus sastra, dan “kritikus-kritikus” lainnya.

Dalam dunia akademis, dikenal pula istilah “critical review” atau tinjauan kritis. Kurang lebih maksudnya adalah cara pembacaan terhadap sesuatu (buku, jurnal, peristiwa, karya ilmiah, dsb) secara menyeluruh dan kritis. Tapi sayangnya, kesan yang muncul dari aktivitas “critical review” itu berubah menjadi sekedar mencari “apa yang kurang” dari sesuatu itu. Aktivitas meninjau secara kritis ini juga tidak hanya populer di kampus, tetapi juga di media massa dan elektronik. Critical review ala media elektronik, seperti televisi, kemudian melahirkan para “pengamat yang kritis”, baik di bidang sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya. Mereka biasanya dilabeli sebagai pakar yang menguasai dengan baik bidangnya, sehingga berhak untuk mengkritisi keadaan yang terjadi. Sementara versi media cetak, melahirkan para “kolumnis, penulis opini, maupun cerpenis” yang juga banyak mengulas atau menyisipkan kritik terhadap sesuatu, di dalam tulisan-tulisannya.

Jika memang demikian, apa sebenarnya tujuan dan manfaat dari kritik? Siapa, kapan, dan dimana cara berpikir kritis ini harus diterapkan?

Secara definitif, Berpikir kritis atau critical thinking merupakan kemampuan atau keahlian dalam menggunakan pikiran secara reflektif dan independen, sehingga mampu untuk menghasilkan pikiran yang jernih dan rasional (Lau, 2003). Berpikir kritis memang bisa digunakan untuk mencari titik lemah dari argumentasi orang lain. Ia juga bahkan dapat digunakan sebagai senjata dalam berdebat dan membunuh karakter “lawan bicara”. Namun demikian, dalam makna yang lebih positif, berpikir kritis dapat diandalkan sebagai kemampuan dalam pemecahan masalah (problem solving). Ia juga dapat digunakan untuk memperkuat cara pandang atau teori orang lain, dan untuk memperoleh pengetahuan.

Berpikir kritis adalah sebuah keahlian atau cara yang berguna dan penting dalam pengembangan profesi, karir, maupun kehidupan. Selain itu, berpikir secara jernih dan sistematis, dapat meningkatkan kemampuan untuk mengekspresikan gagasan secara lebih komprehensif. Artinya, berpikir kritis secara tidak langsung menambah kemampuan ber-bahasa dan keahlian presentasi dari orang tersebut.

Keahlian berpikir kritis juga sangat berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menjadi kreatif. Sebab, kreativitas tidak begitu saja muncul secara tiba-tiba sebagai akibat lahirnya ide atau gagasan baru. Ada proses yang terjadi sebelum kreativitas itu terwujud. Proses itu adalah proses berpikir. Seseorang yang kreatif adalah mereka yang mampu membangkitkan pikiran supaya melahirkan gagasan baru yang berguna dan relevan untuk dikerjakan. Ketika ide atau gagasan baru itu bermunculan, keahlian untuk berpikir kritis memiliki peran yang sangat penting. Khususnya dalam menilai dan mengevaluasi penting-tidaknya gagasan baru itu, memilih gagasan yang paling relevan, dan memodifikasi gagasan baru itu untuk disesuaikan dengan masalah yang dihadapi.

Metode berpikir kritis juga bermanfaat dalam kegiatan perenungan atau refleksi diri. Dalam rangka mendapatkan hidup dan kehidupan yang bermakna, serta untuk membangun hidup kita berdasarkan makna itu, kita perlu mencari pembenaran atas setiap keputusan hidup yang kita ambil. Berpikir kritis membantu kita mendapatkan alasan yang rasional tentang hidup dan pilihan yang kita jalani. Sebagai alat, berpikir kritis menyediakan seperangkat cara untuk melakukan proses evaluasi diri.

Dengan demikian, berpikir kritis sebenarnya bukan hanya monopoli para pengamat, akademisi, kritikus, pakar, atau kolumnis saja. Ia sejatinya adalah seni yang bisa diolah dan dipakai oleh siapapun. Terutama bagi mereka yang sadar akan potensi pikirannya dan merasa perlu untuk mengembangkan kreativitasnya. Seperti kata Bapak Filsafat Modern (Bertens,1998:45), Rene Descartes (1596-1650), bahwa “Cogito ergo sum”. Artinya, “saya ada karena saya meragukan sesuatu (yang dianggap sudah pasti sekalipun) secara radikal !”

Pun dalam hal memilih pada Pemilu 2009 yang tinggal dalam hitungan hari ini, berpikirlah kritis sebelum mencontreng!